Tuesday, 13 December 2016

Pengertian Ijma' Menurut Bahasa dan Istilah, Syarat-syarat Ijma', Macam-macam Ijma'



1.      Pengertian Ijma`
a.       Menurut lughat ( etimologi )
Ijma` menurut lughat ( etimologi ) mempunyai dua arti :[1]
·         `Azm atau keinginan yang bulat, sebagaimana firman Allah dalam QS. Yunus ayat 71 berikut :
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوْحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَّقَامِى وَتَذْكِيْرِيْ بِأَيَاتِ اللّهِ فَعَلَى
اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوْآ أَمْرَكُمْ وَشُرَكَآءَ كُمْ ثُمَّ لاَ يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوْآ إِلَيَّ وَلاَ تُنْظِرُوْنِ
Artinya : dan  bacakanlah kepada mereka berita tentang Nuh diwaktu dia berkata kepada kaumnya, jika terasa berat bagimu tinggal ( bersamaku ) dan peringatanku ( kepadamu ) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah lah aku bertawakkal, kerena itu bulatkanlah keputusan dan ( kumpulkanlah ) sekutu-sekutumu ( untuk membinasakannya ), kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan  lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh  kepadaku (QS. Yunus : 71)
·         Ittifaq atau bersepakat.
Suatu kaum dikatakan telah berijma` apabila mereka bersepakat terhadap sesuatu, sebagaimana firman Allah dalam QS. Yusuf ayat 15 yang menerangkan tentang keadaan saudara – saudara Yusuf as.
فَلَمَّا ذَهَبُوْابِهِ وَأَجْمَعُوْآأَنْ يَجْعَلُوْهْ فِى غَيَابَتِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَآإِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَاوَهُمْ لاَ يَشْعُرُوْنَ
Artinya : Maka tatkala  mereka membacanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur ( lalu mereka memasukkan dia ) dan (diwaktu dia sudah ada didalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf, “sesungguhnya kami akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedangkan mereka tiada ingat lagi (QS. Yusuf : 15 )
Adapun perbedaan antara kedua arti diatas adalah yang pertama bisa dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang sepakat dengan dirinya.
b.      Menurut Istilah ( terminologi )
Ijma` menurut terminologi yaitu kesepakatan para mujtahid yang terdiri dari para ahli fiqh dari golongan umat Nabi Muhammad saw yang hidup dalam satu masa yakni masa setelah wafatnya Nabi Muhammad saw atas suatu hukum yang baru datang. Kesepakatan disini bisa mencakup i`tiqod, ucapan, perbuatan, diamnya para ulama dan persetujuan mereka. Ijma` tidak harus berupa ucapan, karena i`tiqod, perbuatan atau diamnya seorang ulama itu juga bisa menjadi perwujudan dari sebuah kesepakatan.[2]
Yang dimaksud dengan para ulama disini adalah para ahli fiqh yang sudah mencapai tingkatan mujtahid mutlak yaitu para ulama yang mempunyai otoritas penuh di dalam menggali hukum fiqh langsung dari sumbernya. Dengan demikian kesepakatan ulama ushuliyyin ulama nahwiyyin ulama mutashowwifin dan lain sebagainya tidak bisa disebut sebagai ijma`.
Kesepakatan para ulama yang hidup dalam satu masa menjadi hujjah bagi ulama yang hidup pada masa berikutnya. Artinya para ulama yang hidup pada periode setelah itu harus mengikutinya dan tidak berhak membatalkan atau menentangnya.
Kesepakatan umat – umat terdahulu atas suatu masalah tidak bisa disebut ijma` karena yang dimaksud dengan ijma` disini adalah ijma` para fuqoha` yang sudah mencapai derajat ijtihad dari golongan Nabi Muhammad saw.[3]
2.      Syarat – Syarat Ijma`
Dari pengertian ijma` di atas dapat diketahui bahwa ijma` itu bisa terjadi apabila telah memenuhi kriteria atau syarat – syarat berikut :
·         Yang bersepakat adalah para mujtahid
Para ulama berselisih faham tentang istilah mujtahid secara umum. Mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistinbath hukum dari dalil – dalil syara`. Dalam kitab jam`ul jawani disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang faqih, dalam kitab sulam ushuliyyin kata mujtahid diganti dengan istilah ulama ijma` sebagaimana menurut pandangan Ibnu Hazm dalam Hikam.
Selain pendapat diatas ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlul halli wal `aqdi, dan istilah ini sesuai dengan pendapat al – Qaqih dalam kitab isbat bahwa mujtahid yang diterima fatwanya adalah ahlul halli wal `aqdi.
·         Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Apabila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak ( meskipun sedikit), maka menurut jumhur hal itu tidak bisa dikatakan ijma`,karena ijma` itu harus mencakup keseluruhan mujtahid.
