Monday, 7 October 2019

RANGKUMAN MATERI TEKNIK PENULISAN KARYA ILMIAH LENGKAP


A.    Konsep Karya Ilmiah

Karya ilmiah terbentuk dari kata “karya” dan “ilmiah”. Karya berarti kerja dan hasil kerja dan ilmiah berari bersifat ilmu. Dengan demikian karya ilmiah berarti kerja atau hasil kerja berdasarkan ilmu atau kerja yang bersifat ilmu. Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan metode-metode ilmiah. Metode ilmiah dilakukan untuk mendapatkan kebenaran ilmiah. Oleh karena itu, karya ilmiah harus berisi kebenaran ilmiah. Jadi, karya ilmiah adalah karya yang disusun dengan menggunakan metode ilmiah untuk mendapatkan kebenaran ilmiah.
Kebenaran ilmiah akan tercapai apabila diperoleh dari pemikiran yang rasional (logis) dan dapat dibuktikan secara empiris. Pemikiran yang rasional merpakan pemikiran yang disertai dengan penalaran yang logis (diterima akal sehat). Penalaran yang ilmiah harus di sertai dengan informasi (pengetahuan) yang tepercaya. Sedangkan empiris maksudnya pemikiran yang disertai dengan bukti-bukti dan fakta-fakta.

B.     Karakteristik Karya Ilmiah

Sesuai dengan uraian di atas, karya ilmiah berkarakteristik:
a.       objektif, artinya karya ilmiah harus relistis, apa adanya, sesuai objeknya, tidak ada rekayasa, dan tidak pula memasukkan unsure-unsur subjektivitas penulis,
b.      faktual, artinya karya ilmiah harus didasarkan pada fakta dan dapat pula dibuktikan,
c.       rasional dan logis, artinya karya ilmiah harus dapat diterima secara akal dan berisi penalaran-penalaran ilmia,
d.      ilmiah, artinya karya ilmiah harus didasarkan pada bidang keilmuan dan prosedur ilmiah,
e.       sistematis, artinya karya ilmiah harus disusun dengan menggunakan sistematika yang baik, dan
f.       manfaat, artinya karya ilmiah harus mempunyai manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan secara teoritis dan pihak-pihak yang memerlukan, bahkan bermanfaat secara universal, dan bermanfaat praktis,

C.    Pola Pikir dalam Penulisan Karya Ilmiah

Pola piker dalam karya ilmiah memunyai peranan yang sangat penting karena sebuah karya ilmiah selalu didasarkan pada hasil berpikir ilmiah. Pola pikir dalam karya ilmiah dipilah menjadi dua, yaitu pola pikir bersifat deduksi (cara berpikir deduktif) dan pola pikiri induksi (cara berpikir deduktif). Pola pikir deduktif merupakan pola pikir ilmiah yang didahului dengan pernyataan umum yang berupa kesimpulan terhadap suatu objek atau pernyataan teoritis dari sebuah teori tertentu kemudian ditindajlanjuti dengan pernyataan khusus yang diperoleh dari analisis objek, argument-argumen, bukti-bukti, dan hal lain yang aktual, realistis, dan logis.

Sedangkan pola pikir induktif merupakan pola pikir yang didahului dengan pernyataan khusus yaitu hal yang bersifat aktual, realistis, dan objektif kemudian ditarik sebuah pernyataan umum (simpulan).

D.    Sumber-sumber Gagasan Penyusunan Karya Ilmiah

Sumber gagasan penysunan karya ilmiah yang dimaksudkan di sini adalah bahan penulisan. Bahan penulisan adalah berbagai informasi baik teoritis maupun realistis-empiris yang menimbulkan inspirasi untuk menyusun karya ilmiah. Sumber-sumber  informasi dapat diperoleh dari hal-hal seperti diuraikan di bawah ini.
a.      Inferensi atau pengalaman
Profesi yang kita tekuni, aktivitas yang kita jalani, dan pekerjaan yang kita kerjakan pasti memunculkan persoalan-persoalan. Kerap kali dalam benak kita mempunyai gagasan untuk mengembangkan aktivitas tersebut menjadi lebih baik, maju, dan berkualitas. Sering pula, ketika kita menjalani kegiatan, pekerjaan, dan profesi menemui masalah dan terlintas cara memecahkannya. Gagasan, cara memecahkan masalah, dan hal-hal baru yang kita dapatkan dari aktivitas itu dapat kita pakai sebagai bahan untuk menulis karya ilmiah. Sumber yang kita peroleh seperti itu berarti bersumber dari pengalaman sehari-hari.
b.      Observasi
Sumber penulisan karya ilmiah dapat diperoleh pula dari observasi. Observasi yang dimaksud adalah pengamatan terhadap suatu objek, kejadian, atau fenomena tertentu. Kegiatan observasi itu dilakukan dengan terjun langsung atau melibatkan diri ke dalam objek, peristiwa, dan fenomena yang diamati. Proses observasi harus dilakukan dengan sadar (terencana) dan terukur.
c.       Pustaka
Sumber pustaka maksudnya adalah sumber yang diperoleh dari buku dan media cetak lainnya. Untuk mendapatkan bahan penuluisan karya ilmiah dari sumber ini harus melalui proses membaca kritis.
d.      Deduksi dari suatu teori
Yang dimaksudkan deduksi dari suatu teori adalah pernyataan-pernyataan umum dari suatu kesimpulan suatu teori tertentu yang sudah umum dan diyakini kebenarannya. Penulis karya ilmiah berkeinginan untuk membuktikan simpulan teori tersebut pada hal lain.
e.       Kebijakan-kebijakan
Kebijakan-kebijakan tertentu dapat manjadi bahan penuliusan karya ilmiah. Yang dimaksudkan dangan kebijakan adalah ketentua-ketentuan tentang suatu hal yang diberikan atau diberlakukan oleh pihak tertentu. Kebijakan-kebijakan tersebut menimbulkan dampak tertentu pada pihak lain. Pihak lain ada yang setuju, ada yang menolak, ada pula yang tidak mendapatkan pengaruh apa pun. Hal tersebut dapat dipakai sebagai bahan untuk menyusun karya ilmiah.
f.       Laporan penelitian
Sumber dari laporan penelitian adalah sumber yang merupakan laporan dari suatu penelitian yang pernah dilakukan oleh orang lain. Penelitian itu telah dibukukan menjadi sebuah karya ilmiah. Dengan membaca laporan penelitian tersebut diharapkan kita akan memperoleh masalah lain yang dapat kita jadikan sebagai karya ilmiah.

E.     Prosedur Penyusunan Karya Ilmiah

F.     Sitematika Penyusunan Karya Ilmiah dan Teknik Penyusunannya

Bagian Awal
1. Hal-hal yang termasuk bagian awal adalah :
2. Halaman sampul
3.Halaman judul
4. Abstrak
5. Kata Pengantar
6. Daftar Isi
7. Daftar Gambar
8. Daftar Lampiran

Bagian Inti

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
B. Identifikasi Masalah
C. Pembatasan Masalah
D. Perumusan Masalah
E. Kegunaan Penelitian
F. Definisi Operasional

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian pustaka setiap variabel
B. .Hipotesis (jika ada)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
B. Tempat dan Waktu Penelitian
C. Populasi dan Sampel Penelitian
D. Metode Penelitian
E. Instrumen Penelitian
F. Teknik Analisis Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Hasil Penelitian
B. Uji Prsayarat Analisis
C. Pengujian Hipotesis
D. Pembahasan hasil penelitian

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan
B. Implikasi
C. Saran

Bagian Akhir

• Daftar Pustaka
• Lampiran
• Riwayat Hidup Penulis
Sistematika Laporan Penelitian Versi Pendek:
(Makalah , Artikel Jurnal Ilmiah)
1). Pendahuluan
2)  Kajian teori
3). Metode
4). Temuan dan Pembahasan
5). Kesimpulan dan Rekomendasi
6). Daftar Pustaka
7)  Lampiran
       - Daftar Riwayat Hidup

