Tuesday 13 December 2016

Kehujjahan Ijma' dan Qiyas Menurut Pandangan Beberapa Ulama



  Kehujjahan Qiyas menurut pandangan beberapa ulama
Telah terjadi perbedaan pendapat dalam berhujjah dengan qiyas, ada yang membolehkannya dan ada yang menolak / melarangnya. Kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yang terdiri dari ulama – ulama syiah al – Nazam dan ulama Zahiriyah, mereka berargumentasi terhadap penolakannya sebagai berikut :
a.       Bahwa qiyas dibangun oleh dalil yang dzan yaitu kepada `illat hukum, sedangkan Allah melarang kepada kita untuk mengikuti dalil yang masih dzan. Hal itu didasarkan pada firman Allah dalam QS. Al – Isra ayat 36 berikut :
ولا تقف ما ليس لك به علم إنّ السّمع والبصر والفؤاد كلّ اولئك كان عنه مسئول
Artinya : dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya. (QS. Al – Isra : 36)
Ayat di atas menurut mereka adalah larangan bagi seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab itu, mengamalkan qiyas dilarang berdasarkan ayat tersebut.
b.      Sebagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat semata – mata berdasarkan akal pikiran. Menurut mereka, instrumen utama dalam menggunakan qiyas adalah akal, dan dalam suatu atsar sahabat , para sahabat mencela pengagum akal (ahlul ra`yi).
Namun, ada yang perlu dikritisi dari argumentasi yang dikemukakan oleh golongan yang menolak kehujjahan qiyas di atas :
a.       Qiyas bukanlah upaya untuk mendahului Allah dan rasul, justru qiyas adalah upaya untuk mengembalikan suatu perkara yang tidak terdapat hukumnya dalam nash kepada Allah dan Rasul – Nya. Dengan demikian, segala persoalan yang muncul dalam kehidupan sosial senantiasa terjawab dan didapatkan status hukumnya.
b.      Yang dilarang dalam QS. Al – Isra ayat 36 adalah mengikuti dugaan dalam soal aqidah bukan soal hukum amaliah.
c.       Penegasan negatif salah satu sahabat (Umar bin Khattab) terhadap kaum rasional adalah mereka yang memprioritaskan rasio yang terlepas dari bimbingan al – Qur`an dan as – Sunnah. Adapun sahabat Umar Bin Khattab sendri adalah termasuk orang yang mendukung qiyas.
[1]Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan yang dikemukakan oleh seorang sahabat kepada beliau, yaitu dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibn Abbas r.a., yang artinya : “ seorang perempuan dari qabilah juhainah menghadap Rasulullah SAW, seraya berkata “Ya Rasulallah, ibuku telah bernazar mengerjakan haji, tetapi ia tidak sampai mengerjakannya sampai meninggal, apakah saya berkewajiban mengerjakan haji untuknya ? jawab Rasul : “ kerjakanlah haji untuknya. Tahukah kamu, andaikan ibumu mempunyai utang, apakah kamu akan melunasinya ? ya, tegasnya. Tunaikanlah utang – utang kepada Allah sebab Allah itu lebih berhak untuk dipenuhi”.
Kehujjahan ijma` menurut pandangan para ulama
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma`, misalnya apakah ijma` itu hujjah syar`i, apakah ijma` itu merupakan landasan ushul fiqh atau bukan ? dan bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma` ?
Para ulama berbeda pendapat dalam menjawab pertanyaan – pertanyaan tersebut. Imam al Bardawi berpendapat bahwa tidak menjadikan ijma` itu sebagai hujjah, bahkan dalam syarahnya dia mengatakan bahwa ijma` itu bukan hujjah secara mutlak.
Menurut al – Ahmidi, para ulama telah sepakat mengenai ijma` sebagai hujjah yang wajib diamalkan. Al – Hajib berkata bahwa ijma` itu hujjah. Adapun ar – Rahawi juga berpendapat bahwa ijma` itu pada dasarnya adalah hujjah.
a.       Kehujjahan ijma` sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma` sharih itu merupakan hujjah secara aqdi, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya.
·         Dalil – dalil yang dikeluarkan oleh jumhur
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا
Artinya : “ dan berpegang teguhlah kalian semua kepada tali ( agama ) Allah dan janganlah kamu bercerai berai” ( QS. Ali `Imran : 103 )
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْآ أَطِيْعُوااللَّهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَأُوْلِى الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Artinya : hai orang – orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu.( QS. An – Nisa : 59 )
b.      Kehujjahan ijma` sukuti
Imam al – Baidlowi berpendapat bahwa ijma` sukuti ini tidak bisa disebut ijma` dan tidak bisa dibuat hujjah. Adapun diamnya para ulama` hanya menjadi suatu qarinah.
Imam an – Nawawi berkata di dalam Syarh al – Wasith bahwasanya ijma` sukuti termasuk bagian dari ijma` dan boleh digunakan sebagai hujjah di dalam menetapkan hukum syari`at. Adapun pendapat Imam asy – Syafi`i yang menafikannya dari bagian ijma`, yang dimaksudkan adalah menafikannya dari bagian ijma` qath`iy. Sedangkan ijma` sukuti ini adalah bagian dari ijma` dzanniy.


