Makalah Ahlussunnah Wal-Jamaah
Konsep Sunnah Dan Bid’ah
1. Pengertian Sunnah Dan Bid’ah
2. Perbedaan Pandangan Ulama Tentang Pembagian Bid’ah
3. Aktualisasi Bid’ah Hasanah
Disusun Oleh : Angga Arjunes
M. Ammar Najmie
Roni
Mata Kuliah : Ahlussunnah Wal-Jamaah
Prodi : Manajemen Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Limmatus Sauda’, M. Hum.
Bab I Pendahuluan
1. Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kepada
Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan dan juga kelancaran kepada kami, sehingga
dapat menyelesaikan penulisan makalah ini tepat pada waktu yang sudah
ditetapkan. Shalawat beriring salam tak henti-hentinya kami panjatkan kepada
Rasulullah Muhammad SAW, semoga kita mendapatkan syafaatnya di Yaumul Qiyamah
nanti.
Bid’ah merupakan sebuah permasalahan
yang sering sekali diperdebatkan oleh khalayak ramai. Banyak yang beranggapan
bahwa bid’ah adalah sesuatu yang buruk atau tercela. Pada kenyataannya, tidak
semua bid’ah adalah tercela. Begitu juga dengan sunnah. Banyak orang yang salah
mengartikan sunnah pada kehidupan sehari-harinya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Ahlussunnah Wal-Jamaah dan juga untuk mengupas kembali
pengertian sunnah dan bid’ah, dan juga pandangan para ulama mengenai pembagian
bid’ah.
Kami menyadari bahwa makalah yang
kami susun ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami memohon
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Terlepas dari kelemahan tersebut, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca dan menjadi amal jariah bagi para penyusun.
Mojokerto, Maret 2016
2. Latar Belakang Masalah
Saat ini, orang selalu menganggap
bahwa bid’ah adalah sesuatu hal yang tercela. Bahkan ada juga yang menganggap
orang yang melakukan suatu bid’ah adalah orang yang kafir atau sesat. Padahal
tidak semua bid’ah adalah sesuatu hal yang tercela. Begitu juga dengan sunnah.
Banyak orang yang berpandangan bahwa mereka yang tidak mengikuti sunnah adalah
sesat. Padahal sunnah adalah sesuatu yang jika dilakukan maka akan mendapat
pahala, tetapi jika tidak dilakukan maka tidak akan mendapatkan dosa. Oleh
karena itu kesalah pahaman itu harus segera dibenarkan. Disini akan dibahas
pengertian sunnah dan bid’ah, perbedaan pandangan ulama mengenai pembagian
bid’ah dan juga aktualisasi bid’ah.
3. Rumusan Masalah
- Apa yang dimaksud dengan bid’ah?
- Apa yang dimaksud dengan sunnah?
- Bagaimana para ulama membagi bid’ah?
- Bagaimana aktualisasi bid’ah tersebut?
- Apa saja bid’ah hasanah pada masa Rasulullah?
- Apa saja bid’ah hasanah setelah Rasulullah wafat?
Daftar Isi
1. Pengertian Sunnah & Bid’ah.
1.a. Pengertian Sunnah.
Dari
segi bahasa, Sunnah adalah “at-thariqah wa law ghaira mardhiyah”, yaitu
jalan atau cara walaupun tidak diridhoi.[1]
Menurut pendapat lain, Sunnah adalah “at-thariqah mahmudah kaanat aw
mazmumah” , yaitu jalan yang dilalui baik terpuji atau tercela.[2] Seperti sabda Nabi S.A.W yang bermaksud,
“Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan-perjalanan) orang yang
sebelummu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga sekiranya
mereka memasuki sarang dhab (berupa biawak) sungguh kamu memasuki juga.” [H.R.
Bukhari dan Muslim]
Dari
hadits tersebut, kita bisa mengetahui bahwa kata Sunnah sebagaimana juga
menurut ahli bahasa berarti jalan.
Adapun
pengertian Sunnah menurut istilah, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Ajaj
Al-Khathib yang bermaksud, “Segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan
hidup baik sebelum Nabi SAW diangkat menjadi Rasul atau sesudahnya.[3]
Pada
pendapat Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani (471-561H/1077-1166M) menjelaskan
bahwa,“As-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi
ucapan, perilaku serta perilaku beliau).[4]
Dengan demikian, mereka yang mengamalkan ajaran Nabi SAW dan sahabat R.Anhum
itulah yang disebut Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Sedangkan yang menolak
terhadap ajaran sahabat, tentu tidak bisa dikatakan pengikut ASWAJA.