G.    Teknik Penulisan Komponen-komponen Karya Ilmiah

H.    Makalah sebagai Sebuah Bentuk Karya Ilmiah

Makalahadalah karya tulis yang membahas suatu masalah berdasarkan hasil kajian pustaka (teori) atau hasil pengamatan
Tahap-tahap Penyusunan Makalah
Persiapan
a. mengumpulkan dan membaca buku-buku untuk memilih dan menentukan topik
b. membaca buku-buku untuk memperluas pengetahuan yang berhubungan dengan topik yang telah terpilih
c.   mengembangkan kerangka makalah
2.  Penulisan
      Kegiatan pengembangan kerangka makalah menjadi sebuah makalah
3.  Pemeriksaan (Revisi)
      Pemeriksaan terhadap isi dan penggunaan  kata, kalimat, ejaan, dan
      tanda baca.
Pertimbangan dalam memilih topik
      (a) topik harus bermanfaat
      (b) menarik dan sesuai dengan minat penulis
      (c) topik harus dikuasai penulis
      (d) tersedia sumber-sumber informasi dan bacaan
Kerangka Makalah
BAB I   PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Permasalahan
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
1.5 metode pengumpulan data
1.6  Definisi operasional                         
BAB II  PEMBAHASAN
            Berisi uraian yang menjawab rumusan masalah secara terperinci didasarkan atas data-data dan informasi dari berbagai sumber.
BAB III PENUTUP
            3.1 Simpulan
            3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I   PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pada bagian ini diungkapkan hal-hal yangmelatarbelakangi pembuatan makalah atau karya tulis.Bagian ini mengungkapkan landasan pemikiran pemilihan judul atau permasalahan yang akan ditulis.
Tujuan
Bagian ini mengungkapkan tujuan yangingin dicapai melalui karya tulis tersebut
.Manfaat
Bagian ini penulis menjelaskan manfaat penelitian. Manfaat tersebut diarahkan kepada pihak-pihak tertentu. Perumusan manfaat adalah untuk siapa dan apa manfaatnya untuk pihak tersebut.
Pembatasan Masalah
Bagian ini mengungkapkan cakupan masalah yang akan dibahas. Masalah yang terlalu luas harus dibatasi supaya pembahasan lebih terfokus.Pembatasan juga dapat berisi penjelasan tentang peristilahan yang digunakan dalam karya tulis.
Metode Pengumpulan Data
Bagian ini menjelaskan berbagai teknik yang digunakan dalam pengumpulan data untuk penyusunan karya tulis tersebut.Pengumpulan data dapat dilakukan melalui pengamatan, angket, wawancara, dan membaca buku.
Definisi operasional
Pada bagian ini penulis dapat menjelaskan definisi dari fariabel yang dipakai dalam tulisan. Definisi operasional bersifat teknis, artinya istilah tersebut yang dipakai dalam makalah tersebut.

Bab II Pembahasan

Mengemukakan pembahasan masalah bersumber pada data yang diperoleh dibandingkan dengan teori yang terdapat pada berbagai sumber.

Bab III Penutup

memuat simpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Pustaka adalah daftar yang berisi buku, makalah, artikel, dan bahan bacaan lainnya yang dikutip atau digunakan sebagai sumber informasi dalam penulisan makalah.
Hal-hal yang diinformasikan dari sebuah buku dalam penulisan daftar pustaka, meliputi: (a) nama pengarang, (b) tahun penerbitan, (c) judul dan subjudul (jika ada), (d) tempat penerbitan, (e) nama penerbit.
Cara menulis daftar pustaka
      1.  Jika nama pengarang terdiri atas dua kata, kata kedua  harus didahulukan.           Misalnya, Amin Santoso ditulis Santoso, Amin. Di belakang nama diberitande     titik(.). Nama gelar tidak         perlu dicantumkan.
      2.  Tahun terbit buku diakhiri tanda titik (.)
     3.  Judul buku dan subjudul (kalau ada) ditulis miring atau diberi garis bawah         per kata dan diakhiri tanda titik (.)
      4.  Kota penerbit diakhiri tanda titik (.)
      5.  Nama penerbit buku diakhiri tanda titik (.)
Contoh
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Sastra.  Bandung: Sinar Baru.
Badudu, J.S.1981. Membina Bahasa Indonesia Baru. Seri 1, 2, 3. Bandung: Pustaka Prima.
………. . 1981. Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia. Cetakan ke-9. Bandung: Pustaka Prima.
Moeliono, Anton M., dkk. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Wijaya, Marlina dan Euis Honiatri. 1997. Intisari Tata    Bahasa Indonesia untuk SLTP. Bandung:      Pustaka Setia.


Friday, 4 October 2019

TEKNIK PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH POPULER : PENGERTIAN DAN PERBEDAAN


Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT., karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “Karya Tulis Ilmiah dan Karya Tulis Ilmiah Populer”.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah “Teknik Penulisan Karya Ilmiah Populer”. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Jepara, 10 April 2015

Penyusun




KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.         Latar Belakang
B.          Rumusan Masalah
C.          Tujuan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A.         Pengertian Karya Tulis Ilmiah
B.          Pengertian Karya Tulis Ilmiah Populer
C.          Perbedaan Karya Tulis Ilmiah dan Karya Tulis Ilmiah Populer
BAB III
PENUTUP
A.         Simpulan
B.          Penutup
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Menulis pada hakikatnya adalah upaya mengekspresikan apa yang dilihat, dialami, dirasakan, dan dipikirkan ke dalam sebuah bentuk tulisan. Misalnya, menulis artikel, jurnal, esai dan masih banyak lagi. Ada juga tulisan yang ditulis guna untuk menyelesaikan S1, S2, dan S3 (Skripsi, Tesis, dan Disertasi).
Bentuk karya tulis itu bermacam-macam, ada karya tulis ilmiah, karya tulis non ilmiah dan karya tulis ilmiah populer. Dalam makalah ini, akan dijelaskan mengenai karya tulis ilmiah dan karya tulis ilmiah populer.
B.     RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Jelaskan pengertian karya tulis ilmiah?
2.      Jelaskan pengertian karya tulis ilmiah populer?
3.      Apa perbedaan karya tulis ilmiah dan karya tulis ilmiah populer ?
C.    TUJUAN MASALAH
Tujuan dari rumusan masalah di atas adalah :
1.      Agar mahasiswa dan mahasiswi mengetahui pengertian karya tulis ilmiah.
2.      Agar mahasiswa dan mahasiswi mengetahui pengertian karya tulis ilmiah populer.
3.      Agar mahasiswa dan mahasiswi mengetahui perbedaan karya tulis ilmiah dan karya tulis ilmiah populer.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN KARYA TULIS ILMIAH
Karya ilmiah merupakan karya tulis yang isinya berusaha memaparkan suatu pembahasan secara ilmiah yang dilakukan oleh seorang penulis atau peneliti. Untuk memberitahukan sesuatu hal secara logis dan sistematis kepada para pembaca. Karya ilmiah biasanya ditulis untuk mencari jawaban mengenai sesuatu hal dan untuk membuktikan kebenaran tentang sesuatu yang terdapat dalam objek tulisan.[1]
Menurut Brotowidjoyo, karangan ilmiah adalah karangan ilmu pengetahuan yang menyajikan fakta dan ditulis menurut metodologi penulisan yang baik dan benar.
Susilo dan M. Eko (1995:11) mengemukakan bahwa karya ilmiah dapat juga berarti tulisan yang didasari oleh hasil pengamatan, peninjauan, dan penelitian dalam bidang tertentu, disusun menurut metode tertentu dengan sistematika penulisan yang bersantun bahasa dan isinya, serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya atau keilmiahannya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa karya tulis ilmiah merupakan pembahasan suatu hasil penelitian (faktual objektif). Faktual objektif adalah adanya kesesuaian antara fakta dan objek yang diteliti. Kesesuaian ini harus dibuktikan dengan pengamatan atau empiris. Karya ilmiah bersifat metodis dan sistematis. Artinya, dalam pembahasan masalah digunakan metode atau cara-cara tertentu dengan langkah-langkah yang teratur dan terkontrol melalui proses pengidentifikasian masalah dan penentuan strategi.
·         Ciri-ciri karya tulis ilmiah
1.      Objektif.
Keobjektifan ini tampak pada setiap fakta dan data yang diungkapkan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, tidak dimanipulasi. Juga setiap pernyataan atau simpulan yang disampaikan berdasarkan bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, siapa pun dapat mengecek (memverifikasi) kebenaran dan keabsahannya.
2.      Sistematis.
Uraian yang terdapat pada karya ilmiah dikatakan sistematis apabila mengikuti pola  pengembangan tertentu, misalnya pola urutan, klasifikasi, kausalitas, dan sebagainya. Dengan cara demikian, pembaca akan bisa mengikutinya dengan mudah alur uraiannya.
3.      Logis.
Kelogisan ini bisa dilihat dari pola nalar yang digunakannya, pola nalar induktif atau deduktif. Kalau bermaksud menyimpulkan suatu fakta atau data digunakan pola induktif; sebaliknya, kalau bermaksud membuktikan suatu teori atau hipotesis digunakan pola deduktif.
4.      Menyajikan fakta (bukan emosi atau perasaan).
Setiap pernyataan, uraian, atau simpulan dalam karya ilmiah harus faktual, yaitu menyajikan fakta. Oleh karena itu, pernyataan atau ungkapan yang emosional (menggebu-gebu seperti orang berkampanye, perasaan sedih seperti orang berkabung, perasaan senang seperti orang mendapatkan hadiah, dan perasaan marah seperti orang bertengkar) hendaknya dihindarkan.
5.      Tidak pleonastis.
Maksudnya kata-kata yang digunakan tidak berlebihan (langsung tepat menuju sasaran).
6.      Menggunakan ragam bahasa formal.