Sebagian ulama berpendapat bahwa ijma` itu sah apabila dilakukan oleh sebagian besar dari mujtahid karena yang dimaksud kesepakatan ijma` termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka, begitu pula menurut kaidah fiqh, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.
·         Para mujtahid harus umat Nabi Muhammad SAW
Para ulama berbeda pendapat tentang arti umat Nabi Muhammad SAW, ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud umat Nabi Muhammad SAW adalah orang mukallaf dari golongan ahlul halli wal `aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang mukallaf dari golongan Nabi Muhammad SAW.
·         Dilakukan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW
Ijma` itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena nabi senantiasa menyepakati perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syari`at.
·         Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari`at
Kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari`at seperti hukum wajib, sunnah, makruh, haram dan lain – lain serta tidak masuk pada masalah aqidah.
3.      Macam – macam ijma`
Macam – macam ijma` bila dilihat dari cara memperolehnya ada dua macam, yaitu:[4]
a.       Ijma` sharih
Ijma` yang menampilkan pendapat masing – masing ulama secara jelas dan terbuka baik melalui ucapan (fatwa) atau perbuatan (keputusan). Ternyata seluruh pendapat mereka menghasilkan pendapat yang sama atas hukum suatu perkara. Ijma` bentuk pertama ini terhitung sangat langka karena sangat sulit untuk mencapainya. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa ijma` semacam ini hanya dapat terlaksana pada zaman sahabat karena jumlah mujtahid ketika itu masih sedikit dan tempat mereka berdekatan. Hukum yang ditetapkannya bersifat qath`iy, sehingga umat wajib mengikutinya. Maka para ulama sepakat dan menerima untuk menjadikan ijma` sharih ini sebagai hujjah syar`iyyah dalam penetapan hukum syara`.
b.      Ijma` sukuti
Yaitu sebagian mujtahid menampilkan pendapatnya secara jelas mengenai hukum suatu peristiwa melalui perkataan atau perbuatan. Adapun mujtahid yang lain tidak memberi tanggapan apakah ia menerima atau menolak. Ijma` sukuti ini bersifat dzan (dugaan) dan tidak mengikat. Oleh karena itu, boleh bagi mujtahid untuk mengemukakan pendapat yang berbeda setelah ijma` itu diputuskan.
4.      Kehujjahan ijma` menurut pandangan para ulama
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma`, misalnya apakah ijma` itu hujjah syar`i, apakah ijma` itu merupakan landasan ushul fiqh atau bukan ? dan bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma` ?
Para ulama berbeda pendapat dalam menjawab pertanyaan – pertanyaan tersebut. Imam al Bardawi berpendapat bahwa tidak menjadikan ijma` itu sebagai hujjah, bahkan dalam syarahnya dia mengatakan bahwa ijma` itu bukan hujjah secara mutlak.
Menurut al – Ahmidi, para ulama telah sepakat mengenai ijma` sebagai hujjah yang wajib diamalkan. Al – Hajib berkata bahwa ijma` itu hujjah. Adapun ar – Rahawi juga berpendapat bahwa ijma` itu pada dasarnya adalah hujjah.
a.       Kehujjahan ijma` sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma` sharih itu merupakan hujjah secara aqdi, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya.
·         Dalil – dalil yang dikeluarkan oleh jumhur
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا
Artinya : “ dan berpegang teguhlah kalian semua kepada tali ( agama ) Allah dan janganlah kamu bercerai berai” ( QS. Ali `Imran : 103 )
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْآ أَطِيْعُوااللَّهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَأُوْلِى الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Artinya : hai orang – orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu.( QS. An – Nisa : 59 )
b.      Kehujjahan ijma` sukuti
Imam al – Baidlowi berpendapat bahwa ijma` sukuti ini tidak bisa disebut ijma` dan tidak bisa dibuat hujjah. Adapun diamnya para ulama` hanya menjadi suatu qarinah.
Imam an – Nawawi berkata di dalam Syarh al – Wasith bahwasanya ijma` sukuti termasuk bagian dari ijma` dan boleh digunakan sebagai hujjah di dalam menetapkan hukum syari`at. Adapun pendapat Imam asy – Syafi`i yang menafikannya dari bagian ijma`, yang dimaksudkan adalah menafikannya dari bagian ijma` qath`iy. Sedangkan ijma` sukuti ini adalah bagian dari ijma` dzanniy.[5]