Menurut
KH. M.Hasyim Asy’ari, Sunnah adalah, “Nama bagi jalan dan perilaku yang
diridhoi dalam agama yang ditempuh oleh Rasulullah SAW atau orang-orang yang
dapat menjadi teladan beragama seperti para sahabat R.Anhum Ajma’in,
berdasarkan sabda Nabi SAW “ Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafa’
Ar-Rasyidin sesudahku”.[5]
Sedangkan
menurut para ulama’ Ushul Fiqh, kata Sunnah berarti apa-apa yang dilakukan,
dikatakan atau ditetapkan oleh Nabi SAW yang dapat dijadikan sebagai dalil
dalam menetapkan suatu hukum syar’i.
Dari
sudut terminologi, para ahli hadits mengungkapkan Sunnah adalah hal-hal yang
berasal dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan
maupun sifat beliau dan sifat ini baik berupa sifat-sifat fisik, moral maupun
prilaku sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.[6]
Jika kita perhatikan, pada dasarnya Sunnah sama dengan hadits. Akan tetapi ia
dapat dibedakan dalam pemaknaannya, seperti yang diungkapkan oleh M.M. Azami
bahwa Sunnah berarti model kehidupan Nabi SAW sedangkan hadits adalah
periwayatan dari model kehidupan Nabi SAW tersebut.[7]
1.b. Pengertian Bid’ah
Dari
segi bahasa, Bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya. Seorang
ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat
Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut: “Kata Ibda’ artinya merintis
sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya.”
Definisi
yang serupa juga dikemukakan oleh al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin
Syaraf al-Nawawi, hafizh dan faqih dalam madzhab as-Syafi’i.
Beliau berkata seperti berikut: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru
yang belum ada pasa masa Rasulullah SAW.”[8]
Bahkan,
menurut al-Imam Muhammad bin Ismail al-Shan’ani, ulama Syiah Zaidiyah yang
dikagumi oleh kaum Wahabi, mendefinisikan bid’ah hampir sama dengan definisi di
atas. Dalam kitabnya Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram yang menjadi
rujukan kaum Wahabi Indonesia sejak masa lalu. Beliau mengatakan, “Bid’ah
menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh
sebelumnya. Yang dimaksudkan bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan
tanpa didahului pengakuan syara’ melalui Al-Quran dan Sunnah.”[9]
Kata
Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu
sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah
penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa
tempat .Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja.
Kata
al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru).
Seperti dalam firman Allah SWT dalam QS: Al-Baqarah:, yang bermaksud : “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”.
Seperti dalam firman Allah SWT dalam QS: Al-Baqarah:, yang bermaksud : “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”.
Demikian
juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya
berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek).
Firman
Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9, yang berarti : “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan
Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (arti penggunaan
dalam makna Maf’ul). Menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan
wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku
katakan” (arti penggunaan dalam makna Fa’il).
Selanjutnya, Bid’ah menurut
istilah adalah sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara
tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits.[10]
Seorang ulama bahasa yang terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai
berikut:
“Perkara
yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa
disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah
yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang
tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan.”
2. Perbedaan Pendapat Ulama’ Tentang Pembagian Bid’ah
Secara garis besarnya, para ulama telah membagi bid’ah
menjadi dua yaitu bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah
dholalah (bid’ah yang tercela). Maka, dalam hal ini, al-Hafizh al-Muhaddits
al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I, seorang mujtahid besar dan
pendiri madzhab Syafi’I yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal-Jama’ah di
dunia Islam, telah mengatakan seperti berikut:“Bid’ah (muhdatsat) ada dua
macam. Pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi
al-Quran atau Sunnah atau Ijma’ dan itu disebut bid’ah dholalah (tersesat).
Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Quran, Sunnah
dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela.”[11]Imam
Syafi’i rah. juga mengatakan bahwa bid’ah terbagi dua yaitu bid’ah mahmudah
(terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela).
Maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras
dengan sunnah adalah tercela. Beliau berdalil dengan ucapan Sayyidina Umar bin
Khattab r.a mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”.[12]
Al-Hafizh
al-Imam Muhammad bin Ahmad al-Qurtubiy rah. mengatakan,
“Menanggapi
ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa
makna hadits Nabi SAW yg berbunyi : “Seburuk-buruk permasalahan adalah hal yg
baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa
kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksudkan di sini adalah hal-hal yang tidak
sejalan dengan Al-qur’an dan sunnah Rasulullah SAW atau perbuatan para sahabat
radhiyallahu ‘anhum.