                 B.     PENGERTIAN KARYA TULIS ILMIAH POPULER
Karya ilmiah populer merupakan karya ilmiah yang bentuk, isi, dan bahasanya menggunakan kaidah-kaidah keilmuan, serta disajikan dalam bahasa yang santai dan mudah dipahami oleh masyarakat awam.
Slamet Suseno (dalam Dalman, 2012: 156) mengemukakan bahwa karya ilmiah populer lebih banyak diciptakan dengan jalan menyadur tulisan orang lain daripada dengan jalan menulis gagasan, pendapat, dan pernyataannya sendiri. Karya ilmiah populer adalah karangan ilmiah yang berisi pembicaraan tentang ilmu pengetahuan dengan teknik penyajian yang sederhana mengenai hal-hal kehidupan sehari-hari.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa karya tulis ilmiah populer merupakan suatu karya yang ditulis dengan menggunakan bahasa yang populer sehingga mudah dipahami oleh masyarakat dan menarik untuk dibaca.
·         Ciri – ciri karya tulis ilmiah populer:
1.      Menyajikan fakta yang objektif
2.      Menggunakan bahasa yang cermat, tidak terlalu formal tapi tetap taat asas, disusun secara sistematis.
3.      Sikap penulis tidak memancing pertanyaan-pertanyaan yang meragukan
4.      Penyimpulan berdasarkan fakta

C.     PERBEDAAN KARYA TULIS ILMIAH DAN KARYA TULIS ILMIAH POPULER
Perbedaan karya ilmiah dengan karya ilmiah populer adalah adanya perbedaan penggunaan bahasa, terlihat bahwa bahasa karya ilmiah populer lebih mudah dipahami, lebih cair, dan lebih enak dibaca jika dibandingkan dengan bahasa yang biasa digunakan dalam laporan penelitian atau artikel ilmiah. Sedangkan, karya tulis ilmiah ditulis dalam bahasa baku dan sangat terikat dengan kaidah bahasa Indonesia resmi.

BAB III
PENUTUP
                      A.    SIMPULAN
·       Karya ilmiah merupakan karya tulis yang isinya berusaha memaparkan suatu pembahasan secara ilmiah yang dilakukan oleh seorang penulis atau peneliti menggunakan bahasa baku dan formal
·       Karya tulis ilmiah populer merupakan suatu karya yang ditulis dengan menggunakan bahasa yang populer sehingga mudah dipahami oleh masyarakat dan menarik untuk dibaca.
·       Perbedaan keduanya terletak pada penggunaan bahasa, terlihat bahwa bahasa karya ilmiah populer lebih mudah dipahami, lebih cair, dan lebih enak dibaca jika dibandingkan dengan bahasa yang biasa digunakan dalam laporan penelitian atau artikel ilmiah. Sedangkan, karya tulis ilmiah ditulis dalam bahasa baku dan sangat terikat dengan kaidah bahasa Indonesia resmi.
B.     PENUTUP
Demikian makalah dengan judul “Karya Tulis Ilmiah dan Karya Tulis Ilmiah Populer” ini telah selesai. Tentunya dalam makalah ini masih terdapat kekurangan yang perlu diperbaiki karena terbatasnya pengetahuan, sumber serta biaya dari penyusun. Untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat penyusun harapkan.

DAFTAR PUSTAKA
Alek, & Achmad, H.P. 2011. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta : Kencana.


Thursday, 3 October 2019

Makalah Konsep Hukum Dalam Islam : Pengertian, Konsep, Tujuan, Syarat, Macam-Macam serta Pelaksanaan Hukum Dalam Islam


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.        Latar belakang
Nabi Muhammad saw mendapatkan wahyu dari Allah SWT pertama kali pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahirannya, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M. Semenjak saat itu, Muhammad bin Abdullah  mengemban amanat nubuwwah dari Allah SWT untuk membawa agama Islam ke tengah-tengah manusia, yang ternyata merupakan sebuah ajaran yang merombak seluruh system social, terutama system hukum yang ada pada masyarakat Jahiliyyah. Islam datang ke tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah dengan membawa syari'ah (system hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur relasi yang adil dan egaliter antar individu manusia dalam masyarakat. Secara prinsip, kemunculan Nabi Muhammad saw dengan membawa ajaran-ajaran egaliter, dapat dinilai sebagai sebuah perubahan social terhadap kejahiliyyahan yang sedang terjadi di dalam masyarakat, terutama system hukumnya, dengan wahyu dan petunjuk dari Allah SWT.
Hukum Islam (Islamic Law) merupakan perintah-perintah suci dari Allah SWT yang mengatur seluruh aspek kehidupan setiap Muslim, dan meliputi materi-materi-materi hukum secara
murni serta materi-materi spiritual keagamaan.[1] Melalui penelitian sejarah yang empiris, Joseph Schacht menyebut Islamic Law sebagai ringkasan dari pemikiran Islam, manifestasi way of life Islam yang sangat khas, dan bahkan sebagai inti dari Islam itu sendiri.

Di dalam Islam, hukuman tidak berangkat dari pendapat manusia atau kesepakatan manusia belaka. Karena apa yang ada dalam pandangan manusia memiliki keterbatasan. Seringkali apa yang dalam pandangan manusia baik, pada hakikatnya belum tentu baik. Demikian juga, apa yang dalam pandangan manusia buruk, hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga bagi umat Islam, harus mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan syari’at.
Adapun tujuan hukum Islam yang disebut al-dharuriyyat al-khams atau al-kulliyyat alkhams (disebut pula maqasid al-syari “ah), yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati bukan hanya oleh ulama Islam melainkan juga oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan utama itu adalah: 1. Memelihara agama; 2. Memelihara jiwa; 3. Memelihara akal; 4. Memelihara keturunan dan atau kehormatan, dan 5. Memelihara harta.


1.2.      Rumusan masalah
1.      Apa pengertian hokum dan tindak pidana?  
2.      Apa  Konsep Hukum Dalam Islam?
3.      Apa tujuan hukum islam ?
4.      Apa saja syarat-syarat dalam pelaksanaan hukuman yang sesuai dengan syari’at Islam?
5.      Apa saja macam-macam hukuman dalam hukum pidana Islam?
6.      Bagaimana pelaksanaan hukuman dalam islam?