[1] M. Ridlwan Qoyyum Sa`id, Terjemah & Komentar Al – Waroqot Usul Fiqh, Kediri : Mitra-Gayatri, hlm.135
[2] M. Ridlwan Qoyyum Sa`id, Terjemah & Komentar Al – Waroqot Usul Fiqh, Kediri : Mitra-Gayatri, hlm.135
[3] Terjemah & Komentar Al – Waroqot Usul Fiqh, hlm. 136
[4] Drs. Sapiudin Shidiq,M.A., Ushul Fiqih, Jakarta : Kencana, 2011, hlm. 65 - 66
[5] M. Ridlwan Qoyyum Sa`id, Terjemah & Komentar Al – Waroqot Usul Fiqh, Kediri : Mitra-Gayatri, hlm.141

Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Lainnya



A.    Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf
Pada ahli ilmu tasawuf pada umumnya membagi tasawuf menjadi tiga bagian. Pertama, tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki dan ketiga tasawuf amali. Ketiga tasawuf ini tujuannya sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Ketiga macam tasawuf ini memiliki perbedaan dalam hal pendekatan yang digunakan.[1] Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf yaitu ketika mempelajari Tasawuf ternyata pula bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadits mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan Hadits menekankan kejujuran, persaudaraan, keadilan, tolong menolong, murah hati, pemaaaf, sabar, berbaik sangka, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berfikiran lurus, nila-nilai ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim dan  dimasukkan kedalam dirinya sejak kecil. Sebagaimana  diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena tasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, dzikir, dan lain sebagainya. Yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan Akhlak.
B.     Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tauhid
Ilmu tauhid adalah ilmu ushuluddin, ilmu pokok-pokok agama, yakni menyangkut aqidah dan keimanan, ilmu tauhid dapat disebut juga dengan Ilmu kalam, yang merupakan disiplin ilmu ke Islaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya.[2] sedangkan ahklak yang baik menurut pandangan Islam haruslah berpijak pada keimanan. Iman tidak sekedar cukup disimpan dalam hati. Melainkan harus dilahirkan dalam perbuatan yang nyata dan dalam bentuk amal shaleh, barulah dikatakan iman itu sempurna, karena telah dapat direalisir.[3] Jelaslah bahwa akhlaqul karimah adalah mata rantai iman. Sebagai contoh, malu (berbuat kejahatan) adalah salah satu dari akhlakul mahmudah. Nabi dalam salah satu hadits menegaskan bahwa “malu adalah salah satu cabang dari keimanan”. Sebaliknya akhlak yang dipandang buruk adalah akhlak yang menyalahi prinsip-prinsip iman. Seterusnya sekalipun manusia perbuatan pada lahirnya baik, tetapi titik tolaknya bukan karena iman maka hal itu tidak mendapatkan penilaian disisi Allah. Demikianlah adanya perbedaan nilai amal-amal baiknya orang beriman dengan amal baiknya orang yang tidak beriman. Hubungan antara Aqidah dan Akhlak tercermin dalam pernyataan Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah r.a :
“orang mu’min yang sempurna imannya adalah yang terbaik budi pekertinya”

