Tuesday 13 December 2016

Pengertian Ijma' Menurut Bahasa dan Istilah, Syarat-syarat Ijma', Macam-macam Ijma'



1.      Pengertian Ijma`
a.       Menurut lughat ( etimologi )
Ijma` menurut lughat ( etimologi ) mempunyai dua arti :[1]
·         `Azm atau keinginan yang bulat, sebagaimana firman Allah dalam QS. Yunus ayat 71 berikut :
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوْحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَّقَامِى وَتَذْكِيْرِيْ بِأَيَاتِ اللّهِ فَعَلَى
اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوْآ أَمْرَكُمْ وَشُرَكَآءَ كُمْ ثُمَّ لاَ يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوْآ إِلَيَّ وَلاَ تُنْظِرُوْنِ
Artinya : dan  bacakanlah kepada mereka berita tentang Nuh diwaktu dia berkata kepada kaumnya, jika terasa berat bagimu tinggal ( bersamaku ) dan peringatanku ( kepadamu ) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah lah aku bertawakkal, kerena itu bulatkanlah keputusan dan ( kumpulkanlah ) sekutu-sekutumu ( untuk membinasakannya ), kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan  lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh  kepadaku (QS. Yunus : 71)
·         Ittifaq atau bersepakat.
Suatu kaum dikatakan telah berijma` apabila mereka bersepakat terhadap sesuatu, sebagaimana firman Allah dalam QS. Yusuf ayat 15 yang menerangkan tentang keadaan saudara – saudara Yusuf as.
فَلَمَّا ذَهَبُوْابِهِ وَأَجْمَعُوْآأَنْ يَجْعَلُوْهْ فِى غَيَابَتِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَآإِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَاوَهُمْ لاَ يَشْعُرُوْنَ
Artinya : Maka tatkala  mereka membacanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur ( lalu mereka memasukkan dia ) dan (diwaktu dia sudah ada didalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf, “sesungguhnya kami akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedangkan mereka tiada ingat lagi (QS. Yusuf : 15 )
Adapun perbedaan antara kedua arti diatas adalah yang pertama bisa dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang sepakat dengan dirinya.
b.      Menurut Istilah ( terminologi )
Ijma` menurut terminologi yaitu kesepakatan para mujtahid yang terdiri dari para ahli fiqh dari golongan umat Nabi Muhammad saw yang hidup dalam satu masa yakni masa setelah wafatnya Nabi Muhammad saw atas suatu hukum yang baru datang. Kesepakatan disini bisa mencakup i`tiqod, ucapan, perbuatan, diamnya para ulama dan persetujuan mereka. Ijma` tidak harus berupa ucapan, karena i`tiqod, perbuatan atau diamnya seorang ulama itu juga bisa menjadi perwujudan dari sebuah kesepakatan.[2]
Yang dimaksud dengan para ulama disini adalah para ahli fiqh yang sudah mencapai tingkatan mujtahid mutlak yaitu para ulama yang mempunyai otoritas penuh di dalam menggali hukum fiqh langsung dari sumbernya. Dengan demikian kesepakatan ulama ushuliyyin ulama nahwiyyin ulama mutashowwifin dan lain sebagainya tidak bisa disebut sebagai ijma`.
Kesepakatan para ulama yang hidup dalam satu masa menjadi hujjah bagi ulama yang hidup pada masa berikutnya. Artinya para ulama yang hidup pada periode setelah itu harus mengikutinya dan tidak berhak membatalkan atau menentangnya.
Kesepakatan umat – umat terdahulu atas suatu masalah tidak bisa disebut ijma` karena yang dimaksud dengan ijma` disini adalah ijma` para fuqoha` yang sudah mencapai derajat ijtihad dari golongan Nabi Muhammad saw.[3]
2.      Syarat – Syarat Ijma`
Dari pengertian ijma` di atas dapat diketahui bahwa ijma` itu bisa terjadi apabila telah memenuhi kriteria atau syarat – syarat berikut :
·         Yang bersepakat adalah para mujtahid
Para ulama berselisih faham tentang istilah mujtahid secara umum. Mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistinbath hukum dari dalil – dalil syara`. Dalam kitab jam`ul jawani disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang faqih, dalam kitab sulam ushuliyyin kata mujtahid diganti dengan istilah ulama ijma` sebagaimana menurut pandangan Ibnu Hazm dalam Hikam.
Selain pendapat diatas ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlul halli wal `aqdi, dan istilah ini sesuai dengan pendapat al – Qaqih dalam kitab isbat bahwa mujtahid yang diterima fatwanya adalah ahlul halli wal `aqdi.
·         Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Apabila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak ( meskipun sedikit), maka menurut jumhur hal itu tidak bisa dikatakan ijma`,karena ijma` itu harus mencakup keseluruhan mujtahid.
Sebagian ulama berpendapat bahwa ijma` itu sah apabila dilakukan oleh sebagian besar dari mujtahid karena yang dimaksud kesepakatan ijma` termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka, begitu pula menurut kaidah fiqh, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.