1.3.        Tujuan
1.    Untuk mengetahui pengertian dari hukuman
2.    Untuk mengetahui tujuan ditetapkannya hukuman menurut syari’at Islam.
3.    Untuk memahami syarat-syarat pelaksanaan hukuman yang sesuai dengan syari’at Islam.
4.    Untuk memahami syarat-syarat pelaksanan hukuman dalam hukum pidana Islam.




BAB 2
Pembahasan
   Konsep Hukum dalam Islam
A.   Pengertian hukum
Hukum (peraturan/norma) adalah suatu hal yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuhdan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Hukum Islam adalah hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan).
Dengan adanya Hukum dalai slam berarti ada batasan-batasan yang harus dipatuhi dalam kehidupan.

B.   Ruang Lingkup Hukum Islam
Hukum Islam dibagi ke dalam dua bagian :
1.      Bidang Ibadah (ibadah mahdah)
Ibadah mahdah adalah tata cara beribadah yang wajib dilakukan seorang muslim dalam berhubungan dengan Allah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
2.      Mu’amalah ( ibadah ghairu mahdah)
Mu’amalat adalah ketetapan Allah yang langsung berhubungan dengan kehidupan sosial manusia.Yang sifatnya terbuka untuk dikembangkan melalui ijtiad manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan usaha itu.

C.   Tujuan Hukum Islam
Tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan. Mengarahkan manusia kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan diakhirat kelak . Menurut Abu Ishak al-shatibi :
1. Memelihara agama 
2. Memelihara jiwa
3. Memelihara akal
4. Memelihara keturunan
5. Memelihara harta

D.   Sumber hukum islam
Pembahasan sumber-sumber Syariat Islam, termasuk masalah pokok (ushul) karena dari sumber-sumber itulah terpancar seluruh hukum/syariat Islam.Oleh karenanya untuk menetapkan sumber syariat Islam harus berdasarkan ketetapan yang qath’i (pasti) kebenarannya, bukan sesuatu yang bersifat dugaan (dzanni). Berikut sumber hukum islam :
1.      Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Rasulullah saw dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran agar dijadikan hujjah(argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi seluruh ummat manusia, di samping merupakan amal ibadah bagi yang membacanya.
Al-Qur’an diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir) yang artinya diriwayatkan oleh orang sangat banyak semenjak dari generasi shahabat ke generasinya selanjutnya secara berjamaah. Jadi apa yang diriwayatkan oleh orang per orang tidak dapat dikatakan sebagai Al-Qur’an. Orang-orang yang memusuhi Al-Qur’an dan membenci Islam telah berkali-kali mencoba menggugat nilai keasliannya.Akan tetapi realitas sejarah dan pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan.Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan ciptaan manusia, bukan karangan Muhammad saw ataupun saduran dari kitab-kitab sebelumnya.
Al-Qur’an tetap menjadi mu’jizat sekaligus sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah Islam sepanjang masa dan sebagai sumber segala sumber hukum bagi setiap bentuk kehidupan manusia di dunia.
2.      As-Sunnah
Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan / persetujuan / diamnya) Rasulullah saw terhadap sesuatu hal/perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya. Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang nilai kebenarannya sama dengan Al-Qur’an karena sebenarnya Sunnah juga berasal dari wahyu.
3.      Al-Ijtihad
Al-Ijtihad sebagai sumber hukum Islam yang ketiga berdasar pada QS.4 : 59 yang berisi perintah kepada orang-orang yang beriman agar patuh, taat kepada ketentuan-ketentuan Rasul (sunah/hadits) serta taat mengikuti ketentuan-ketentuan Ulil Amri (Ijtihad). Al-Ijtihad yaitu berusaha dengan keras untuk menetapkan hukum suatu persoalan yang tidak ditegaskan secara langsung oleh Al-Qur’an dan atau Hadits dengan cara istinbath (menggali kesesuaiannya pada Al-Qur’an dan ataupun Hadits) oleh ulama-ulama yang ahli setelah wafatnya Rasulullah.

E.     Fungsi Hukum Islam Dalam Kehidupan Bermasyarakat
Sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang lingkup hukum Islam, bahwa ruang lingkup hukum Islam sangat luas. Yang diatur dalam hukum Islam bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia dengan benda, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam Al Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban untuk mentaati hokum yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Peranan hokum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :
a.      Fungsi Ibadah
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT.Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.
b.       Fungsi Amar Ma’ruf
Hukum Islam sebagai hokum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hokum  (Allah) dengan subyek dan obyek hokum (perbuatan mukallaf). Penetap hokum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya. Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap.
Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hukum tersebut dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh.Penetap hokum sangat mengetahui bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi masyarakat pecandu riba dan khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman riba dan khamar, akan tampak bahwa hokum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana pengendali sosial.
Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hokum tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas.Secara langsung, akibat buruk riba dan khamar memang hanya menimpa pelakunya.Namun secara tidak langsung, lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut.Oleh karena itu, kita dapat memahami, fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar.
c.       Fungsi Zawajir
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman hokum atau sanksi hokum.Qishash, Diyat, ditetapkan untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu (pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hokum mencerminkan fungsi hokum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan.Fungsi hokum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.
d.      Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah
Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat dalam hokum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalahmuamalah, yang pada umumnya hokum Islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya.

F.   Konsep Hak Asasi Manusia Dalam Islam
Hak asasi manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal yang menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya.Melalui deklarasi universal ham 10 desember 1948 merupakan tonggak bersejarah berlakunya penjaminan hak mengenai manusia sebagai manusia. Sejarah HAM dimulai dari magna charta di inggris pada tahun 1252 yang kemudian kemudian berlanjut pada bill of rights dan kemudian berpangkal pada DUHAM PBB. Dalam konteks keIndonesiaan penegakan HAM masih bisa dibilang kurang memuaskan. Banyak faktor yang menyebabkan penegakan HAM di Indonesia terhambat seperti problem politik, dualisme peradilan dan prosedural acara (kontras, 2004;160).
Islam sebagai agama bagi pengikutnya meyakini konsep Islam adalah sebagai way of life yang berarti pandangan hidup.Islam menurut para penganutnya merupakan konsep yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia.Begitu juga dalam pengaturan mengenai hak asasi manusia Islam pun mengtur mengenai hak asasi manusia.Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang berarti agama rahmat bagi seluruh alam.Bahkan dalam ketidakadilan sosial sekalipun Islam pun mengatur mengenai konsep kaum mustadhafin yang harus dibela.

   Tindak Pidana

A.   Pengertian Hukuman/Tindak Pidana
Hukuman atau Hukum Pidana dalam Islam disebut al-‘Uqubaah yang meliputi baik hal-hal yang merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.

Rahman Ritonga berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.
Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah.Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata عَقبَ yang sinonimnya خَلفهُ وَجَاءَبعَقبهِ artinya mengiringnya dan datang di belakangnya. Dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafaz tersebut bisa diambil dari lafaz عَاقَبَ yang sinonimnya جَزَاهُ سَوَاءً بِماَ فَعَلَ artinya membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan melaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang menyimpang yang telah dilakukannya.
Menurut Abdul Qadir Audah, definisi hukuman adalah sebagai berikut:
اَلْعُقُوْ بَةُ هِىَ الْجَزَاءُ الْمُقَرَّرُ لِمَصْلَحَةِالْجَمَاعةِ عَلى عِصْيَانِ اَمْرِ الشَّارِعِ
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’.


B.   Tujuan Hukuman
Tujuan dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syari’at Islam adalah:

1).  Pencegahan ( الرّدْعُ وَالزّجْرُ )
Pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.


2).  Perbaikan dan Pendidikan ( الاِصْلاحُ والتّهْذِ يْبُ )
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT.

3).  Kemaslahatan Masyarakat
Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya.

Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan pidana dapat dihimpun dalam empat bagian, yakni:
·         Pembalasan (revenge).
Seseorang yang telah menyebabkan kerusakan dan malapetaka pada orang lain, menurut alasan ini wajib menderita seperti yang ditimpakan kepada orang lain.
·         Penghapusan Dosa (ekspiation).
Konsep ini berasal dari pemikiran yang bersifat religius yang bersumber dari Allah
·         Menjerakan (detern).
Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilitation of the criminal).
Pidana ini diterapkan sebagai usaha untuk mengubah sikap dan perilaku jarimun agar tidak mengulangi kejahatannya.

