BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Nabi Muhammad saw mendapatkan
wahyu dari Allah SWT pertama kali pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan tahun
ke-41 dari kelahirannya, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M. Semenjak
saat itu, Muhammad bin Abdullah mengemban amanat nubuwwah dari Allah SWT
untuk membawa agama Islam ke tengah-tengah manusia, yang ternyata merupakan
sebuah ajaran yang merombak seluruh system social, terutama system hukum yang
ada pada masyarakat Jahiliyyah. Islam datang ke tengah-tengah masyarakat
Jahiliyyah dengan membawa syari'ah (system hukum) yang sempurna sehingga mampu
mengatur relasi yang adil dan egaliter antar individu manusia dalam masyarakat.
Secara prinsip, kemunculan Nabi Muhammad saw dengan membawa ajaran-ajaran
egaliter, dapat dinilai sebagai sebuah perubahan social terhadap kejahiliyyahan
yang sedang terjadi di dalam masyarakat, terutama system hukumnya, dengan wahyu
dan petunjuk dari Allah SWT.
Hukum Islam (Islamic Law) merupakan
perintah-perintah suci dari Allah SWT yang mengatur seluruh aspek kehidupan
setiap Muslim, dan meliputi materi-materi-materi hukum secara
murni serta materi-materi
spiritual keagamaan.[1] Melalui penelitian sejarah yang empiris, Joseph Schacht
menyebut Islamic Law sebagai ringkasan dari pemikiran Islam, manifestasi way of
life Islam yang sangat khas, dan bahkan sebagai inti dari Islam itu sendiri.
Di dalam Islam, hukuman tidak berangkat dari
pendapat manusia atau kesepakatan manusia belaka. Karena apa yang ada dalam
pandangan manusia memiliki keterbatasan. Seringkali apa yang dalam pandangan
manusia baik, pada hakikatnya belum tentu baik. Demikian juga, apa yang dalam
pandangan manusia buruk, hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga bagi umat
Islam, harus mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela
menurut pandangan syari’at.
Adapun tujuan hukum Islam yang disebut
al-dharuriyyat al-khams atau al-kulliyyat alkhams (disebut pula maqasid
al-syari “ah), yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati bukan
hanya oleh ulama Islam melainkan juga oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan
utama itu adalah: 1. Memelihara agama; 2. Memelihara jiwa; 3. Memelihara akal;
4. Memelihara keturunan dan atau kehormatan, dan 5. Memelihara harta.
1.2. Rumusan masalah
1. Apa pengertian hokum dan tindak
pidana?
2. Apa Konsep Hukum Dalam Islam?
3. Apa tujuan hukum islam ?
4. Apa saja syarat-syarat dalam pelaksanaan
hukuman yang sesuai dengan syari’at Islam?
5. Apa saja macam-macam hukuman dalam hukum
pidana Islam?
6. Bagaimana pelaksanaan hukuman dalam islam?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari hukuman
2. Untuk mengetahui tujuan ditetapkannya hukuman menurut syari’at
Islam.
3. Untuk memahami syarat-syarat pelaksanaan hukuman yang sesuai
dengan syari’at Islam.
4. Untuk memahami syarat-syarat pelaksanan hukuman dalam hukum pidana
Islam.
BAB 2
Pembahasan
Konsep Hukum dalam Islam
A. Pengertian hukum
Hukum (peraturan/norma) adalah
suatu hal yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik
peraturan tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau
norma itu berupa kenyataan yang tumbuhdan berkembang dalam masyarakat maupun
peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh
penguasa.
Hukum Islam adalah hukum-hukum
yang diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik
hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang
berhubungan dengan amaliyah (perbuatan).
Dengan adanya Hukum dalai slam berarti ada
batasan-batasan yang harus dipatuhi dalam kehidupan.
B. Ruang Lingkup Hukum Islam
Hukum Islam dibagi ke dalam dua
bagian :
1. Bidang Ibadah (ibadah mahdah)
Ibadah mahdah adalah tata cara beribadah yang
wajib dilakukan seorang muslim dalam berhubungan dengan Allah seperti shalat,
puasa, zakat, dan haji.
2. Mu’amalah ( ibadah ghairu mahdah)
Mu’amalat adalah ketetapan Allah yang langsung
berhubungan dengan kehidupan sosial manusia.Yang sifatnya terbuka untuk
dikembangkan melalui ijtiad manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan usaha
itu.
C. Tujuan Hukum Islam
Tujuan hukum Islam secara umum
adalah untuk mencegah kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan. Mengarahkan
manusia kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
diakhirat kelak . Menurut Abu Ishak al-shatibi :
1. Memelihara agama
2. Memelihara jiwa
3. Memelihara akal
4. Memelihara keturunan
5. Memelihara harta
D. Sumber hukum islam
Pembahasan sumber-sumber
Syariat Islam, termasuk masalah pokok (ushul) karena dari sumber-sumber itulah
terpancar seluruh hukum/syariat Islam.Oleh karenanya untuk menetapkan sumber
syariat Islam harus berdasarkan ketetapan yang qath’i (pasti) kebenarannya,
bukan sesuatu yang bersifat dugaan (dzanni). Berikut sumber hukum islam :
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah
yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Rasulullah saw
dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran agar dijadikan
hujjah(argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan agar dijadikan
sebagai pedoman hukum bagi seluruh ummat manusia, di samping merupakan amal
ibadah bagi yang membacanya.
Al-Qur’an diriwayatkan dengan
cara tawatur (mutawatir) yang artinya diriwayatkan oleh orang sangat banyak
semenjak dari generasi shahabat ke generasinya selanjutnya secara berjamaah.
Jadi apa yang diriwayatkan oleh orang per orang tidak dapat dikatakan sebagai
Al-Qur’an. Orang-orang yang memusuhi Al-Qur’an dan membenci Islam telah
berkali-kali mencoba menggugat nilai keasliannya.Akan tetapi realitas sejarah
dan pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk tuduhan yang mereka
lontarkan.Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan ciptaan manusia, bukan karangan
Muhammad saw ataupun saduran dari kitab-kitab sebelumnya.