Sungguh,
telah diperjelaskan mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat
buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg
mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa
membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosa dan dosa orang yg
mengikutinya.”[13]
Hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yg baik dan bid’ah yg
sesat.[14]
Al-Imam
al-Nawawi rah. juga membagi menjadi
dua bagian. Ketika membicarakan masalah bid’ah dalam kitabnya Tahdzib
al-Asma’ wa al-Lughat, beliau mengatakan bahwa, “Bid’ah terbagi menjadi
dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk).”[15]
Imam
Nawawi rah. juga menjelaskan mengenai pengecualian pada sabda Nabi SAW seperti
ini, “Semua yang baru adalah bid’ah dan semua yang bid’ah adalah sesat.” [16]
Yang dimaksudkan dengan sabdaan itu adalah hal baru yang buruk dan bid’ah yang
tercela.
Menurut
Imam Nawawi rah, beliau membagi bid’ah tidak hanya menjadi dua bagian, bahkan
beliau juga membagi bid’ah secara menjadi lima yaitu bid’ah yang wajib, bid’ah
yang mandhub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram.
Contoh bagi bid’ah yang wajib adalah mencantumkan dalil-dalil pada
ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran. Contoh bid’ah yang mandhub adalah
membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis taklim atau pesantren. Jika
ia dilakukan maka ia mendapat pahala. Jika tidak, maka ia tidak mendapat dosa.
Contoh bid’ah yang mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan manakala
bid’ah yang makruh dan haram sudah jelas kita ketahui. Demikianlah makna
pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum sebagaimana ucapan Sayyidina
Umar r.a atas jama’ah tarawih bahwa inilah sebaik-baik bid’ah.[17]
Pembagian
bid’ah menjadi dua bahkan menjadi lima juga dilakukan oleh al-Hafizh Ibn Hajar
al-Asqalani. Dalam kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, beliau
berkata:
”Secara
bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh
sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah sehingga bid’ah
itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu
yang dianggap baik dalam syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk
dalam naungan yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah
mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka
menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima
hukum.”[18]
Pembagian
bid’ah menjadi lima juga dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin Ismail al-Amir
al-Shan’ani, ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi oleh kaum Wahabi. Dalam
kitabnya Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram, beliau mengatakan:
“Bid’ah
menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh
sebelumnya. Yang dimaksudkan bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan
tanpa didahului pengakuan syara’ melalui Al-Quran dan Sunnah. Ulama telah
membagi bid’ah menjadi lima bagian: 1)bid’ah wajib seperti memelihara ilmu-ilmu
agama dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan
menegakkan dalil-dalil. 2)bid’ah mandhubah seperti membangun madrasah-madrasah.
3)bid’ah mubahah seperti menjamah makanan yang bermacam-macam dan baju yang
indah. 4)bid’ah makruhah 5)bid’ah muharramah dan keduanya sudah jelas
contoh-contohnya. Jadi hadits “semua bid’ah adalah sesat” adalah kata-kata umum
yang dibatasi jangkauannya.”[19]
Al-Imam
Muhammad bin Ali al-Syaukani, juga seorang ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi
oleh kaum Wahabi, juga membagi bid’ah menjadi dua bahkan menjadi lima bagian.
Dalam kitabnya Nail al-Authar yang telah diterbitkan dalam edisi bahasa
Indonesia oleh kaum Wahabi. Al-Syaukani mengutip pernyataan al-Hafizh Ibn Hajar
dalam Fath al-Bari tentang pembagian bid’ah tanpa memberinya komentar.
Al-Hafizh Ibn Hajar berkata dalam Fath al-Bari:
“Asal
mula bid’ah adalah sesuatu yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam
istilah syara’, bid’ah diucapkan sebagai kebalikan sunnah sehingga bid’ah itu
tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang
dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk
dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk, maka disebut bid’ah mustaqbahah.
Bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah. Dan
bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.”[20]
Lebih
dari itu, pembagian bid’ah menjadi dua juga dilegitimasi dan dibenarkan oleh
Syaikh Ibn Taimiyah, rujukan paling otoritatif kalangan Salafi(Wahabi). Dalam
hal ini, Ibn Taimiyah berkata:
“Dari
sini dapat diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara atau keyakinan baru
dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan
tersebut padahal ia mengetahui bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menyebutnya.
Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum
Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahui menyalahinya terkadang tidak
dinamakan bid’ah. Al-Imam al-Syafi’i rah. berkata, “Bid’ah itu ada dua.
Pertama, bid’ah yang menyalahi Al-Quran,Sunnah dan Ijma’ dan atsar sebagian
sahabat Rasulullah SAW. Ini disebut bid’ah dholalah. Kedua, bid’ah yang
tidak menyalahi hal tersebut. Hal ini terkadang disebut bid’ah hasanah berdasarkan
perkataan Sayyidina Umar r.a, “Inilah sebaik-baik bid’ah”. Pernyataan Imam
as-Syafi’i ini diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Al-Madkhal dengan
sanad yang shahih.”[21]
Dari
uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa para ulama terkemuka dalam setiap
kurun waktu mulai dari Imam Syafi’i, Imam Nawawi, Ibn Hajar, Ibn Taimiyah telah
membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah bahkan
secara lebih terperinci, bid’ah menjadi lima bagian sesuai dengan komposisi
hukum syara’ yang ada.
3. Aktualisasi Bid’ah Hasanah
Bid’ah
adalah suatu tema yang selalu hangat dan actual untuk dibicarakan. Hal ini
disamping karena memang banyak terjadi problem di masyarakat yang berkaitan
dengan bid’ah. Juga dari waktu ke waktu selalu hadir kelompok-kelompok yang
menolak berbagai aktivitas dan tradisi keagamaan masyarakat dengan alas an
bid’ah. Oleh karena itu, makalah ini bermaksud mengupas bid’ah dalam perspektif
al-Quran, hadits dan aqwal para ulama yang otoritatif terutama para ulama
menjadi rujukan utama kaum Salafi atau Wahabi. Sebelum kami memaparkan
dalil-dalil bid’ah hasanah, perlu disebutkan di sini hadits yang
dijadikan sebagian kalangan untuk menolak adanya bid’ah hasanah. Hadits
dari sahabat Jabir bin Abdullah r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik
ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.
Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.”[22]
Menurut kelompok ini, hadits di atas menegaskan
bahwa semua bid’ah itu sesat. Dalam hal ini, Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin, ulama Wahabi kontemporer telah berkata dalam kitabnya Al-Ibda’
fi Kamal al-Syar’I wa Khathar al-Ibtida’(kreasi tentang kesempurnaan syara’
dan bahayanya bid’ah) yang bermaksud:
“Hadits (semua bid’ah adalah sesat) bersifat
general, umum, menyeluruh dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti
menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata ‘kull(seluruh)’. Apakah
setelah ketetapan menyeluruh ini kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga
bagian atau menjadi lima bagian? Selamanya ini tidak akan pernah benar.”[23]
Pernyataan Al-Utsaimin di atas memberikan
definisi bahwa hadits (semua bid’ah adalah sesat) bersifat general, umum dan
menyeluruh terhadap seluruh jenis bid’ah, tanpa terkecuali sehingga tidak ada
satu bid’ah yang boleh disebut bid’ah hasanah apalagi disebut bid’ah
mandubah yang mendatangkan pahala bagi pelakunya. Alasan utama al-Utsaimin
menolak pembagian bid’ah, adalah adanya kosa kata ‘kullu’ dalam redaksi hadits
di atas yang berarti semua. Penolakan pembagian bid’ah menjadi dua atau lima
bagian berdasarkan hadits di atas masih perlu dipertimbangkan. Karena tidak
semua kosa kata ‘kullu’ dalam al-Quran maupun hadits bermakna menyeluruh tanpa
memiliki pengecualian dan pembatasan. Dalam hal ini, al-Utsaimin sendiri
mengatakan lagi:
“Redaksi seperti (kullu syay’in) adalah kalimat
general yang terkadang dimaksudkan pada makna yang terbatas seperti firman Allah
SWT tentang Ratu Saba’ dalam QS:Surah al-Naml:23: “Ia dikarunia segala
sesuatu”. Padahal banyak sekali sesuatu yang tidak masuk dalam kekuasaannya
seperti kerajaan Nabi Sulaiman A.S”[24]
Dalam pernyataan di atas, al-Utsaimin mengakui
bahwa tidak semua kata (kullu) dalam teks al-Quran dan hadits bermakna general
(‘am) tetapi ada yang bermakna terbatas (khash). Di sisi lain, ketika
dihadapkan dengan sekian banyak persoalan baru yang harus diakui. Syaikh
al-Utsaimin juga terjebak dalam pembagian bid’ah menjadi beberapa bagian. Kini
al-Utsaimin telah menyatakan bahwa membangun madrasah, menyusun ilmu dan
mengarang kitab itu bukan bid’ah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah
SAW, namun hal ini bid’ah yang belum tentu, belum tentu ke neraka bahkan hukum
bid’ah dalam soal ini terbagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan hukum
tutjuannya. Oleh karena demikian, para ahli hadits dan ahli fiqh berpandangan
bahwa hadits (semua bid’ah itu sesat) adalah kata-kata general (‘am) yang
maknanya terbatas (khash). Dalam hal ini, Imam Nawawi menyatakan yang
bermaksud:
“Sabda Nabi SAW (semua bid’ah adalah sesat) ini
adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud (semua bid’ah itu
sesat) adalah sebagian besar bid’ah itu sesat bukan seluruhnya,”[25]
Oleh karena hadits (semua bid’ah itu sesat)
adalah redaksi general yang maknanya terbatas, maka para ulama membagi bid’ah
menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Lebih terperinci
lagi, bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan komposisi hokum
Islam yang lima; wajib, sunnat, mubah, makruh dan haram. Berikut ini akan
dikemukakan beberapa dalil tentang adanya bid’ah hasanah dan bahwa tidak
semua bid’ah itu sesat dan tercela.