Abdul Qadir Awdah mengatakan bahwa prinsip hukuman dalam Islam dapat disimpulkan dalam dua prinsip pokok, yaitu menuntaskan segala perbuatan pidana dengan mengabaikan pribadi terpidana dan memperbaiki sikap terpidana sekaligus memberantas segala bentuk tindak pidana.Memberantas segala bentuk tindak pidana bertujuan untuk memelihara stabilitas masyarakat, sedangkan untuk pribadi terpidana bertujuan untuk memperbaiki sikap dan perilakunya.Oleh sebab itu, menurutnya hukuman bagi segala bentuk tindak pidana yang terjadi harus sesuai dengan kemaslahatan dan ketentraman masyarakat yang menghendaki.
C.   Syarat-Syarat Pelaksanaan Hukuman
1.      Hukuman Harus ada Dasarnya dari Syara’
Hukum dianggap mempunyai dasar (syar’iyah) apabila ia didasarkan kepada sumber-sumber syara’ seperti: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, atau undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil amri) seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hal hukuman ditetapkan oleh ulil amri maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syara’.Apabila bertentangan maka ketentuan hukuman tersebut menjadi batal.
Hukum pidana Islam mengenal asas ini secara substansial sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya:


– Surat Al-Isra’ ayat 15:
وَمَاكُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نبْعَثَ رَسُوْﻻً…
”…dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul”.
– Surat Al-Baqarah ayat 286:
ﻻََيُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِﻻَّوُسْعَهاَ
“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya…”.
Berikut ini kaidah yang dirumuskan oleh para ahli hukum yang diambil dari sunstansi ayat-ayat tersebut:
ﻻَجَرِيْمَةَ وَﻻَعُقُوْبَةَ اِﻻَّ بِالنَّصِّ
“Tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali adanya nas”.

2.      Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan)
Ini mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini merupakan salah satu dasar dan prinsip yang ditegakkan oleh syariat Islam dan ini telah dibicarakan berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban.

3.      Hukuman Harus Bersifat Universal Dan Berlaku Umum
Ini berarti hukuman harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi, baik pangkat, jabatan, status, atau kedudukannya.
Di dalam hukum pidana Islam, persamaan yang sempurna itu hanya terdapat dalam jarimah dan hukuman had atau qishash, karena keduanya merupakan hukuman yang telah ditentukan oleh syara’. Setiap orang yang melakukan jarimah hudud akan dihukum dengan hukuman yang sesuai dengan jarimah yang dilakukannya. Sedangkan persamaan yang dituntut dari hukuman ta’zir adalah persamaan dalam aspek dampak hukuman terhadap pelaku, yaitu mencegah, mendidik, dan memperbaikinya.Sebagian pelaku mungkin cukup dengan hukuman peringatan, sebagian lagi perlu dipenjara, dan sebagian lagi mungkin harus didera atau bahkan ada pula yang harus dikenakan hukuman mati.

D.   Macam-Macam Hukuman
Menurut Abdul Qadir Audah macam-macam hukuman adalah sebagai berikut :
1.      Penggolongan ini ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang lainnya, dan dalam hal ini ada empat macam hukuman yaitu:
a.       Hukuman pokok (‘Uqubah Ashliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman yang asli, seperti hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan, atau hukuman potong tangan untuk jarimah pencurian.
b.      Hukuman pengganti (‘Uqubah Badaliyah), yaitu hukuman yang menggantikan hukuman pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat di laksanakan karena alasan yang sah, seperti hukuman diyat (denda) sebagai pengganti hukuman qishash.
c.       Hukuman tambahan (‘Uqubah Taba’iyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga.
d.      Hukuman pelengkap (‘Uqubah Takmiliyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim, dan syarat inilah yang menjadi ciri pemisahnya dengan hukuman tambahan. Contohnya mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong di lehernya.
2.      Penggolongan kedua ini ditinjau dari kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman. Dalam hal ini ada dua macam hukuman:
a.       Hukuman yang hanya mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas tertinggi atau batas terendah, seperti hukuman jilid (dera) sebagai hukuman had (80 kali atau 100 kali).
b.      Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas terendahnya, dimana hakim diberi kebebasan memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut, seperti hukuman penjara atau jilid pada jarimah-jarimah ta’zir.
3.      Penggolongan ketiga ini ditinjau dari segi besarnya hukuman yang telah ditentukan, yaitu:
a.       Hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya dimana hakim harus melaksakannya tanpa dikurangi atau di tambah, atau diganti dengan hukuman yang lain. Hukuman ini disebut hukuman keharusan.
b.      Hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk dipilihnya dari sekumpulan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syara’ agar dapat disesuaikan dengan keadaan pembuat dari perbuatannya.Hukuman ini disebut hukuman pilihan.
4.      Penggolongan ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, yaitu:
a.       Hukuman badan, yaitu yang dijatuhkan atas badan seperti hukuman mati, dera, dan penjara.
b.      Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan atau teguran.
c.       Hukuman harta, yaitu yang dikenakan terhadap harta seseorang, seperti diyat, denda dan perampasan harta.
5.      Penggolongan kelima ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman, yaitu:
a.       Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud.
b.      Hukuman qishash dan diyat, yaitu yang ditetapkan atas jarimah-jarimah qisas diyat.
c.       Hukuman kifarat, yaitu yang ditetapkan untuk sebagian jarimah qishash dan diyat dan beberapa jarimah ta’zir.
d.      Hukuman ta’zir, yaitu yang ditetapkan untuk jarimah-jarimah ta’zir.

E.   Pemberlakuan Hukuman
Dalam perkembangannya, pemberlakuan sanksi dalam hukum pidana Islam muncul 3 kalangan, yaitu:

a.     Kalangan Tradisional.
Kalangan ini beranggapan bahwa hukuman harus dijalankan sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.

b.     Kalangan Modernis.
Kalangan ini beranggapan bahwa hukum Islam memang ada dan berlaku tetapi tergantung bagaimana metode pelaksanannya.

c.      Kalangan Reformatif.
Kalangan ini mencoba menggabungkan kalangan tradisionalis dan kalangan modernis. Artinya kalangan ini tetap meyakini hukum Islam ada pada nash dan dilaksanakan menurut metode nash.

Hukuman Hudud
1.      Hukuman Zina
Zina secara harfiah berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji. Secara istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang perempuan juga satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan. Nabi Muhammad SAW telah menyatakan bahwa zina merupakan dosa paling besar kedua setelah syirik (mempersekutukan Allah). Beliau bersabda:
قال عليه الصلاة والسلام مامررس يعد السرل اعظم مرعيرالله مريطعه ومعها رحل فى رحم لايعل له
“Nabi SAW telah bersabda: Tak ada dosa yang lebih besar setelah syirik di sisi Allah selain dari seorang lelaki yang mencurahkan maninya di tempat/kandungan yang tidak halal baginya”.
عن أبوهديرة رفي الله عنه ان النبى صلى الله عليه وسلم قال ان الله كتب على ابن ادم حظّه من الزناأدرك ذلك لامحالة فذناالعينين النطروزنااللسان النّطق والنفس تمو وتشتهي والفرج يصدّ ق ذلك اويكذبه
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwasanya: Nabi SAW bersabda: Allah SWT telah menentukan bahwa anak Adam cenderung terhadap perbuatan zina. Keinginan tersebut tidak dapat dielakkan, yaitu melakukan zina mata dalam bentuk pandangan, zina mulut dalam bentuk penuturan, zina perasaan melalui cita-cita dan keinginan mendapatkannya.Namun, kemaluanlah yang menentukan dalam bentuk zina atau tidak”.
عن أبي هريرة رفي الله عنه قال سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول إذازنت أمة أحدكم فتبين زناهافليجلد هاالحدولايثرب عليها ثم إن زنت فليجلد هاالحدولايثرب ثم إن رنت الثالثة فتبين زناهافيبعهاولوبحبل من شعر
“Diriwayakan dari Abu Hurairah ra, katanya: Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Apabila seorang hamba perempuan milik salah seorang diantara kamu melakukan zina dan telah terbukti, maka hukumlah dia dengan cambukan rotan dan janganlah kamu memaksanya. Dan jika dia mengulanginya lagi dua kali ketiganya dan terbukti,maka jualah dia walaupun dengan harga sehelai rambut”.
Hukuman zina ditetapkan tiga hukuman, yaitu dera, pengasingan dan rajam.Hukuman dera dan pengasingan ditetapkan untuk pembuat zina tidak muhshan, dan hukuman rajam dikenakan pada terhadap zina muhshan.Kalau kedua pelaku zina tidak muhshan keduanya, maka keduanya dijilid atau diasingkan.Akan tetapi keduanya muhshan keduanya dijatuhi hukuman rajam.