Al-Qur’an tetap menjadi mu’jizat sekaligus
sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah Islam sepanjang masa dan sebagai
sumber segala sumber hukum bagi setiap bentuk kehidupan manusia di dunia.
2. As-Sunnah
Sunnah adalah perkataan,
perbuatan dan taqrir (ketetapan / persetujuan / diamnya) Rasulullah saw
terhadap sesuatu hal/perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya. Sunnah
merupakan sumber syariat Islam yang nilai kebenarannya sama dengan Al-Qur’an
karena sebenarnya Sunnah juga berasal dari wahyu.
3. Al-Ijtihad
Al-Ijtihad sebagai sumber hukum
Islam yang ketiga berdasar pada QS.4 : 59 yang berisi perintah kepada
orang-orang yang beriman agar patuh, taat kepada ketentuan-ketentuan Rasul
(sunah/hadits) serta taat mengikuti ketentuan-ketentuan Ulil Amri (Ijtihad).
Al-Ijtihad yaitu berusaha dengan keras untuk menetapkan hukum suatu persoalan
yang tidak ditegaskan secara langsung oleh Al-Qur’an dan atau Hadits dengan
cara istinbath (menggali kesesuaiannya pada Al-Qur’an dan ataupun Hadits) oleh
ulama-ulama yang ahli setelah wafatnya Rasulullah.
E. Fungsi Hukum Islam Dalam Kehidupan Bermasyarakat
Sebagaimana sudah dikemukakan
dalam pembahasan ruang lingkup hukum Islam, bahwa ruang lingkup hukum Islam
sangat luas. Yang diatur dalam hukum Islam bukan hanya hubungan manusia dengan
Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, manusia
dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia dengan benda, dan antara manusia
dengan lingkungan hidupnya. Dalam Al Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait
dengan masalah pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta
larangan bagi seorang muslim untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Bagi tiap orang ada kewajiban untuk mentaati hokum yang terdapat dalam Al
Qur’an dan Hadits. Peranan hokum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya
cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan
utamanya saja, yaitu :
a. Fungsi Ibadah
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk
beribadah kepada Allah SWT.Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi
umat manusia, dan kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan
indikasi keimanan seseorang.
b. Fungsi Amar Ma’ruf
Hukum Islam sebagai hokum yang
ditunjukkan untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia, jelas dalam
praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman
riba dan khamar, jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hokum
(Allah) dengan subyek dan obyek hokum (perbuatan mukallaf). Penetap hokum tidak
pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya. Riba
atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap.
Ketika suatu hukum lahir, yang
terpenting adalah bagaimana agar hukum tersebut dipatuhi dan dilaksanakan
dengan kesadaran penuh.Penetap hokum sangat mengetahui bahwa cukup riskan kalau
riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi masyarakat pecandu riba dan khamar.
Berkaca dari episode dari pengharaman riba dan khamar, akan tampak bahwa hokum
Islam berfungsi sebagai salah satu sarana pengendali sosial.
Hukum Islam juga memperhatikan kondisi
masyarakat agar hokum tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas.Secara
langsung, akibat buruk riba dan khamar memang hanya menimpa pelakunya.Namun
secara tidak langsung, lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut.Oleh karena
itu, kita dapat memahami, fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan
pengharaman riba dan khamar.
c. Fungsi Zawajir
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh
dan berzina, yang disertai dengan ancaman hokum atau sanksi hokum.Qishash,
Diyat, ditetapkan untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak
pidana tertentu (pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan
ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya
sanksi hokum mencerminkan fungsi hokum Islam sebagai sarana pemaksa yang
melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang
membahayakan.Fungsi hokum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.
d. Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah
Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai
sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial,
sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam
hal-hal tertentu, hukum Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail
sebagaimana terlihat dalam hokum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni
masalahmuamalah, yang pada umumnya hokum Islam dalam masalah ini hanya
menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya.
F. Konsep Hak Asasi Manusia Dalam Islam
Hak asasi manusia atau biasa
disingkat HAM merupakan sebuah hal yang menjadi keharusan dari sebuah negara
untuk menjaminnya dalam konstitusinya.Melalui deklarasi universal ham 10
desember 1948 merupakan tonggak bersejarah berlakunya penjaminan hak mengenai
manusia sebagai manusia. Sejarah HAM dimulai dari magna charta di inggris pada
tahun 1252 yang kemudian kemudian berlanjut pada bill of rights dan
kemudian berpangkal pada DUHAM PBB. Dalam konteks keIndonesiaan penegakan
HAM masih bisa dibilang kurang memuaskan. Banyak faktor yang menyebabkan
penegakan HAM di Indonesia terhambat seperti problem politik, dualisme
peradilan dan prosedural acara (kontras, 2004;160).
Islam sebagai agama bagi
pengikutnya meyakini konsep Islam adalah sebagai way of life yang berarti
pandangan hidup.Islam menurut para penganutnya merupakan konsep yang lengkap
mengatur segala aspek kehidupan manusia.Begitu juga dalam pengaturan mengenai
hak asasi manusia Islam pun mengtur mengenai hak asasi manusia.Islam adalah
agama rahmatan lil alamin yang berarti agama rahmat bagi seluruh alam.Bahkan
dalam ketidakadilan sosial sekalipun Islam pun mengatur mengenai konsep kaum
mustadhafin yang harus dibela.
Tindak Pidana
A. Pengertian Hukuman/Tindak Pidana
Hukuman atau Hukum Pidana dalam Islam disebut
al-‘Uqubaah yang meliputi baik hal-hal yang merugikan maupun tindak kriminal.
Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.
Rahman Ritonga berpendapat bahwa hukuman
adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan
syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.
Hukuman dalam bahasa Arab disebut
‘uqubah.Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata عَقبَ yang sinonimnya خَلفهُ
وَجَاءَبعَقبهِ artinya mengiringnya dan datang di belakangnya. Dalam
pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafaz
tersebut bisa diambil dari lafaz عَاقَبَ yang
sinonimnya جَزَاهُ سَوَاءً بِماَ فَعَلَ artinya
membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa
sesuatu disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan melaksanakan sesudah
perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami
bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan
yang menyimpang yang telah dilakukannya.