3.a. Bid’ah Hasanah pada masa Rasulullah SAW
- Hadits Sayyidina Bilal r.a yang berbunyi,
“Abu
Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Nabi SAW bertanya kepada Bilal ketika shalat
fajr: “Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam
Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?”. Ia menjawab:
“Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’,
baik siang maupun malam kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua
rakaat yang aku tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, Nabi SAW berkata kepada
Bilal: “Dengan apa kamu mendahuluiku ke surga?” ia menjawab: “Aku belum pernah
adzan kecuali aku shalat sunnat dua rakaat setelahnya. Dan aku belum pernah
hadats kecuali aku berwudhu’ setelahnya dan harus aku teruskan dengan shalat
sunat dua rakaat karena Allah”. Nabi SAW berkata: “Dengan dua kebaikan itu,
kamu meraih derajat itu”.[26]
Menurut
Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, hadits ini memberikan faedah bolehnya
berijtihad dalam menentukan waktu ibadah karena Bilal r.a memperoleh derajat
tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu Nabi SAW pun membenarkannya. Nabi SAW
belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat sunat dua rakaat setiap selesai
berwudhu’ atau setiap selesai adzan, akan tetapi Bilal r.a melakukannya atas
ijtihadnya sendiri tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi SAW.
Ternyata Nabi SAW membenarkannya bahkan memberikan kabar gembira tentang
derajatnya di surga sehingga shalat dua rakaat setiap selesai wudhu’ menjadi
sunnat bagi seluruh ummat Islam.
- Hadits Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a yang bermaksud,
“Sayyidina
Ali r.a berkata: “Abu Bakar r.a bila membaca al-Quran dengan suara lirih.
Sedangkan Umar r.a dengan suara yang keras. Dan Ammar r.a apabila membaca
al-Quran, mencampur surah ini dengan surah itu. Kemudian hal itu dilaporkan
kepada Nabi SAW. Sehingga Nabu SAW bertanya kepada Abu Bakar. “Mengapa kamu
mebaca dengan suara lirih?” ia menjawab: “Allah dapat mendengar suaraku
walaupun lirih.” Lalu bertanya kepada Umar, “Mengapa kamu membaca dengan
keras?” Umar menjawab: “Aku mengusir syetan dan menghilangkan kantuk.” Lalu
Nabi SAW bertanya kepada Ammar, “Mengapa kamu mencampur surah ini dengan surah
itu?” Ammar menjawab: “Apakah engkau pernah mendengarkanku mencampurnya dengan
sesuatu yang bukan al-Quran?” Nabi menjawab: “Tidak.” Lalu Nabi bersabda:
“Semuanya baik.”[27]
Hadits
ini menunjukkan bahwa bolehnya membuat bid’ah hasanah dalam agama. Ketiga
sahabat itu melakukan ibadah dengan caranya sendiri berdasarkan ijtihad
masing-masing sehingga sebagian sahabat melaporkan cara ibadah mereka bertiga
yang berbeda-beda itu, dan ternyata Rasulullah SAW membenarkan dan menilai
semuanya baik serta tidak ada yang buruk. Dari sini kita dapat simpulkan bahwa
tidak selamanya sesuatu yang belum diajarkan oleh Rasulullah SAW pasti buruk
atau keliru.