[1] Drs. Sapiudin Shidiq,M.A., Ushul Fiqih, Jakarta : Kencana, 2011, hlm. 81 - 82

Pengertian Qiyas, Rukun Qiyas, Macam-macam Qiyas.



1.      Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa dapat diartikan mengukur atau mengira – ngirakan. Selain itu qiyas juga bisa diartikan menyerupakan. Ulama ushul fiqh memberikan definisi yang berbeda – beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas dalam istinbath hukum. Dalam hal ini,  mereka terbagi dalam dua golongan berikut :
·         Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia yakni pandangan mujtahid.
·         Golongan kedua menyatakan qiyas merupakan ciptaan syar`i yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjah illahiyah yang dibuat syar`i sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum.
 Sedangkan menurut istilah, qiyas berarti mempersamakan antara al – far`u (masalah cabangan) dengan al – ashlu ( masalah asal ) dalam suatu hukum, karena ada titik temu antara keduanya.[1]
2.      Rukun Qiyas
Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok ( rukun ) qiyas terdiri atas 4 unsur, yaitu :
1.      Al - Ashlu ( masalah pokok ), yaitu suatu perkara yang dijadikan bahan persamaan dalam hal penetapan hukum. Al –Ashlu juga disebut dengan istilah al – Maqis `alaih (yang dijadikan ukuran) atau mahmul `alaih (yang dijadikan tanggungan) atau musyabbah bih (yang dibuat keserupaan)
2.      Al – Far`u ( masalah cabangan ), suatu perkara yang dicarikan ketetapan hukum, dengan cara mempersamakannya dengan al – ashlu. Al – far`u juga disebut dengan istilah al – maqis (yang diukur) atau al – mahmul (yang dibawa) atau al – musyabbah (yang diserupakan)
3.      Hukum ashl, yaitu hukum syara` yang ditetapkan oleh suatu nash. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam menetapkan hukum ashal : [2]
·         Hukum ashal itu adalah hukum syara` dan hukum yang akan ditetapkan kepada cabang itu juga harus berupa hukum syara` yang berhubungan dengan perbuatan, karena yang menjadi objek kajian ushul fiqh adalah amal perbuatan. Maka jika terjadi perbedaan seperti hukum yang akan ditetapkan kepada cabang itu bukan hukum syara` maka qiyas seperti ini tidak sah.
·         Hukum ashal itu dapat ditelusuri `illat hukumnya.
·         Hukum ashal itu bukan merupakan kekhususan bagi nabi Muhammad SAW.
4.      `Illat, yaitu suatu sifat yang sama – sama dipunyai oleh dua perkara, yang menetapkan kesamaan hukum antara keduanya. Ada lima syarat yang harus dipenuhi oleh `illat, antara lain yaitu :[3]
·         `illat itu harus berupa sifat yang nyata dan bersifat material yang dapat dijangkau oleh panca indra.
·         `illat harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksanaan suatu hukum dan dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.
·         `illat itu harus merupakan bentuk sifat yang terukur, keadaannya jelas dan terbatas sehingga tidak bercampur dengan yang lainnya.
·         Harus ada hubungan kesesuaian antara hukum dan sifat yang akan menjadi `illat.
·         `illat harus memiliki daya rentang, artinya `illat itu bisa diterapkan pada wadah lain (cabang). `illat bukan hanya pada ashal saja.
Penetepan suatu hukum yang tidak berdasarkan `illat, tidak bisa disebut dengan qiyas. Seperti penetapan hukum yang berdasarkan pada nash atau ijma`, karena hukum yang ditetapkan berdasarkan nash atau ijma` ini wajib diikuti secara mutlak, meskipun tidak diketahui sama sekali `illatnya.[4]
3.      Macam – Macam Qiyas
Ulama ushul diantaranya al – Amidi dan asy – Syaukani, mengemukakan bahwa qiyas terbagi kepada beberapa segi, antara lain :[5]
a.       Dilihat dari segi kekuatan `illat yang terdapat pada furu` :
·         Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang `illatnya mewajibkan adanya hukum. Dan hukum yang disamakan ( cabang ) mempunyai kekuatan hukum yang lebih utama dari tempat menyamakannya (ashal). Misalnya, berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan “uh”, “eh”, “buset”, atau kata – kata lain yang menyakitkan ini hukumnya haram.

Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Isra ayat 23 berikut :
.... فلا تقل لهما أفّ......
Artinya : .... maka sekali – kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.....(QS. Al – Isra :23)

Maka mengqiyaskan berkata “uh”, “buset”, dan sebagainya bahkan dengan memukul itu hukumnya lebih utama. Dengan demikian, berkata “uh” saja tidak boleh apalagi memukulnya, karena memukul tentu lebih menyakitkan.
·         Qiyas musawi, yaitu qiyas yang `illat nya mewajibkan adanya hukum yang sama antara hukum yang ada pada ashal dan hukum yang ada pada furu` (cabang). Contohnya keharaman memakan harta anak yatim sesuai dengan firman Allah dalam QS. An – Nisa ayat 10 berikut :
إنّ الّذين يأكلون أموال اليتمى ظلما إنّما يأكلون فى بطونهم نارا وسيصلون سعيرا
Artinya : Sesungguhnya orang – orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, maka sesungguhnya mereka itu menelan api neraka ke dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api neraka yang menyala – nyala. (QS. An – Nisa : 10)
·         Qiyas adna, yaitu `illat yang ada pada far`u (cabang) lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan `illat yang ada pada ashal. Misalnya sifat memabukkan yang terdapat dalam minuman keras seperti bir itu lebih rendah dari sifat memabukkan yang terdapat pada minuman keras khamr yang diharamkan dalam al – Qur`an.
b.      Dilihat dari segi kejelasan `illat hukum.
·         Qiyas jaly, yaitu qiyas yang `illat nya ditegaskan oleh nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal, atau `illat nya itu tidak ditegaskan oleh nash, tetapi dapat dipastikan bahwa tidak ada pengaruh dari perbedaan antara ashal dan furu`. Contohnya, dalam kasus dibolehkannya bagi musafir  laki – laki dan perempuan untuk mengqashar shalat ketika perjalanan, sekalipun diantara keduanya terdapat perbedaan (kelamin). Tetapi perbedaan ini tidak mempengaruhi terhadap kebolehan wanita mengqashar sholat. `illat nya adalah sama – sama dalam perjalanan. Dan mengqiyaskan memukul orang tua kepada larangan berkata “ah” seperti pada contoh qiyas aulawi sebelumnya.
·         Qiyas khafy, yaitu qiyas yang `illat nya tidak disebutkan dalam nash. Contohnya mengqiyaskan pembunuhan dengan menggunakan benda berat kepada pembunuhan dengan menggunakan benda tajam dalam pemberlakuan hukum qiyas, karena `illat nya sama – sama yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja.


[1] M. Ridlwan Qoyyum Sa`id, Terjemah & Komentar Al – Waroqot Usul Fiqh, Kediri : Mitra-Gayatri, hlm.155
[2] Drs. Sapiudin Shidiq,M.A., Ushul Fiqih, Jakarta : Kencana, 2011, hlm. 72
[3] Drs. Sapiudin Shidiq,M.A., Ushul Fiqih, Jakarta : Kencana, 2011,hlm. 73
[4] M. Ridlwan Qoyyum Sa`id, Terjemah & Komentar Al – Waroqot Usul Fiqh, Kediri : Mitra-Gayatri, hlm. 156
[5] Ushul Fiqih, hlm. 77 - 78

RANGKUMAN MATERI TEKNIK PENULISAN KARYA ILMIAH LENGKAP

A.    Konsep Karya Ilmiah Karya ilmiah terbentuk dari kata “karya” dan “ilmiah”. Karya berarti kerja dan hasil kerja dan ilmiah berari ...