Menurut Abdul Qadir Audah, definisi hukuman
adalah sebagai berikut:
اَلْعُقُوْ بَةُ هِىَ
الْجَزَاءُ الْمُقَرَّرُ لِمَصْلَحَةِالْجَمَاعةِ عَلى عِصْيَانِ اَمْرِ
الشَّارِعِ
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk
memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan
syara’.
B. Tujuan Hukuman
Tujuan dari penetapan dan penerapan hukuman dalam
syari’at Islam adalah:
1). Pencegahan ( الرّدْعُ وَالزّجْرُ )
Pencegahan adalah menahan orang yang berbuat
jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Di samping mencegah
pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar
ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman
yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga
melakukan perbuatan yang sama.
2). Perbaikan dan Pendidikan ( الاِصْلاحُ والتّهْذِ يْبُ )
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah
mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari
kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri
pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku
suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman,
melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan
harapan mendapat rida dari Allah SWT.
3). Kemaslahatan Masyarakat
Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan
kejahatan bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk
kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa hukuman itu
disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari
keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah
bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus
bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya.
Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu,
sepanjang perjalanan sejarah, tujuan pidana dapat dihimpun dalam empat bagian,
yakni:
·
Pembalasan (revenge).
Seseorang yang telah menyebabkan kerusakan dan
malapetaka pada orang lain, menurut alasan ini wajib menderita seperti yang
ditimpakan kepada orang lain.
·
Penghapusan Dosa (ekspiation).
Konsep ini berasal dari pemikiran yang bersifat
religius yang bersumber dari Allah
·
Menjerakan (detern).
Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan
(rehabilitation of the criminal).
Pidana ini diterapkan sebagai usaha untuk
mengubah sikap dan perilaku jarimun agar tidak mengulangi kejahatannya.
Abdul Qadir Awdah mengatakan
bahwa prinsip hukuman dalam Islam dapat disimpulkan dalam dua prinsip pokok,
yaitu menuntaskan segala perbuatan pidana dengan mengabaikan pribadi terpidana
dan memperbaiki sikap terpidana sekaligus memberantas segala bentuk tindak
pidana.Memberantas segala bentuk tindak pidana bertujuan untuk memelihara
stabilitas masyarakat, sedangkan untuk pribadi terpidana bertujuan untuk
memperbaiki sikap dan perilakunya.Oleh sebab itu, menurutnya hukuman bagi
segala bentuk tindak pidana yang terjadi harus sesuai dengan kemaslahatan dan
ketentraman masyarakat yang menghendaki.
C. Syarat-Syarat Pelaksanaan Hukuman
1. Hukuman Harus ada Dasarnya dari Syara’
Hukum dianggap mempunyai dasar (syar’iyah)
apabila ia didasarkan kepada sumber-sumber syara’ seperti: Al-Qur’an,
As-Sunnah, Ijma’, atau undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga yang
berwenang (ulil amri) seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hal hukuman ditetapkan
oleh ulil amri maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan syara’.Apabila bertentangan maka ketentuan hukuman tersebut
menjadi batal.
Hukum pidana Islam mengenal asas ini secara
substansial sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya:
– Surat Al-Isra’ ayat 15:
وَمَاكُنَّا مُعَذِّبِيْنَ
حَتَّى نبْعَثَ رَسُوْﻻً…
”…dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami
mengutus seorang Rasul”.
– Surat Al-Baqarah ayat 286:
ﻻََيُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا
اِﻻَّوُسْعَهاَ
“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai
dengan kemampuannya…”.
Berikut ini kaidah yang dirumuskan oleh para ahli
hukum yang diambil dari sunstansi ayat-ayat tersebut:
ﻻَجَرِيْمَةَ وَﻻَعُقُوْبَةَ
اِﻻَّ بِالنَّصِّ
“Tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman
kecuali adanya nas”.
2. Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan)
Ini mengandung arti bahwa hukuman harus
dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang
lain yang tidak bersalah. Syarat ini merupakan salah satu dasar dan prinsip
yang ditegakkan oleh syariat Islam dan ini telah dibicarakan berkaitan dengan
masalah pertanggungjawaban.
3. Hukuman Harus Bersifat Universal Dan Berlaku
Umum
Ini berarti hukuman harus berlaku untuk semua
orang tanpa adanya diskriminasi, baik pangkat, jabatan, status, atau
kedudukannya.
Di dalam hukum pidana Islam, persamaan yang
sempurna itu hanya terdapat dalam jarimah dan hukuman had atau qishash, karena
keduanya merupakan hukuman yang telah ditentukan oleh syara’. Setiap orang yang
melakukan jarimah hudud akan dihukum dengan hukuman yang sesuai dengan jarimah
yang dilakukannya. Sedangkan persamaan yang dituntut dari hukuman ta’zir adalah
persamaan dalam aspek dampak hukuman terhadap pelaku, yaitu mencegah, mendidik,
dan memperbaikinya.Sebagian pelaku mungkin cukup dengan hukuman peringatan,
sebagian lagi perlu dipenjara, dan sebagian lagi mungkin harus didera atau
bahkan ada pula yang harus dikenakan hukuman mati.
D. Macam-Macam Hukuman
Menurut Abdul Qadir Audah macam-macam hukuman
adalah sebagai berikut :
1. Penggolongan ini ditinjau dari segi pertalian
antara satu hukuman dengan hukuman yang lainnya, dan dalam hal ini ada empat
macam hukuman yaitu:
a. Hukuman pokok (‘Uqubah Ashliyah), yaitu
hukuman yang ditetapkan untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman yang
asli, seperti hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan, atau hukuman potong
tangan untuk jarimah pencurian.
b. Hukuman pengganti (‘Uqubah Badaliyah), yaitu
hukuman yang menggantikan hukuman pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat di
laksanakan karena alasan yang sah, seperti hukuman diyat (denda) sebagai
pengganti hukuman qishash.
c. Hukuman tambahan (‘Uqubah Taba’iyah), yaitu
hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri
seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap
keluarga.
d. Hukuman pelengkap (‘Uqubah Takmiliyah), yaitu
hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri
dari hakim, dan syarat inilah yang menjadi ciri pemisahnya dengan hukuman
tambahan. Contohnya mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong di
lehernya.