- Hadits ‘Amr bin al-‘Ash r.a yang bermaksud,
“
‘Amr bin al-‘Ash r.a ketika dikirim dalam peperangan Dzat al-Salasil berkata:
“Aku bermimpi basah pada malam yang dingin sekali. Aku mau mandi tapi takut
sakit. Akhirnya aku bertayammum dan menjadi imam shalat shubuh bersama
sahabat-sahabatku. Setelah kami dating kepada Rasulullah SAW, mereka melaporkan
kejadian itu kepada Rasulullah SAW. Nabi bertanya: “Hai ‘Amr, mengapa kamu
menjadi imam shalat bersama sahabat-sahabatmu sedang kamu junub?” Aku menjawab:
“Aku teringat firman Allah: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS: Surah al-Nisa’:29). Maka aku
bertayammum dan shalat.” Lalu Rasulullah SAW tersenyum dan tidak berkata
apa-apa.”[28]
Hadits
ini menjadi dalil bid’ah hasanah. ‘Amr bin al-‘Ash melakukan tayammum karena
kedinginan berdasarkan ijtihadnya. Kemudian setelah Nabi SAW mengetahuinya,
beliau tidak menegurnya bahkan membenarkannya. Dengan demikian, tidak semua
perkara yang tidak diajarkan oleh Nabi SAW itu pasti tertolak bahkan menjadi bid’ah
hasanah apabila sesuai dengan tuntunan syara’ seperti dalam hadits ini.
3.b. Bid’ah Hasanah setelah Rasulullah SAW Wafat
- Penghimpunan al-Quran dalam mushaf
Umar
r.a mengusulkan penghimpunan al-Quran dalam satu mushaf. Abu Bakar r.a
mengatakan bahwa hal itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar
meyakinkan Abu Bakar bahwa hal itu tetap baik walaupun belum pernah dilakukan
oleh Rasulullah SAW. Dengan demikian, tindakan beliau itu tergolong dalam
bid’ah. Dan para ulama bersepakat bahwa menghimpun al-Quran dalam satu mushaf
hukumnya wajib meskipun termasuk bid’ah, agar al-Quran tetap terpelihara. Oleh
karena itu, penghimpunan al-Quran ini tergolong dalam bid’ah hasanah yang
wajibah.
- Shalat Tarawih
Di
antara perkara bid’ah yang telah ada sejak zaman Nabi SAW dan para sahabat
adalah shalat tarawih, yang oleh kaum muslimin diperdebatkan tentang
perlaksanaan dan jumlah rakaatnya. Rasulullah tidak pernah menganjurkan shalat
tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian
meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap
malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada
masa Khalifah Abu Bakar r.a. Kemudian Umar mengumpulkan mereka untuk melakukan
shalat tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka untuk melakukannya.
Apa yang beliau lakukan ini tergolong dalam bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah
karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Pada hakekatnya,
apa yang beliau melakukan ini termasuk sunnah karena Rasulullah telah bersabda
yang bermaksud: “Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ ar-Rasyidin
yang memperoleh petunjuk.”
- Adzan Jum’at
Pada
masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan apabila
imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas,
populasi penduduk semakin meningkat sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya
waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama,
yang dilakukan di Zaura’, tempat di pasar Madinah agar mereka segera berkumpul
untuk menunaikan shalat Jum’at sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat
yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk
dalam bid’ah tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum
Muslimin. Benar pula menamainya dengan sunnah karena Utsman termasuk dalam
Khulafa’ ar-Rasyidin yang sunnahmya harus diikuti berdasarkan hadits
sebelumnya.
- Shalat Sunnah sebelum Shalat ‘Id dan sesudahnya
Rasulullah
SAW tidak pernah melakukan shalat sunnah sebelum shalat ‘id dan sesudahnya.
Kemudian beberapa orang melakukannya pada masa Amirul Mu’minin Ali bin Abi
Thalib r.a dan ternyata beliau membiarkan dan tidak menegur mereka. Karena apa
yang mereka lakukan termasuk dalam bid’ah hasanah, siapa saja boleh
melakukannya. Di sini, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, salah satu Khulafa’
ar-Rasyidin memahami bahwa sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah
SAW belum tentu salah atau tercela.