C.    Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu jiwa (psikologi)
Berbicara dalam hal relevansi dan hubungan ilmu akhlak dengan ilmu psikologi sebenarnya merupakan bahasan yang sangat strategis. Karena antara akhlak dengan ilmu psikologi memiliki hubungan yang sangat kuat dimana, objek sasaran penyelidikan psikologi adalah terletak pada domain perasaan, khayal, paham, kemauan, ingatan, cinta dan kenikmatan. Sedangkan akhlak sangat menghajatkan apa yang dibicarakan oleh ilmu jiwa, bahkan ilmu jiwa adalah pendahuluan tertentu bagi akhlak. Dengan lain perkataan, ilmu jiwa sasarannya meneliti peranan yang dimainkan dalam perilaku manusia, karenanya dia meneliti suara hati (dhamir), kemauan (iradah), daya ingatan, hafalan dan pengertian, sangkaan yang ringan (waham) dan kecenderungan-kecenderungan (wathif) manusia. Itu semua menjadi lapangan kerja jiwa, yang menggerakan manusia untuk berbuat dan berkata. Oleh karena itu ilmu jiwa merupakan muqaddimah yang pokok sebelum mengadakan kajian ilmu ahlak. Akhlak akan mempersoalkan apakah jiwa mereka tersebut termasuk jiwa yang baik atau buruk. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa ahklak mempunyai hubungan dengan ilmu jiwa. Dimana ilmu ahklak melihat dari segi apa yang sepatutnya dikerjakan manusia, sedangkan ilmu jiwa meneropong dari segi apakah yang menyebabkan terjadi perbuatan itu. Pada masa akhir-akhir ini, dalam ilmu jiwa terdapat suatu cabang yang disebut “ilmu jiwa masyarakat” (social psychology). Ilmu ini menyelidiki akal manusia dari jurusan masyarakat. Yakni menyelidiki soal bahasa dan bagaimana bekasnya terhadap akal, adat kebiasaan suatu bangsa yang mundur dan  bagaimana susunan masyarakat. Dan bagi cabang ini memberi bekas yang langsung pada akhlak, melebihi dari ilmu jiwa perorangan.
D.    Hubungan ilmu ahlak dengan ilmu sosiologi (kemasyarakatan)
Secara etimologis sosiologi berasal dari kata socius yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang bersosial atau di dalam arti luas adalah “ilmu pengetahuan yang berobjek pada masalah hidup bermasyarakat”.[4] Mempelajari masyarakat manusia yang pertama, dan bagaimana meningkat keatas, juga menyelidiki tentang bahasa, agama, dan keluarga, dan bagaimana membentuk undang-undang dan pemerintahan dan sebagainya. Mempelajari semua ini menolong untuk memberi pengertian akan perbuatan manusia dan cara menentukan hukum baik dan buruk. Hidup bermasyarakat dapat dipahami dalam pengertian yang luas, bisa dipahami dalam dimensi sempit. Masyarakat dalam arti luas ialah kebulatan dari semua perhubungan didalam hidup masyarakat. Sedangkan dalam arti sempit ialah suatu kelompok manusia yang menjadi tempat hidup bermasyarakat, tidak semua aspeknya tetapi dalam berbagai aspek yang bentuknya tidak tertentu. Masyarakat dalam arti sempit ini tidak mempunyai arti tertentu, misalnya masyarakat mahasiswa, masyarakat pedagang, masyarakat tani, dan lain-lain.[5] Mempersoalkan hubungan antara ahklak dengan ilmu sosiologi agaknya sangat signifikan karena ilmu ahklak membahas tentang berbagai perilaku manusia yang ditimbulkan oleh kehendak, yang tidak dapat terlepas dari kajian kehidupan kemasyarakatan yang menjadi kajian ilmu sosiologi. Demikianlah karena manusia tidak dapat hidup kecuali bermasyarakat dan ia tetap menjadi anggota masyarakat. Bukan menjadi kekuasaan kita untuk mengetahui keutamaan seseorang dengan tidak mengetahui masyarakatnya, masyarakat mana yang dapat membantu keutamaan atau merintanginya.
E.     Hubungan ilmu ahklak dengan ilmu pendidikan
Antara ahklak dengan ilmu pendidikan mempunyai hubungan yang sangat mendasar dalam hal teoritik dan pada tatanan praktisnya. Sebab, dunia pendidikan sangat besar sekali pengaruhnya terhadap perubahan perilaku, ahklak seseorang. Berbagai ilmu diperkenalkan, agar siswa memahaminya dan dapat melakukan suatu perubahan pada dirinya.  Apabila siswa diberi pelajaran “Ahklak”, pendidikan mengajarkan bagaimana seharusnya manusia itu bertingkah laku, bersikap terhadap sesamanya dan penciptanya (Tuhan). Dengan demikian, posisi ilmu pendidikan strategis sekali jika dijadikan pusat perubahan perilaku yang kurang baik untuk diarahkan menuju perilaku yang baik. oleh karena itu, dibutuhkan beberapa unsur dalam pendidikan untuk bisa dijadikan agen perubahan sikap dan perilaku manusia. Dari tenaga pendidik (pengajar) misalnya, perlu memiliki kemampuan profesionalitas dalam bidangnya. Unsur lain yang perlu diperhatikan adalah materi pengajaran. Apabila materi pengajaran yang disampaikan oleh pendidik menyimpang dan mengarah keperubahan perilaku yang menyimpang, inilah suatu keburukan dalam pendidikan dan begitu pula sebaliknya.[6] Lingkungan sekolah dalam dunia pendidikan merupakan tempat bertemunya semua watak. Perilaku dari masing-masing anak yang berlainan. Kondisi anak yang sedemikian rupa dalam interaksi antara anak satu dengan yang lainnya akan saling mempengaruhi juga pada kepribadian anak. Dengan demikian lingkungan pendidikan mempengaruhi jiwa anak didik. Dan akan diarahkan kemana anak didik dan perkembangan kepribadian.