2. Penggolongan kedua ini ditinjau dari kekuasaan
hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman. Dalam hal ini ada dua macam
hukuman:
a. Hukuman yang hanya mempunyai satu batas,
artinya tidak ada batas tertinggi atau batas terendah, seperti hukuman jilid
(dera) sebagai hukuman had (80 kali atau 100 kali).
b. Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan
batas terendahnya, dimana hakim diberi kebebasan memilih hukuman yang sesuai
antara kedua batas tersebut, seperti hukuman penjara atau jilid pada
jarimah-jarimah ta’zir.
3. Penggolongan ketiga ini ditinjau dari segi
besarnya hukuman yang telah ditentukan, yaitu:
a. Hukuman yang telah ditentukan macam dan
besarnya dimana hakim harus melaksakannya tanpa dikurangi atau di tambah, atau
diganti dengan hukuman yang lain. Hukuman ini disebut hukuman keharusan.
b. Hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk
dipilihnya dari sekumpulan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syara’ agar
dapat disesuaikan dengan keadaan pembuat dari perbuatannya.Hukuman ini disebut
hukuman pilihan.
4. Penggolongan ditinjau dari segi tempat
dilakukannya hukuman, yaitu:
a. Hukuman badan, yaitu yang dijatuhkan atas
badan seperti hukuman mati, dera, dan penjara.
b. Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa
seseorang, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan atau teguran.
c. Hukuman harta, yaitu yang dikenakan terhadap
harta seseorang, seperti diyat, denda dan perampasan harta.
5. Penggolongan kelima ditinjau dari segi
macamnya jarimah yang diancamkan hukuman, yaitu:
a. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan
atas jarimah-jarimah hudud.
b. Hukuman qishash dan diyat, yaitu yang
ditetapkan atas jarimah-jarimah qisas diyat.
c. Hukuman kifarat, yaitu yang ditetapkan untuk
sebagian jarimah qishash dan diyat dan beberapa jarimah ta’zir.
d. Hukuman ta’zir, yaitu yang ditetapkan untuk
jarimah-jarimah ta’zir.
E. Pemberlakuan Hukuman
Dalam perkembangannya, pemberlakuan sanksi dalam
hukum pidana Islam muncul 3 kalangan, yaitu:
a. Kalangan Tradisional.
Kalangan ini beranggapan bahwa hukuman harus
dijalankan sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b. Kalangan Modernis.
Kalangan ini beranggapan bahwa hukum Islam memang
ada dan berlaku tetapi tergantung bagaimana metode pelaksanannya.
c. Kalangan Reformatif.
Kalangan ini mencoba menggabungkan kalangan
tradisionalis dan kalangan modernis. Artinya kalangan ini tetap meyakini hukum
Islam ada pada nash dan dilaksanakan menurut metode nash.
Hukuman Hudud
1. Hukuman Zina
Zina secara harfiah berarti fahisyah, yaitu
perbuatan keji. Secara istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki
dengan seorang perempuan juga satu sama lain tidak terikat dalam hubungan
perkawinan. Nabi Muhammad SAW telah menyatakan bahwa zina merupakan dosa paling
besar kedua setelah syirik (mempersekutukan Allah). Beliau bersabda:
قال عليه الصلاة والسلام
مامررس يعد السرل اعظم مرعيرالله مريطعه ومعها رحل فى رحم لايعل له
“Nabi SAW telah bersabda: Tak ada dosa yang lebih
besar setelah syirik di sisi Allah selain dari seorang lelaki yang mencurahkan
maninya di tempat/kandungan yang tidak halal baginya”.
عن أبوهديرة رفي الله عنه ان
النبى صلى الله عليه وسلم قال ان الله كتب على ابن ادم حظّه من الزناأدرك ذلك
لامحالة فذناالعينين النطروزنااللسان النّطق والنفس تمو وتشتهي والفرج يصدّ ق ذلك
اويكذبه
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwasanya:
Nabi SAW bersabda: Allah SWT telah menentukan bahwa anak Adam cenderung
terhadap perbuatan zina. Keinginan tersebut tidak dapat dielakkan, yaitu
melakukan zina mata dalam bentuk pandangan, zina mulut dalam bentuk penuturan,
zina perasaan melalui cita-cita dan keinginan mendapatkannya.Namun, kemaluanlah
yang menentukan dalam bentuk zina atau tidak”.
عن أبي هريرة رفي الله عنه قال
سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول إذازنت أمة أحدكم فتبين زناهافليجلد
هاالحدولايثرب عليها ثم إن زنت فليجلد هاالحدولايثرب ثم إن رنت الثالثة فتبين
زناهافيبعهاولوبحبل من شعر
“Diriwayakan dari Abu Hurairah ra, katanya: Aku
pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Apabila seorang hamba perempuan milik
salah seorang diantara kamu melakukan zina dan telah terbukti, maka hukumlah
dia dengan cambukan rotan dan janganlah kamu memaksanya. Dan jika dia
mengulanginya lagi dua kali ketiganya dan terbukti,maka jualah dia walaupun
dengan harga sehelai rambut”.
Hukuman zina ditetapkan tiga hukuman, yaitu dera,
pengasingan dan rajam.Hukuman dera dan pengasingan ditetapkan untuk pembuat
zina tidak muhshan, dan hukuman rajam dikenakan pada terhadap zina
muhshan.Kalau kedua pelaku zina tidak muhshan keduanya, maka keduanya dijilid
atau diasingkan.Akan tetapi keduanya muhshan keduanya dijatuhi hukuman rajam.