- Hadits Talbiyah
Abdullah
bin Umar r.anhuma meriwayatkan bahwa doa talbiyah yang dibaca oleh Rasulullah
SAW ketika menunaikan ibadah haji adalah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ
لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ
لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ
Tetapi
Abdullah bin Umar sendiri menambah doa talbiyah tersebut dengan kalimat:
لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ
بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
Hadits
tentang doa talbiyah Nabi dan tambahan Ibn Umar itu diriwayatkan oleh
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lain-lain. Menurut Ibn Umar, Sayyidina Umar
r.a juga melakukan tambahan dengan kalimat yang sama sebagaimana diriwayatkan
oleh Muslim. Bahkan dalam riwayat Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf,
Sayyidina Umar menambah bacaan talbiyah dari Nabi SAW dengan kalimat:
لَبَّيْكَ مَرْغُوبٌ
إِلَيْكَ ذَا النَّعْمَاءِ وَالْفَضْلِ الْحَسَنِ
Dalam riwayat Abu Dawud dengan sanad yang
shahih, Ahmad dan Ibn Khuzaimah, sebagian sahabat menambah bacaan talbiyahnya
dengan kalimat:
ذَا الْمَعَارِجِ
Ibn Hajar dalam al-Mathalib
al-‘Aliyah meriwayatkan bahwa Sayyidina Anas bin Malik r.a dalam
talbiyahnya menambah kalimat:
لَبَّيْكَ حَقًّا حَقًّا
تَعَبُّدًا وَرِقًّا
Menurut Ibn Hajar dalam kitab Fath al-Bari,
hadits-hadits talbiyah yang beragam dari para sahabat menunjukkan bolehnya
menambah bacaan dzikir dalam tasyahhud, talbiyah dan lainnya terhadap dzikir
yang ma’tsur (dating dari Nabi). Karena Nabi SAW sendiri telah mendengar
tambahan para sahabat dalam talbiyah dan membiarkannya. Sebagaimana tokoh-tokoh
sahabat melakukan tambahan pula seperti Umar, Ibn Umar, Abdullah bin Mas’ud,
Hasan bin Ali, Anas dan lain-lain. Kebolehan menambah dzikir baru terhadap
dzikir yang ma’tsur ini adalah pendapat mayoritas ulama bahkan bisa dikatakan
ijma’ ulama.
3.c. Bid’ah Hasanah setelah Generasi Sahabat
- Pemberian Titik dalam Penulisan Mushaf
Pada masa Rasulullah, penulisan Mushaf al-Quran
yang dilakukan oleh pasar sahabat tanpa pemberian titik terhadap hurufnya
seperti ba’, ta’ dan lainnya. Bahkan ketika Khalifah Utsman menyalin
mushaf menjadi 6 salinan, yang 5 salinan dikirimkan ke berbagai kota Negara
Islam seperti Basrah, Mekah dan lain-lain dan satu salinan untuk beliau
pribadi. Dalam rangka penyatuan bacaan kaum Muslimin, yang dihukumi bid’ah
hasanah wajibah oleh seluruh ulama juga tanpa pemberian titik terhadap
huruf-hurufnya. Pemberian titk pada mushaf al-Quran baru dimulai oleh seorang
ulama tabien, Yahya bin Ya’mur. Imam Abu Dawud al-Sijistani meriwayatkan yang
bermaksud: “Harun bin Musa berkata: “Orang yang pertama kali memberi titik pada
mushaf adalah Yahya bin Ya’mur.”setelah beliau memberikan titik pada mushaf,
para ulama tidak menolaknya meskipun Nabi belum pernah memerintahkan pemberian
titik pada mushaf.
- Penulisan ketika Menulis Nama Nabi
Di
antara bid’ah hasanah yang disepakati oleh kaum Muslimin bahkan oleh kaum
Wahabi sendiri, dalam penulisan ketika menulis nama Nabi SAW dalam kitab-kitab
dan surat menyurat. Hal ini belum pernah dilakukan pada masa Nabi dalam
surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan kepala suku Arab. Dalam
surat-surat yang beliau kirimkan pada waktu itu hanya ditulis “Dari Muhammad
Rasulullah kepada si fulan”.