F.     Hubungan ilmu ahlak dengan ilmu filsafat
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Filsafat memiliki bidang-bidng kajiannya mencakup berbagai disiplin ilmu antara lain :
1.      Metafisika       : penyelidikan dibalik alam yang nyata.
2.      Kosmologi       : penyelidikan tentang alam (filsafat alam)
3.      Logika             : pembahasan tentang cara berfikir cepat dan tepat.
4.      Etika                : pembahsan tentang tingah laku manusia.
5.      Theodica         : pembahasan tentang ke-Tuhanan.
6.      Antropologi     : pembahasan tentang manusia
Dengan demikian jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat. Banyak ilmu-ilmu yang pada mulanya merupakan bagian filsafat karena ilmu tersebut kian meluas dan berkembang dan akhirnya membentuk disiplin ilmu itu sendiri dan terlepas dari filsafat. Demikian juga etika,dalam proses perkembangannya sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, kini telah merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri.
G.    Hubungan ilmu ahlak dengan ilmu hukum
Pokok pembicaraan mengenai hubungan akhlak dengan ilmu hukum adalah perbuatan manusia. Tujuannya mengatur perbuatan manusia untuk kebahagiaanya. Akhlak memerintahkan untuk berbuat apa yang berguna dan melarang berbuat segala apa yang mudharat, sedang ilmu hukum tidak, karena banyak perbuatan yang baik dan berguna tidak diperintahkan oleh hukum, seperti berbuat baik kepada fakir miskin dan perlakuan baik antara suami istri. Demikian juga beberapa perbuatan yang mendatangkan kemudharatan tidak dicegah oleh hukum, umpamanya dusta dan dengki. Ilmu hukum tidak mencampuri urusan ini karena ilmu hukum tidak memerintahkan dan tidak melarang kecuali dalam hal menjatuhkan hukuman kepada orang yang menyalahi perintah dan larangannya. [7]Terkadang untuk melaksanakan undang-undang itu hajat mempergunakan cara-cara yang lebih membahayakan kepada ummat, dari apa yang diperintahkan atau dicegah oleh undang-undang. Demikian pula ada keburukan-keburukan yang samar-samar, seperti mengingkari nikmat dan berkhianat, dan ini undang-undang tidak sampai untuk menjatuhkan siksaan kepada pelakunya. Maka itu tidak dapat jatuh dibawah kekerasan undang-undang, dan keadaanya dalam hal itu bukan seperti pencurian dan pembunuhan. Perbedaan lainnya adalah bahwa ilmu hukum melihat segala perbuatan dari jurusan buah dan akibatnya yang lahir, sedang akhlak menyelami gerak jiwa manusia yang batin (walaupun tidak menimbulkan perbuatan yang lahir) dan juga menyelidiki perbuatan yang lahir. Ilmu hukum dapat berkata : “jangan mencuri, membunuh”, tetapi tidak dapat berkata sesuatu tentang kelanjutannya. Sedangkan ahklak, bersamaan dengan hukum mencegah pencurian dan pembunuhan. Akhlak dapat mendorong manusia untuk “jangan berfikir dalam keburukan”, “jangan mengkhayalkan yang tidak berguna”. Ilmu hukum dapat menjaga hak milik manusia dan mencegah orang untuk melanggarnya, tetapi tidak dapat memerintahkan kepada si pemilik agar mempergunakan miliknya untuk kebaikan. Adapun yang memerintahkan untuk berbuat kebaikan adalah akhlak.


[1] Ahmad Bangun Nasution, Rayani Hanum Siregar.Ahlak Tasawuf pengenalan, pemahaman dan pengaplikasiannya. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013) Hal. 30-34
[2] Ibid. Hal. 24
[3] Hamzah Ya’qub.Etika Islam Pembinaan Ahlaqulkarimah.(Bandung : Diponegoro, 1985). Hal. 18
[4]  Solardja Ponco Soetirto.Azas-Azas Sosiologi.(Gajah Mada). Hal. 5
[5]  Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. Hal. 57-58

[6]  Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. Hal. 59-60

[7]  Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Ibid. Hal. 61-62

RANGKUMAN MATERI TEKNIK PENULISAN KARYA ILMIAH LENGKAP

A.    Konsep Karya Ilmiah Karya ilmiah terbentuk dari kata “karya” dan “ilmiah”. Karya berarti kerja dan hasil kerja dan ilmiah berari ...