Hukuman Jilid
Hukuman jilid seratus kali diancamkan atas
perbuatan zina yang dilakukan oleh orang yang tidak muhshan. Hukuman jilid
dijatuhkan untuk mengimbangi faktor psikologis yang mendorong diperbuatnya
jarimah zina, yaitu keinginan untuk mendapatkan kesenangan.Faktor psikologis
penentangnya yang menyebabkan seorang meninggalkan kenangan tersebut ialah
ancaman sengsara yaitu yang ditimbulkan oleh seratus jilid.Kalau faktor
pendorong zina lebih kuat daripada faktor penghalaunya maka derita hukuman yang
dijatuhkan cukup melupakan kesenangan yang sudah diperoleh, sehingga bisa
mendorongnya untuk memikirkannya kembali.
Hukuman pengasingan
Terhadap pembuat zina tidak muhshan dikenakan
hukuman pengasingan selama satu tahun selain hukuman jilid.
Hukuman rajam
Hukuman rajam ialah hukuman mati dengan jalan
dilempari batu dan yang dikenakan adalah pembuat zina muhshan, baik lelaki
maupun perempuan. Hukuman rajam tidak tercantum dalam Al-Qur’an, oleh karena
itu fuqaha-fuqaha khawarij tidak memakai hukuman rajam.Menurut jarimah-jarimah
zina dikenakan hukuman jilid saja, baik pelaku muhshan atau belum.
Orang yang sudah muhshan mendapat hukuman lebih
berat, yaitu hukuman rajam karena biasanya keihshanan seseorang cukup
menjauhkannya dari pemikiran tentang perbuatan zina. Akan tetapi kalau ia masih
juga memikirkannya maka hal ini menunjukkan kekuatan birahi dan keinginan akan
kelezatan, dan oleh karena itu maka harus dijatuhi hukuman yang berat, sehingga
ketika ia menginginkan jarimah tersebut terbayang pula derita dan sengsara yang
akan menimpa dirinya.
Akan tetapi apabila sudah kawin maka sudah tidak
ada jalan bagi jarimah zina, sebab tali perkawinan itu sendiri bukanlah perkara
abadi yang tidak boleh putus, sehingga oleh karena itu apabila perkawinan tidak
dapat dipertahankan lagi, maka suami bisa menceraikan istri.
2. Hukuman Qadzaf
Salah satu delik pidana dalam hukum pidana Islam,
yaitu al Qadzfu.Qadzf secara harfiah berarti melemparkan sesuatu.Istilah qadzaf
dalam hukum Islam adalah tuduhan terhadap seseorang bahwa tertuduh telah
melakukan perbuatan zina.
Qadzaf atau fitnah merupakan suatu pelanggaran
yang terjadi bila seseorang dengan bohong menuduh seorang muslim berzina atau
meragukan silsilahnya. Ia merupakan kejahatan yang besar dalam Islam dan yang
melakukan disebut pelanggar yang berdosa oleh Al-Qur’an. QS. 24/An-Nur: 4. Sanksi
bagi yang menuduh orang banyak melakukan zina dengan berulang kali ucapan
adalah hadd yang berulang kali pula sesuai dengan jumlah pengulangan ucapan
yang ia lakukan, akan tetapi apakah sanksi bagi yang menuduh orang banyak
(melakukan zina) dengan satu kali ucapan itu satu kali hadd atau berulang kali
sesuai dengan jumlah orang yang dituduh.
Dalam Qawl Qadim, Imam Syafi’i berpendapat bahwa
orang yang menuduh orang banyak (melakukan zina) dengan satu kali ucapan itu
dihukum dengan satu kali hadd: karena perbuatannya sepadan dengan menuduh satu
orang melakukan zina (dikatakan sekali ucapan). Sedangkan dengan menuduh satu
orang melakukan zina (dikatakan sekali ucapan). Sedangkan dalam Qawl Jadid Imam
Syafi’i berpendapat bahwa orang yang menuduh orang banyak (melakukan zina)
dengan satu kali ucapan itu dihukum dengan berulang kali hadd sesuai dengan
jumlah orang dengan dituduh, menuduh orang banyak dengan satu kali ucapan
sepadan dengan menuduh orang banyak dengan berulang kali ucapan.
Jarimah qadzaf dikenakan hukuman pokok, yaitu
jilid delapan puluh kali, dan hukuman tambahan, yaitu tidak menerima persaksian
pembuatnya.Hukuman tersebut dijatuhkan apabila berisi kebohongan.Apabila berisi
kebenaran maka tidak ada jarimah qadzaf.
Banyak faktor yang menimbulkan jarimah qadzaf,
antara lain iri hati, dengki, balas dendam dan persaingan. Akan tetapi
kesemuanya bertujuan satu, yakni menghina korban dan melukai hatinya. Dengan
jarimah qadzaf pembuat bermaksud menimbulkan kejiwaan dan oleh karena itu maka
harus diimbangi pula dengan derita badan yang ditanggung oleh pembuat jarimah,
disamping derita kejiwaan pula yang harus diterimanya dari masyarakat, yakni
dinyatakan hapus keadilannya dan oleh karena itu maka ia tidak bisa menjadi
saksi, serta mendapatkan cap abadi orang fasik.
3. Hukum Minum Minuman Keras
Jarimah minum minuman keras dijatuhi hukuman
delapan puluh jilid. Menurut Imam Syafi’I hukuman jarimah tersebut adalah empat
puluh jilid sebagai hukuman had, sedang empat puluh jilid lainnya tidak
termasuk hukuman had, melainkan sebagai hukuman ta’zir, artinya sebagai hukuman
yang dijatuhkan apabila dipandang perlu oleh hakim.
Faktor yang mendorong seseorang untuk minum
khamer ialah keinginannya untuk melupakan penderita jiwanya dan kenyataan
hidupnya untuk menuju mendapatkan kebahagian khayalan yang ditimbulkan oleh
lezatnya khamer.Faktor pendorong ialah yang diperangi oleh syariat dengan
hukuman jilid yang selain menimbulkan derita kejiwaan juga menimbulkan derita
badan.
4. Hukuman Pencurian
Pencurian adalah orang yang mengambil benda atau
barang milik orang lain secara diam-diam untuk dimiliki.