Hukuman Jilid
Hukuman jilid seratus kali diancamkan atas perbuatan zina yang dilakukan oleh orang yang tidak muhshan. Hukuman jilid dijatuhkan untuk mengimbangi faktor psikologis yang mendorong diperbuatnya jarimah zina, yaitu keinginan untuk mendapatkan kesenangan.Faktor psikologis penentangnya yang menyebabkan seorang meninggalkan kenangan tersebut ialah ancaman sengsara yaitu yang ditimbulkan oleh seratus jilid.Kalau faktor pendorong zina lebih kuat daripada faktor penghalaunya maka derita hukuman yang dijatuhkan cukup melupakan kesenangan yang sudah diperoleh, sehingga bisa mendorongnya untuk memikirkannya kembali.

Hukuman pengasingan
Terhadap pembuat zina tidak muhshan dikenakan hukuman pengasingan selama satu tahun selain hukuman jilid.

Hukuman rajam
Hukuman rajam ialah hukuman mati dengan jalan dilempari batu dan yang dikenakan adalah pembuat zina muhshan, baik lelaki maupun perempuan. Hukuman rajam tidak tercantum dalam Al-Qur’an, oleh karena itu fuqaha-fuqaha khawarij tidak memakai hukuman rajam.Menurut jarimah-jarimah zina dikenakan hukuman jilid saja, baik pelaku muhshan atau belum.
Orang yang sudah muhshan mendapat hukuman lebih berat, yaitu hukuman rajam karena biasanya keihshanan seseorang cukup menjauhkannya dari pemikiran tentang perbuatan zina. Akan tetapi kalau ia masih juga memikirkannya maka hal ini menunjukkan kekuatan birahi dan keinginan akan kelezatan, dan oleh karena itu maka harus dijatuhi hukuman yang berat, sehingga ketika ia menginginkan jarimah tersebut terbayang pula derita dan sengsara yang akan menimpa dirinya.
Akan tetapi apabila sudah kawin maka sudah tidak ada jalan bagi jarimah zina, sebab tali perkawinan itu sendiri bukanlah perkara abadi yang tidak boleh putus, sehingga oleh karena itu apabila perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi, maka suami bisa menceraikan istri.

2.       Hukuman Qadzaf
Salah satu delik pidana dalam hukum pidana Islam, yaitu al Qadzfu.Qadzf secara harfiah berarti melemparkan sesuatu.Istilah qadzaf dalam hukum Islam adalah tuduhan terhadap seseorang bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan zina.
Qadzaf atau fitnah merupakan suatu pelanggaran yang terjadi bila seseorang dengan bohong menuduh seorang muslim berzina atau meragukan silsilahnya. Ia merupakan kejahatan yang besar dalam Islam dan yang melakukan disebut pelanggar yang berdosa oleh Al-Qur’an. QS. 24/An-Nur: 4. Sanksi bagi yang menuduh orang banyak melakukan zina dengan berulang kali ucapan adalah hadd yang berulang kali pula sesuai dengan jumlah pengulangan ucapan yang ia lakukan, akan tetapi apakah sanksi bagi yang menuduh orang banyak (melakukan zina) dengan satu kali ucapan itu satu kali hadd atau berulang kali sesuai dengan jumlah orang yang dituduh.
Dalam Qawl Qadim, Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang menuduh orang banyak (melakukan zina) dengan satu kali ucapan itu dihukum dengan satu kali hadd: karena perbuatannya sepadan dengan menuduh satu orang melakukan zina (dikatakan sekali ucapan). Sedangkan dengan menuduh satu orang melakukan zina (dikatakan sekali ucapan). Sedangkan dalam Qawl Jadid Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang menuduh orang banyak (melakukan zina) dengan satu kali ucapan itu dihukum dengan berulang kali hadd sesuai dengan jumlah orang dengan dituduh, menuduh orang banyak dengan satu kali ucapan sepadan dengan menuduh orang banyak dengan berulang kali ucapan.
Jarimah qadzaf dikenakan hukuman pokok, yaitu jilid delapan puluh kali, dan hukuman tambahan, yaitu tidak menerima persaksian pembuatnya.Hukuman tersebut dijatuhkan apabila berisi kebohongan.Apabila berisi kebenaran maka tidak ada jarimah qadzaf.
Banyak faktor yang menimbulkan jarimah qadzaf, antara lain iri hati, dengki, balas dendam dan persaingan. Akan tetapi kesemuanya bertujuan satu, yakni menghina korban dan melukai hatinya. Dengan jarimah qadzaf pembuat bermaksud menimbulkan kejiwaan dan oleh karena itu maka harus diimbangi pula dengan derita badan yang ditanggung oleh pembuat jarimah, disamping derita kejiwaan pula yang harus diterimanya dari masyarakat, yakni dinyatakan hapus keadilannya dan oleh karena itu maka ia tidak bisa menjadi saksi, serta mendapatkan cap abadi orang fasik.

3.      Hukum Minum Minuman Keras
Jarimah minum minuman keras dijatuhi hukuman delapan puluh jilid. Menurut Imam Syafi’I hukuman jarimah tersebut adalah empat puluh jilid sebagai hukuman had, sedang empat puluh jilid lainnya tidak termasuk hukuman had, melainkan sebagai hukuman ta’zir, artinya sebagai hukuman yang dijatuhkan apabila dipandang perlu oleh hakim.
Faktor yang mendorong seseorang untuk minum khamer ialah keinginannya untuk melupakan penderita jiwanya dan kenyataan hidupnya untuk menuju mendapatkan kebahagian khayalan yang ditimbulkan oleh lezatnya khamer.Faktor pendorong ialah yang diperangi oleh syariat dengan hukuman jilid yang selain menimbulkan derita kejiwaan juga menimbulkan derita badan.

4.      Hukuman Pencurian
Pencurian adalah orang yang mengambil benda atau barang milik orang lain secara diam-diam untuk dimiliki.
Pencurian diancamkan hukuman potong tangan dan kaki, sesuai dengan firman Allah SW
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Maidah 38)
Di kalangan fuqaha sudah sepakat bahwa didalam pengertian kata-kata “tangan” (yad) termasuk juga kaki.Apabila seseorang melakukan pencurian untuk pertama kalinya, maka tangan kanannya yang dipotong, dan apabila pencurian tersebut diulangi, maka kaki kirinya yang dipotong.
Seseorang yang mencuri ketika meniatkan perbuatannya maka sebenarnya ia menginginkan agar usahanya (kekayaannya) ditambah dengan kekayaan orang lain, dan ia meremehkan usaha-usaha halal. Ia tidak mencukupkan dengan hasil usahanya sendiri, melainkan mengharapkan usaha orang lain, agar dengan demikian ia bertambah daya nafkahnya atau tidak bersusah-susah bekerja atau dapat terjamin hari depannya. Dengan perkataan lain tambahnya usaha atau kekayaan itulah yang menjadi factor pendorong adanya pencurian. Sebagai imbangan dari factor tersebut Syariat Islam menetapkan hukuman potong tangan (dan kaki) karena terpotongnya tangan dan kaki sebagai alat kerja penyambung kerja yang utama yang mengurangi usaha dan kekayaan, serta mengakibatkan hari depannya terancam.