- Perkembangan Ilmu Hadits
Di
antara bid’ah hasanah yang disepakati oleh kaum Muslimin termasuk kaum Wahabi
adalah perkembangan istilah-istilah dalam berbagai keilmuan dalam Islam
terutama dalam ilmu hadits. Pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat belum
pernah diperkenalkan istilah-istilah yang berkembang dalam ilmu al-jarh wa
al-ta’dil seperti perawi si fulan tsiqah, hafizh, shaduq, dhaif dan
lain-lain. Belum pernah pula diperkenalkan istilah hadits shahih, hasan,
dhaif, maudhu’, munkar, mahfuzh, mudraj, marfu, mauquf, maqthu’, ahad, gharib,
masyhur, mutawatir dan lain-lain. Bahkan untuk pembukuan hadits sendiri
baru dimulai oleh al-Imam Ibn Syihab al-Zuhri atas instruksi Khalifah Umar bin
Abdul Aziz. Pembukuan ilmu al-jarh wa al-ta’dil dimulai oleh al-Imam
Yahya bin Sa’id al-Qaththan al-Tamimi. Sedangkan penulisan ilmu musthalah
al-hadits, baru dimulai oleh al-Hafizh Abu Muhammad al-Hasan bin
Abdurrahman bin Khallad al-Ramahuzmi dalam kitabnya al-Muhaddits al-Fashil
Bayna al-Rawi wa al-Wa’i.
- Bid’ah Hasanah al-Imam Ahmad bin Hanbal
Al-Imam
Ahmad bin Hanbal termasuk ulama mujtahid yang mengakui bid’ah hasanah, di
antara bid’ah hasanah al-Imam Ahmad bin Hanbal adalah mendoakan gurunya dalam
shalat sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Baihaqi berikut ini: “Al-Imam
Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Syafi’i dalam shalat saya selama
empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan
Muhammad Idris al-Syafi’i.”[29]Doa
seperti itu sudah pasti tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, para
sahabat dan tabi’in. Akan tetapi, al-Imam Ahmad bin Hanbal melakukannya selama
empat puluh tahun. Dengan demikian, berdasarkan paparan di atas dapat
disimpulkan bahwa konsep bid’ah hasanah yang diikuti oleh kaum Muslimin di
berbagai belahan dunia termasuk di kepulauan Nusantara sejak dahulu kala,
memiliki dasar-dasar yang sangat kuat dari hadits-hadits shahih, perilaku para
sahabat dan paradigm pemikiran ulama salaf yang saleh dan otoritatif seperti
Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Nawawi, Ibn Hajar, Ibn Taimiyah,
al-Amir al-Shan’ani, al-Syaukani dan lain-lain.
Bab III Penutup
1. Kesimpulan
Dari
makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa sunnah adalah segala yang dinukilkan
dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat,
kelakuan, perjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat jadi Rasul atau
sesudahnya. Sedangkan bid’ah adalah sesuatu yang baru yang tidak pernah
dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Bid’ah tidak selalu
tercela. Ada pula bid’ah yang terpuji. Dan bid’ah yang terpuji sebenarnya sudah
ada pada masa Rasulullah SAW dahulu. Dan Rasulullah tidak mempermasalahkan hal
baru yang terpuji tersebut.
2. Daftar Pustaka
1. Tim Aswaja NU
Center PWNU Jawa Timur. 2015. Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah. Surabaya:
Khalista
2. Solahudin, M Agus
dan Suyadi, Agus. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia
3. Chalim, Asep
Saifudin. 2012. Membumikan Aswaja Pegangan Guru NU. Surabaya: Khalista
[10]- Sharih al-Bayan. juz.
1. hal. 278
[12]- Tafsir Imam Qurtubiy. juz 2. hal 86-87
[13]- Shahih Muslim. hadits no.1017
[14]- Tafsir Imam Qurtubiy. juz 2. hal.87
[15]- Imam Nawawi. Tahdzib al-Asmai wa al-Lughat. juz.3. hal.22
[16]- Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim. juz 7.hal. 104-105
[17]- Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim. Juz 6.hal. 154-155
[18]- Fath al-Bari. juz 4. hal.253
[19]- Imam al-Amir Al-Shan’ani. Subul al-Salam. juz 2. Hal.48
[20]- Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani. Nail al-Authar. juz 3.
hal.25
[21]- Syaikh Ibn Taimiyah. Majmu’ al-Fatawa. juz 20. hal.
163
[22]- HR.Muslim
[23]- Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’I
wa Khathar al-Ibtida’. hal.13
[24]- Al-‘Utsaimin. Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah. hal.336
[25]- Imam Nawawi. Syarh Shahih Muslim. juz 6. hal.154
[26]- HR. al-Bukhari dan Muslim
[27]- HR. Ahmad
[28]- HR. Abu Dawud, Ahmad dan al-Daraquthni. Hadits ini dinilai shahih
oleh al-Hakim, al-Dzahabi dan lain-lain
[29]- al-Baihaqi. Manaqib al-Syafi’i. juz 2. hal.254
No comments:
Post a Comment