Pencurian diancamkan hukuman potong tangan dan
kaki, sesuai dengan firman Allah SW
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”. (Al-Maidah 38)
Di kalangan fuqaha sudah sepakat bahwa didalam
pengertian kata-kata “tangan” (yad) termasuk juga kaki.Apabila seseorang
melakukan pencurian untuk pertama kalinya, maka tangan kanannya yang dipotong,
dan apabila pencurian tersebut diulangi, maka kaki kirinya yang dipotong.
Seseorang yang mencuri ketika meniatkan
perbuatannya maka sebenarnya ia menginginkan agar usahanya (kekayaannya)
ditambah dengan kekayaan orang lain, dan ia meremehkan usaha-usaha halal. Ia
tidak mencukupkan dengan hasil usahanya sendiri, melainkan mengharapkan usaha
orang lain, agar dengan demikian ia bertambah daya nafkahnya atau tidak
bersusah-susah bekerja atau dapat terjamin hari depannya. Dengan perkataan lain
tambahnya usaha atau kekayaan itulah yang menjadi factor pendorong adanya
pencurian. Sebagai imbangan dari factor tersebut Syariat Islam menetapkan
hukuman potong tangan (dan kaki) karena terpotongnya tangan dan kaki sebagai
alat kerja penyambung kerja yang utama yang mengurangi usaha dan kekayaan,
serta mengakibatkan hari depannya terancam.
5. Hukuman Gangguan Keamanan
Terhadap gangguan keamanan (hirabah) dikenakan
empat hukuman, yaitu hukuman mati biasa, hukuman mati dengan salib, hukuman
dengan potong tangan dan kaki dan pengasingan.
§ Hukuman Mati
Hukuman ini dijatuhkan atas pengganggu keamanan
(pembegal, penyamun) apabila ia melakukan pembunuhan. Hukuman tersebut hukuman
had dan bukan hukuman qisas. Oleh karna itu maka hukuman tersebut tidak boleh
dimaafkan.Naluri keinginan hidup sendiri merupakan pendorong bagi pembuat untuk
melakukan jarimahnya itu. Kalau ia menyadari bahwa ketika ia membunuh orang
lain, sebenarnya ia membunuh dirinya sendiri pula pada galibnya ia tidak akan
meneruskan perbuatannya. Jadi faktor kejiwaan disini dilawan pula dengan factor
kejiwaan agar ia menghindari jarimah.
§Hukuman Mati Disalib
Hukuman ini dijatuhkan apabila pengganggu
keamanan melakukan pembunuhan serta merampas harta benda.Jadi hukuman tersebut
dijatuhkan atas pembunuhan dan pencurian harta bersama-sama.Dimana pembunuhan
tersebut merupakan jalan untuk memudahkan pencurian harta. Hukuman tersebut
juga merupakan hukuman had yang tidak bisa dimaafkan.
Penjatuhan hukuman tidak beda dengan dasar
penjatuhan hukuman mati. Akan tetapi karena harta benda disini menjadi
pendorong bagi perbuatan jarimahnya maka hukuman harus diberatkan, sehingga
apabila ia meniatkan jarimah-jarimah tersebut beserta hukumannya yang berat,
maka ia akan mengurungkan niatnya.
§Pemotongan Anggota Badan
Pemotongan tangan kanan pembuat dan kaki kirinya
sekaligus, yakni tangan dan kaki berseling-seling. Jatuhan hukuman tersebut
sama dengan penjatuhan hukuman pencurian. Akan tetapi jarimah ini biasanya
dikerjakan dijalan-jalan umum yang jatuh dari keramaian, maka pengganggu
keamanan pada galibnya yakin akan berhasilnya perbuatan yang dilakukannya dan
akan keamanan dirinya. Keadaan demikian itulah yang menjadi penguat factor
kejiwaan yang menjauhkannya.Oleh karena itu hukuman harus diperberat agar kedua
factor tersebut dapat seimbang.
Hukuman gangguan keamanan disini sama dengan
hukuman pencurian dua kali, dan pelipatan disini adalah adil, karena bahaya
gangguan keamanan tidak kalah dengan bahayanya pencurian biasa dan karena
kesempatan untuk meloloskan diri lebih banyak daripada kesempatan dalam
pencurian biasa.
§Pengasingan
Hukuman ini dijatuhkan apabila pengganggu keamanan
hanya menakut-nakuti orang yang berlalu lintas, tetapi tidak mengambil harta
dan tidak pula membunuh. Boleh jadi perbuatannya ia maksudkan mencari ketenaran
nama diri oleh karna itu maka ia harus diasingkan, sebagai salah satu cara
untuk mengurangi ketenarannya. Boleh jadi dengan perbuatannya tersebut
pengganggu keamanan bermaksud meniadakan keamanan dijalan-jalan umum sebagai
bagian dari negri, dan oleh karna itu maka ia akan dihukum dengan meniadakan
keamanan diri nya dari semua bagian negri. Baik alasan itu tepat atau tidak,
namun yang jelas ialah bahwa factor kejiwaan ditandingi pula dengan factor
kejiwaan yang lain.
6. Hukuman Jarimah Murtad dan Pemberontakan
Perbuatan murtad diancam dengan dua hukuman,
yaitu hukuman mati sebagai hukuman pokok dan dirampas harta bendanya sebagai
hukuman tambahan.
§Hukuman Mati
Syariat Islam menghukum perbuatan murtad, karena
perbuatan tersebut ditujukan terhadap agama Islam sebagai system social bagi
masyarakat Islam. Ketidak-tegasan dalam menghukum jarimah tersebut akan
berakibat goncangnya system tersebut. Dan oleh karena itu pembuatnya perlu
ditumpas sama sekali untuk melindungi masyarakat dan sitem kehidupannya, dan
agar menjadi alat pencegahan umum. Sudah barang tentu hanya hukuman mati saja
yang bisa mencapai tujuan tersebut.
Kebanyakan Negara-negara didunia pada masa
sekarang dalam melindungi system masyarakatnya memakai hukuman berat yaitu
hukuman mati.Yang dijatuhkan terhadap orang yang menyeleweng dari system
tersebut atau berusaha merobohkannya.