5.      Hukuman Gangguan Keamanan
Terhadap gangguan keamanan (hirabah) dikenakan empat hukuman, yaitu hukuman mati biasa, hukuman mati dengan salib, hukuman dengan potong tangan dan kaki dan pengasingan.
§ Hukuman Mati
Hukuman ini dijatuhkan atas pengganggu keamanan (pembegal, penyamun) apabila ia melakukan pembunuhan. Hukuman tersebut hukuman had dan bukan hukuman qisas. Oleh karna itu maka hukuman tersebut tidak boleh dimaafkan.Naluri keinginan hidup sendiri merupakan pendorong bagi pembuat untuk melakukan jarimahnya itu. Kalau ia menyadari bahwa ketika ia membunuh orang lain, sebenarnya ia membunuh dirinya sendiri pula pada galibnya ia tidak akan meneruskan perbuatannya. Jadi faktor kejiwaan disini dilawan pula dengan factor kejiwaan agar ia menghindari jarimah.
§Hukuman Mati Disalib
Hukuman ini dijatuhkan apabila pengganggu keamanan melakukan pembunuhan serta merampas harta benda.Jadi hukuman tersebut dijatuhkan atas pembunuhan dan pencurian harta bersama-sama.Dimana pembunuhan tersebut merupakan jalan untuk memudahkan pencurian harta. Hukuman tersebut juga merupakan hukuman had yang tidak bisa dimaafkan.
Penjatuhan hukuman tidak beda dengan dasar penjatuhan hukuman mati. Akan tetapi karena harta benda disini menjadi pendorong bagi perbuatan jarimahnya maka hukuman harus diberatkan, sehingga apabila ia meniatkan jarimah-jarimah tersebut beserta hukumannya yang berat, maka ia akan mengurungkan niatnya.
§Pemotongan Anggota Badan
Pemotongan tangan kanan pembuat dan kaki kirinya sekaligus, yakni tangan dan kaki berseling-seling. Jatuhan hukuman tersebut sama dengan penjatuhan hukuman pencurian. Akan tetapi jarimah ini biasanya dikerjakan dijalan-jalan umum yang jatuh dari keramaian, maka pengganggu keamanan pada galibnya yakin akan berhasilnya perbuatan yang dilakukannya dan akan keamanan dirinya. Keadaan demikian itulah yang menjadi penguat factor kejiwaan yang menjauhkannya.Oleh karena itu hukuman harus diperberat agar kedua factor tersebut dapat seimbang.
Hukuman gangguan keamanan disini sama dengan hukuman pencurian dua kali, dan pelipatan disini adalah adil, karena bahaya gangguan keamanan tidak kalah dengan bahayanya pencurian biasa dan karena kesempatan untuk meloloskan diri lebih banyak daripada kesempatan dalam pencurian biasa.
§Pengasingan
Hukuman ini dijatuhkan apabila pengganggu keamanan hanya menakut-nakuti orang yang berlalu lintas, tetapi tidak mengambil harta dan tidak pula membunuh. Boleh jadi perbuatannya ia maksudkan mencari ketenaran nama diri oleh karna itu maka ia harus diasingkan, sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketenarannya. Boleh jadi dengan perbuatannya tersebut pengganggu keamanan bermaksud meniadakan keamanan dijalan-jalan umum sebagai bagian dari negri, dan oleh karna itu maka ia akan dihukum dengan meniadakan keamanan diri nya dari semua bagian negri. Baik alasan itu tepat atau tidak, namun yang jelas ialah bahwa factor kejiwaan ditandingi pula dengan factor kejiwaan yang lain.

6.      Hukuman Jarimah Murtad dan Pemberontakan
Perbuatan murtad diancam dengan dua hukuman, yaitu hukuman mati sebagai hukuman pokok dan dirampas harta bendanya sebagai hukuman tambahan.
§Hukuman Mati
Syariat Islam menghukum perbuatan murtad, karena perbuatan tersebut ditujukan terhadap agama Islam sebagai system social bagi masyarakat Islam. Ketidak-tegasan dalam menghukum jarimah tersebut akan berakibat goncangnya system tersebut. Dan oleh karena itu pembuatnya perlu ditumpas sama sekali untuk melindungi masyarakat dan sitem kehidupannya, dan agar menjadi alat pencegahan umum. Sudah barang tentu hanya hukuman mati saja yang bisa mencapai tujuan tersebut.
Kebanyakan Negara-negara didunia pada masa sekarang dalam melindungi system masyarakatnya memakai hukuman berat yaitu hukuman mati.Yang dijatuhkan terhadap orang yang menyeleweng dari system tersebut atau berusaha merobohkannya.
§Perampasan Harta
Perampasan harta merupakan hukuman tambahan, menurut Imam-imam Malik dan Syafi’I dan pendapat yang kuat dalam madzhab Hambali, semua harta orang dirampas.Menurut imam Abu Hanifah dan pendapat yang tidak kuat dalam madzhab Hambali, hanya harta yang diperolehnya sesudah murtad itu saja yang dirampas, sedang harta yang diperoleh sebelum murtad diberikan kepada keluarga ahli waris yang beragama Islam.
§Hukuman Pemberontakan
Hukuman pemberontakan ialah hukuman mati. Syariat mengambil tindakan keras terhadap jarimah pemberontakan, karena apabila tidak demikian maka akan timbul fitnah, kekacauan serta ketidak-tenangan dan pada akhirnya akan mengakibatkan kekacauan masyarakat dan kemundurannya. Tindakan keras tersebut tidak lain adalah hukuman mati. Pada masa sekarang hampir seluruh dunia menjatuhkan hukuman mati terhadap pemberontakan.

v Hukuman Jarimah Qishash-Diyat
Qisas-diyat ada lima yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tidak sengaja, penganiayaan sengaja dan penganiayaan tidak sengaja. Hukum-hukum yang diancamkan terhadap jarimah-jarimah tersebut ialah qisas, diyat, kifarat, hilangnya hak mewaris, dan hak hilangnya menerima wasiat. Hukuman-hukuman tersebut akan dibicarakan satu-persatu.

1.      Qishash
Pengertian qisas adalah agar pembuat jarimah dijatuhi hukuman setimpal dengan perbuatannya, jadi dibunuh kalau ia membunuh, atau dianiaaya kalau ia menganiaaya. Hukuman qisas dijatuhkan atas pembunuhan sengaja dan penganiaayan sengaja.
§Qisas pada Hukum Positif
Hukum positif juga mengenal hukuman qisas.Akan tetapi hanya ditetapkan untuk jarimah pembunuhan saja yang dihukum dengan hukuman mati, sedang terhadap jarimah penganiayaan tidak dijatuhi hukuman qisas, melainkan dicukupkan dengan hukuman denda dan hukuman kawalan atau dengan salah satu hukuman tersebut.
§ Pengampunan si Korban
Korban atau walinya diberi wewenang untuk mengampuni qisas, baik dengan imbangan diyat atau tidak memakai imbangan sama sekali. Akan tetapi untuk hapusnya hukuman qisas penguasa masih mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman ta’zir yang sesuai.