·         Para mujtahid harus umat Nabi Muhammad SAW
Para ulama berbeda pendapat tentang arti umat Nabi Muhammad SAW, ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud umat Nabi Muhammad SAW adalah orang mukallaf dari golongan ahlul halli wal `aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang mukallaf dari golongan Nabi Muhammad SAW.
·         Dilakukan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW
Ijma` itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena nabi senantiasa menyepakati perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syari`at.
·         Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari`at
Kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari`at seperti hukum wajib, sunnah, makruh, haram dan lain – lain serta tidak masuk pada masalah aqidah.
3.      Macam – macam ijma`
Macam – macam ijma` bila dilihat dari cara memperolehnya ada dua macam, yaitu:[4]
a.       Ijma` sharih
Ijma` yang menampilkan pendapat masing – masing ulama secara jelas dan terbuka baik melalui ucapan (fatwa) atau perbuatan (keputusan). Ternyata seluruh pendapat mereka menghasilkan pendapat yang sama atas hukum suatu perkara. Ijma` bentuk pertama ini terhitung sangat langka karena sangat sulit untuk mencapainya. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa ijma` semacam ini hanya dapat terlaksana pada zaman sahabat karena jumlah mujtahid ketika itu masih sedikit dan tempat mereka berdekatan. Hukum yang ditetapkannya bersifat qath`iy, sehingga umat wajib mengikutinya. Maka para ulama sepakat dan menerima untuk menjadikan ijma` sharih ini sebagai hujjah syar`iyyah dalam penetapan hukum syara`.
b.      Ijma` sukuti
Yaitu sebagian mujtahid menampilkan pendapatnya secara jelas mengenai hukum suatu peristiwa melalui perkataan atau perbuatan. Adapun mujtahid yang lain tidak memberi tanggapan apakah ia menerima atau menolak. Ijma` sukuti ini bersifat dzan (dugaan) dan tidak mengikat. Oleh karena itu, boleh bagi mujtahid untuk mengemukakan pendapat yang berbeda setelah ijma` itu diputuskan.
4.      Kehujjahan ijma` menurut pandangan para ulama
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma`, misalnya apakah ijma` itu hujjah syar`i, apakah ijma` itu merupakan landasan ushul fiqh atau bukan ? dan bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma` ?
Para ulama berbeda pendapat dalam menjawab pertanyaan – pertanyaan tersebut. Imam al Bardawi berpendapat bahwa tidak menjadikan ijma` itu sebagai hujjah, bahkan dalam syarahnya dia mengatakan bahwa ijma` itu bukan hujjah secara mutlak.
Menurut al – Ahmidi, para ulama telah sepakat mengenai ijma` sebagai hujjah yang wajib diamalkan. Al – Hajib berkata bahwa ijma` itu hujjah. Adapun ar – Rahawi juga berpendapat bahwa ijma` itu pada dasarnya adalah hujjah.
a.       Kehujjahan ijma` sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma` sharih itu merupakan hujjah secara aqdi, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya.
·         Dalil – dalil yang dikeluarkan oleh jumhur
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا
Artinya : “ dan berpegang teguhlah kalian semua kepada tali ( agama ) Allah dan janganlah kamu bercerai berai” ( QS. Ali `Imran : 103 )
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْآ أَطِيْعُوااللَّهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَأُوْلِى الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Artinya : hai orang – orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu.( QS. An – Nisa : 59 )
b.      Kehujjahan ijma` sukuti
Imam al – Baidlowi berpendapat bahwa ijma` sukuti ini tidak bisa disebut ijma` dan tidak bisa dibuat hujjah. Adapun diamnya para ulama` hanya menjadi suatu qarinah.
Imam an – Nawawi berkata di dalam Syarh al – Wasith bahwasanya ijma` sukuti termasuk bagian dari ijma` dan boleh digunakan sebagai hujjah di dalam menetapkan hukum syari`at. Adapun pendapat Imam asy – Syafi`i yang menafikannya dari bagian ijma`, yang dimaksudkan adalah menafikannya dari bagian ijma` qath`iy. Sedangkan ijma` sukuti ini adalah bagian dari ijma` dzanniy.[5]


[1] M. Ridlwan Qoyyum Sa`id, Terjemah & Komentar Al – Waroqot Usul Fiqh, Kediri : Mitra-Gayatri, hlm.135
[2] M. Ridlwan Qoyyum Sa`id, Terjemah & Komentar Al – Waroqot Usul Fiqh, Kediri : Mitra-Gayatri, hlm.135
[3] Terjemah & Komentar Al – Waroqot Usul Fiqh, hlm. 136
[4] Drs. Sapiudin Shidiq,M.A., Ushul Fiqih, Jakarta : Kencana, 2011, hlm. 65 - 66
[5] M. Ridlwan Qoyyum Sa`id, Terjemah & Komentar Al – Waroqot Usul Fiqh, Kediri : Mitra-Gayatri, hlm.141

No comments:

Post a Comment

RANGKUMAN MATERI TEKNIK PENULISAN KARYA ILMIAH LENGKAP

A.    Konsep Karya Ilmiah Karya ilmiah terbentuk dari kata “karya” dan “ilmiah”. Karya berarti kerja dan hasil kerja dan ilmiah berari ...