§Perampasan Harta
Perampasan harta merupakan hukuman tambahan,
menurut Imam-imam Malik dan Syafi’I dan pendapat yang kuat dalam madzhab
Hambali, semua harta orang dirampas.Menurut imam Abu Hanifah dan pendapat yang
tidak kuat dalam madzhab Hambali, hanya harta yang diperolehnya sesudah murtad
itu saja yang dirampas, sedang harta yang diperoleh sebelum murtad diberikan
kepada keluarga ahli waris yang beragama Islam.
§Hukuman Pemberontakan
Hukuman pemberontakan ialah hukuman mati. Syariat
mengambil tindakan keras terhadap jarimah pemberontakan, karena apabila tidak
demikian maka akan timbul fitnah, kekacauan serta ketidak-tenangan dan pada
akhirnya akan mengakibatkan kekacauan masyarakat dan kemundurannya. Tindakan
keras tersebut tidak lain adalah hukuman mati. Pada masa sekarang hampir
seluruh dunia menjatuhkan hukuman mati terhadap pemberontakan.
v Hukuman Jarimah Qishash-Diyat
Qisas-diyat ada lima yaitu pembunuhan sengaja,
pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tidak sengaja, penganiayaan sengaja dan
penganiayaan tidak sengaja. Hukum-hukum yang diancamkan terhadap
jarimah-jarimah tersebut ialah qisas, diyat, kifarat, hilangnya hak mewaris,
dan hak hilangnya menerima wasiat. Hukuman-hukuman tersebut akan dibicarakan
satu-persatu.
1. Qishash
Pengertian qisas adalah agar pembuat jarimah
dijatuhi hukuman setimpal dengan perbuatannya, jadi dibunuh kalau ia membunuh,
atau dianiaaya kalau ia menganiaaya. Hukuman qisas dijatuhkan atas pembunuhan
sengaja dan penganiaayan sengaja.
§Qisas pada Hukum Positif
Hukum positif juga mengenal hukuman qisas.Akan
tetapi hanya ditetapkan untuk jarimah pembunuhan saja yang dihukum dengan
hukuman mati, sedang terhadap jarimah penganiayaan tidak dijatuhi hukuman
qisas, melainkan dicukupkan dengan hukuman denda dan hukuman kawalan atau
dengan salah satu hukuman tersebut.
§ Pengampunan si Korban
Korban atau walinya diberi wewenang untuk
mengampuni qisas, baik dengan imbangan diyat atau tidak memakai imbangan sama
sekali. Akan tetapi untuk hapusnya hukuman qisas penguasa masih mempunyai hak
untuk menjatuhkan hukuman ta’zir yang sesuai.
2. Diyat
Diyat adalah hukuman pokok bagi pembunuhan dan
penganiayaan semi sengaja dan tidak sengaja.Meskipun bersifat hukuman, namun
diyat merupakan harta yang diberikan kepada korban, bukan kepada perbendaharaan
Negara. Dari segi ini diyat lebih mirip dengan ganti kerugian apa lagi besarnya
dapat berbeda-beda menurut perbedaan kerugian material yang terjadi dan menurut
perbedaan kesengajaan atau tidaknya terhadap jarimah.
§Antara Pembunuhan Sengaja dengan Pembunuhan
Semi-Sengaja
Syariat Islam mengadakan pemisahan antara hukuman
pembunuhan sengaja dengan hukuman pembunuhan semi sengaja, dimana untuk
perbuatan pertama dikenakan hukuman qisas dan untuk perbuatan kedua dikenakan
hukuman diyat berat. Perbedaan ini disebabkan karena pada pembunuhan sengaja
pembuat meniatkan matinya korban sedang pada pembunuhan semi sengaja ia
meniatkan demikian.
§ Antara Jarimah-jarimah Sengaja dengan
Jarimah-jarimah Tidak Sengaja
Pada Jarimah-jarimah sengaja, pembuat
mensengajakan dan melaksanakannya, agar dengan demikian ia bisa mewujudkan
kepentingan-kepentingan moral atau material bagi dirinya sendiri atau bagi
orang lain. Akan tetapi pada jarimah-jarimah tidak sengaja pembuat tidak
menyegajakan jarimah atau memikirkannya serta tidak ada factor yang mendorong
untuk memperbuatnya.
§Siapa Yang Menanggung Diyat
Pada umumnya para fuqaha sudah sepakat
pendapatnya untuk mengikut-sertakan keluarga pembuat yang disebut “Aqilah”
dalam pembayaran diyat.Yang dimaksud dengan keluarga adalah sanak-saudara yang
datang dari pihak ayah.Keluaga yang jauh dikutsertakan karena mereka jugavbisa
menjadi ahli waris kalu keluarga yang dekat tidak ada, tanpa disyaratkan
menjadi ahli waris yang nyata.
§ Alasan Kelurga Menanggung Diyat
Kalau kita hanya memegangi prinsip “seseorang
hanya menanggung dosanya sendiri”. Maka akibatnya ialah bahwa sesuatu hukuman
hanya dapat dikenakan terhadap pembuat jarimah yang kaya saja, sedang jumlah
mereka lebih sedikit, dan tidak bisa dikenakan terhadap pembuat jarimah yang
miskin, sedang jumlah mereka lebih besar.
Meskipun diyat merupakan hukuman namun ia menjadi
hak kebendaan bagi korban atau walinya. Kalau pembuat saja yang membyarnya,
maka kebanyakan korban atau walinya tidak akan dapat menerimanya, karena
biasanya kekayaan perseorangan lebih kecil dari pada jumlah diyat, yaitu 100
unta.
Keluarga hanya menanggung diyat dalam
jarimah-jarimah tidak sengaja dan dalam jarimah semi sengaja yang dapat
dipersamakan dengan jarimah tidak sengaja.
Kehidupan keluarga dan masyarakat menurut
tabiatnya ditegakkan atas dasar tolong-menolong dan kerja sama.