2.      Diyat
Diyat adalah hukuman pokok bagi pembunuhan dan penganiayaan semi sengaja dan tidak sengaja.Meskipun bersifat hukuman, namun diyat merupakan harta yang diberikan kepada korban, bukan kepada perbendaharaan Negara. Dari segi ini diyat lebih mirip dengan ganti kerugian apa lagi besarnya dapat berbeda-beda menurut perbedaan kerugian material yang terjadi dan menurut perbedaan kesengajaan atau tidaknya terhadap jarimah.
§Antara Pembunuhan Sengaja dengan Pembunuhan Semi-Sengaja
Syariat Islam mengadakan pemisahan antara hukuman pembunuhan sengaja dengan hukuman pembunuhan semi sengaja, dimana untuk perbuatan pertama dikenakan hukuman qisas dan untuk perbuatan kedua dikenakan hukuman diyat berat. Perbedaan ini disebabkan karena pada pembunuhan sengaja pembuat meniatkan matinya korban sedang pada pembunuhan semi sengaja ia meniatkan demikian.
§ Antara Jarimah-jarimah Sengaja dengan Jarimah-jarimah Tidak Sengaja
Pada Jarimah-jarimah sengaja, pembuat mensengajakan dan melaksanakannya, agar dengan demikian ia bisa mewujudkan kepentingan-kepentingan moral atau material bagi dirinya sendiri atau bagi orang lain. Akan tetapi pada jarimah-jarimah tidak sengaja pembuat tidak menyegajakan jarimah atau memikirkannya serta tidak ada factor yang mendorong untuk memperbuatnya.
§Siapa Yang Menanggung Diyat
Pada umumnya para fuqaha sudah sepakat pendapatnya untuk mengikut-sertakan keluarga pembuat yang disebut “Aqilah” dalam pembayaran diyat.Yang dimaksud dengan keluarga adalah sanak-saudara yang datang dari pihak ayah.Keluaga yang jauh dikutsertakan karena mereka jugavbisa menjadi ahli waris kalu keluarga yang dekat tidak ada, tanpa disyaratkan menjadi ahli waris yang nyata.
§ Alasan Kelurga Menanggung Diyat
Kalau kita hanya memegangi prinsip “seseorang hanya menanggung dosanya sendiri”. Maka akibatnya ialah bahwa sesuatu hukuman hanya dapat dikenakan terhadap pembuat jarimah yang kaya saja, sedang jumlah mereka lebih sedikit, dan tidak bisa dikenakan terhadap pembuat jarimah yang miskin, sedang jumlah mereka lebih besar.
Meskipun diyat merupakan hukuman namun ia menjadi hak kebendaan bagi korban atau walinya. Kalau pembuat saja yang membyarnya, maka kebanyakan korban atau walinya tidak akan dapat menerimanya, karena biasanya kekayaan perseorangan lebih kecil dari pada jumlah diyat, yaitu 100 unta.

Keluarga hanya menanggung diyat dalam jarimah-jarimah tidak sengaja dan dalam jarimah semi sengaja yang dapat dipersamakan dengan jarimah tidak sengaja.
Kehidupan keluarga dan masyarakat menurut tabiatnya ditegakkan atas dasar tolong-menolong dan kerja sama.

Keharusan memelihara jiwa seseorang dan tidak boleh menyia-nyiakan, sedang diyat ditetapkan sebagai pengganti dan memelihara jiwa.
§System Keluarga Pada Masa Sekarang
System pembayaran diyat oleh keluarga, meskipun dapat menjamin terwujudnya keadilan dan persamaan antara pembuat-pembuat jarimah dan korban-korbannya, namun system tersebut adalah adanya keluarga.Sudah barang tentu keluarga dalam arti tersebut hampir tidak terdapat lagi pada masa sekarang.

3.      Pencabutan Hak-mewaris
Pencabutan hak mewaris merupakan hukuman tambahan bagi jarimah pembunuhan, selain hukuman pokok yaitu hukuman mati, apabila antara orang yang membunuh dengan korbannya ada hubungan keluarga.

4.      Pencabutan Hak Menerima wasiat
Pencabutan hak menerima wasiat merupakan hukuman tambahan, disamping hukumannya yang pokok.

Hukuman Kifarat
Adalah membebaskan seseorang hamba mu’min, merupakan hukuman pokok. Kalau tidak bisa mendapatkan hamba tersebut atau tidak bisa memperoleh uang harganya, maka orang wajib berkifarat diwajibkan berpuasa dua bulan, berturut-turut jadi puasa merupakan hukuman pengganti yang tidak akan terdapat kecuali apabila hukuman pokok tidak bisa dijalankan.

Hukumn Ta’zir
Jenis-jenis hukuman ta’zir adalah:
1) Hukuman mati.
2) Hukuman jilid.
3) Hukuman kawalan.
4) Hukuman pengasingan (At-Taghrib wa Al-Ib’ad).
5) Hukuman salib.
6) Hukuman pengucilan (Al-Hajr).
7) Hukuman ancaman (Tahdid), teguran (Tanbih), dan peringatan.
8) Hukuman denda (Al-Gharamah).
9) Hukuman-hukuman lain yang sifatnya spesifik dan tidak bisa diterapkan pada setiap jarimah ta’zir, di antara hukuman tersebut adalah pemecatan dari jabatan atau pekerjaan, pencabutan hak-hak tertentu, perampasan alat-alat yang digunakan untuk melakukan jarimah, penayangan gambar penjahat di muka umum, dan lain-lain.

BAB 3
Penutup
KESIMPULAN
Hukum Islam adalah hukum yangditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya dalam Al Qur’an dan dijelaskan dalam sunnah Rasul. Tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan. Mengarahkan manusia kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan diakhirat kelak .
Sumber hukum islam terdiri atas: Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijtihad. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Rasulullah saw dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi seluruh ummat manusia. Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan / persetujuan / diamnya) Rasulullah saw terhadap sesuatu hal/perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya.
Sedangkan Al-Ijtihad yaitu berusaha dengan keras untuk menetapkan hukum suatu persoalan yang tidak ditegaskan secara langsung oleh Al-Qur’an dan atau Hadits dengan cara istinbath (menggali kesesuaiannya pada Al-Qur’an dan ataupun Hadits) oleh ulama-ulama yang ahli setelah wafatnya Rasulullah.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang melekat pada dirinya sejak ia dilahirkan. HAM berlaku secara universal.
Hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.
Tujuan pemidanaan atau hukuman adalah:
1. Sebagai pembalasan, artinya setiap perbuatan yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan nas.
2. Sebagai pencegahan kolektif (general prevention), yang berarti pemidanaan bisa memberikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa.
3. Sebagai pencegahan khusus (special prevention), artinya seseorang yang melakukan tindak pidana setelah diterapkan sanksi ia akan bertaubat dan tidak mengulangi kejahatannya lagi.
Syarat pelaksanaan hukuman antara lain:
1. Hukuman Harus ada Dasarnya dari Syara’.
2. Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan).
3. Hukuman Harus Bersifat Universal Dan Berlaku Umum.
Sanksi dalam hukum pidana Islam di bagi menjadi 3, yaitu:
1. Kalangan Tradisional.
2. Kalangan Modernis.
3. Kalangan Reformatif.

SARAN
Demikian makalah ini yang dapat kami sajikan, kami berharap makalah ini dapat berkembang dengan berjalannya diskusi yang akan dijalankan oleh teman-teman. Kurang lebihnya kami mohon maaf, untuk itu kepada para pembaca mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah ini.




DAFTAR PUSTAKA
1.      Al-Imam Aby Al-Husaini Muslim Ibn Al-Hajj Al-Qusaiy An-Naisabury. Shahih Muslim. Juz 3
2.      Ali, Prof. Dr. H. Zainuddin, MA, Hukum Pidana Islam
3.      Audah, Abdul Qadir.Tanpa tahun.At-Tasyri’ Al-Jina’iy Al-Islamy. Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Araby. Djazuli, H. A., Prof, Drs. 1997. Fiqh Jinayah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
4.      Furqan, H. Arif, dkk. 2002. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum. Jakarta: Departemen Agama RI, Direktorat Jenral Kelembagaan Agama Islam.
5.      Hanafi, Ahmad. 1990. Asas-Asas Hukum Pidana Islam Cet. 4. Jakarta: Bulan Bintang.
6.      Kumpulan Hadis Riwayat Bukhary dan Muslim. 2002.
7.      Munajat, Makhrus, M. Hum, Drs. 2004. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Jogjakarta: Logung Pustaka
8.      Rahman I Doi, Prof. Abdur. 1992. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta
9.      Wardi Muslich, Ahmad, Drs, H. 2004. Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafik.


RANGKUMAN MATERI TEKNIK PENULISAN KARYA ILMIAH LENGKAP

A.    Konsep Karya Ilmiah Karya ilmiah terbentuk dari kata “karya” dan “ilmiah”. Karya berarti kerja dan hasil kerja dan ilmiah berari ...