Keharusan memelihara jiwa seseorang dan tidak
boleh menyia-nyiakan, sedang diyat ditetapkan sebagai pengganti dan memelihara
jiwa.
§System Keluarga Pada Masa Sekarang
System pembayaran diyat oleh keluarga, meskipun
dapat menjamin terwujudnya keadilan dan persamaan antara pembuat-pembuat
jarimah dan korban-korbannya, namun system tersebut adalah adanya
keluarga.Sudah barang tentu keluarga dalam arti tersebut hampir tidak terdapat
lagi pada masa sekarang.
3. Pencabutan Hak-mewaris
Pencabutan hak mewaris merupakan hukuman tambahan
bagi jarimah pembunuhan, selain hukuman pokok yaitu hukuman mati, apabila
antara orang yang membunuh dengan korbannya ada hubungan keluarga.
4. Pencabutan Hak Menerima wasiat
Pencabutan hak menerima wasiat merupakan hukuman
tambahan, disamping hukumannya yang pokok.
Hukuman Kifarat
Adalah membebaskan seseorang hamba mu’min,
merupakan hukuman pokok. Kalau tidak bisa mendapatkan hamba tersebut atau tidak
bisa memperoleh uang harganya, maka orang wajib berkifarat diwajibkan berpuasa
dua bulan, berturut-turut jadi puasa merupakan hukuman pengganti yang tidak
akan terdapat kecuali apabila hukuman pokok tidak bisa dijalankan.
Hukumn Ta’zir
Jenis-jenis hukuman ta’zir adalah:
1) Hukuman mati.
2) Hukuman jilid.
3) Hukuman kawalan.
4) Hukuman pengasingan (At-Taghrib wa Al-Ib’ad).
5) Hukuman salib.
6) Hukuman pengucilan (Al-Hajr).
7) Hukuman ancaman (Tahdid), teguran (Tanbih),
dan peringatan.
8) Hukuman denda (Al-Gharamah).
9) Hukuman-hukuman lain yang sifatnya spesifik
dan tidak bisa diterapkan pada setiap jarimah ta’zir, di antara hukuman
tersebut adalah pemecatan dari jabatan atau pekerjaan, pencabutan hak-hak
tertentu, perampasan alat-alat yang digunakan untuk melakukan jarimah,
penayangan gambar penjahat di muka umum, dan lain-lain.
BAB 3
Penutup
KESIMPULAN
Hukum Islam adalah hukum
yangditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya dalam Al Qur’an dan dijelaskan
dalam sunnah Rasul. Tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah
kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan. Mengarahkan manusia kepada kebenaran
untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan diakhirat kelak .
Sumber hukum islam terdiri atas: Al-Qur’an,
As-Sunnah, Al-Ijtihad. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui
perantaraan malaikat Jibril kepada Rasulullah saw dengan menggunakan bahasa
Arab disertai kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal
pengakuannya sebagai rasul dan agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi
seluruh ummat manusia. Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan
/ persetujuan / diamnya) Rasulullah saw terhadap sesuatu hal/perbuatan seorang
shahabat yang diketahuinya.
Sedangkan Al-Ijtihad yaitu berusaha dengan
keras untuk menetapkan hukum suatu persoalan yang tidak ditegaskan secara
langsung oleh Al-Qur’an dan atau Hadits dengan cara istinbath (menggali
kesesuaiannya pada Al-Qur’an dan ataupun Hadits) oleh ulama-ulama yang ahli
setelah wafatnya Rasulullah.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang
dimiliki oleh setiap manusia yang melekat pada dirinya sejak ia dilahirkan. HAM
berlaku secara universal.
Hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang
yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan
Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.
Tujuan pemidanaan atau hukuman adalah:
1. Sebagai pembalasan, artinya setiap perbuatan
yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan nas.
2. Sebagai pencegahan kolektif (general
prevention), yang berarti pemidanaan bisa memberikan pelajaran bagi orang lain
untuk tidak melakukan kejahatan serupa.
3. Sebagai pencegahan khusus (special
prevention), artinya seseorang yang melakukan tindak pidana setelah diterapkan
sanksi ia akan bertaubat dan tidak mengulangi kejahatannya lagi.
Syarat pelaksanaan hukuman antara lain:
1. Hukuman Harus ada Dasarnya dari Syara’.
2. Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan).
3. Hukuman Harus Bersifat Universal Dan Berlaku
Umum.
Sanksi dalam hukum pidana Islam di bagi menjadi
3, yaitu:
1. Kalangan Tradisional.
2. Kalangan Modernis.
3. Kalangan Reformatif.
SARAN
Demikian makalah ini yang dapat kami sajikan,
kami berharap makalah ini dapat berkembang dengan berjalannya diskusi yang akan
dijalankan oleh teman-teman. Kurang lebihnya kami mohon maaf, untuk itu kepada
para pembaca mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Imam Aby Al-Husaini Muslim Ibn Al-Hajj
Al-Qusaiy An-Naisabury. Shahih Muslim. Juz 3
2. Ali, Prof. Dr. H. Zainuddin,
MA, Hukum Pidana Islam
3. Audah, Abdul Qadir.Tanpa tahun.At-Tasyri’
Al-Jina’iy Al-Islamy. Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Araby. Djazuli, H. A., Prof, Drs. 1997. Fiqh Jinayah. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
4. Furqan, H. Arif, dkk. 2002. Islam Untuk
Disiplin Ilmu Hukum. Jakarta: Departemen Agama RI, Direktorat Jenral
Kelembagaan Agama Islam.
5. Hanafi, Ahmad. 1990. Asas-Asas Hukum Pidana
Islam Cet. 4. Jakarta: Bulan Bintang.
6. Kumpulan Hadis Riwayat Bukhary dan Muslim.
2002.
7. Munajat, Makhrus, M. Hum, Drs. 2004. Dekonstruksi
Hukum Pidana Islam. Jogjakarta: Logung Pustaka
8. Rahman I Doi, Prof. Abdur. 1992. Tindak Pidana
Dalam Syariat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta
9. Wardi Muslich, Ahmad, Drs, H.
2004. Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafik.