KATA PENGANTAR
Puji syukur
Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan taufiq, hidayah, serta inayah-Nya. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini untuk tugas mata kuliah ASWAJA.
Sholawat serta
salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad SAW
yang karena jerih payahnya sehingga kita dapat meneguk manisnya iman dan islam.
Dalam makalah ini penulis
menyertakan judul Hubungan Organisasi Nahdlatul Ulama’ (NU) Dengan
Pemerintah dan Partai Politik yang telah
dimandatkan oleh dosen pengampu mata kuliah ASWAJA (Fathul Qodir) penulis
menyadari dengan sepenuh hati bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
karena penulis hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Sehingga
tentu saja masih banyak kekurangan dikarenakan keterbatasan yang penulis
miliki.
Mojokerto, 17
November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bahwa
jamiyah Nahdlatul Ulama’ adalah organisasi islam terbesar di Indonesia.
Hubungan NU dengan pemerintah mengalami pasang surut sejak masa orde lama dalam
kepimpinan soekarno. karena NU dan Pemerintah adalah dua bagian penting yang turut mengawal kemerdekaan bangsa Indonesia,
salah satu tokoh NU Orde lama yang duduk di bangku pemerintahan dan tokoh BPUPKI yaitu KH Wahid Hasyim putra dari pendiri Nahdlatul Ulama’ KH Hasyim Asyari.
Kontribusi KH Wahid Hasyim menunjukkan
bahwa NU pada waktu itu juga sangat berperan penting pada sistem pemerintahan
Indonesia Orde lama dan pada msa Orde baru saat ini NU juga selalu menjaga
hubungan baik dengan pemerintah dan menjadi benteng terdepan yang menjaga keutuhan NKRI.
Secara resmi, keterlibatan Nahdlatul Ulama (NU)
dalam kancah politik praktis (sebagai partai politik) dilakukan sejak tahun
1953 sampai 1973. Namun demikian, bukan berarti peran politik NU hanya terbatas
dalam dekade tersebut. Sebelum dan sesudah masa itu, tidak sedikit kegiatan NU
yang dampak politiknya justru lebih monumental. Bahkan, ketika NU menjadi
bagian penting dari Masyumi (pra NU parpol) dan saat NUmasih secara resmi
menyalurkan aspirasi politiknya melalui Partai Persatuan Pembangunan (pascaNU
parpol), juga merupakan periode–periode penting untukdiungkap.Pada masa pradan
pasca NU sebagai parpol, eksistensi organisasi yang dimotori kaum pesantren,
dengan dukungan masa dari masyarakat Islam tradisional sempat dilanda krisis
identitas. Berbagai dampak negatif maupun positif akibat lamanya NU terjun
dalam politik praktis merupakan alasan utama mengapa masa-masa tersebut penting
untuk ditilik.
B.Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Hubungan Jamiyah Nahdlatul Ulama’ (NU) Dengan Pemerintah?
2.
Bagaimana Hubungan
Jamiyah Nahdlatul Ulama’ (NU) dengan Partai Politik?
3.
Bagaimana
Sistem Politik NU Sebelum Khittah?
4.
Bagaimana
Sistem Politik NU Setelah Khittah?
C.Tujuan Masalah
1.
Agar mengetahui
Hubungan Jamiyah Nahdlatul Ulama’ (NU) Dengan Pemerintah
2.
Untuk
mengetahui Hubungan Jamiyah Nahdlatul Ulama’ (NU) dengan Partai Politik
3.
Untuk
mengetahui Sistem Politik NU Sebelum Khittah
4.
Agar tahu Sistem
Politik NU Setelah Khittah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hubungan
Jamiyah Nahdlatul Ulama’ dengan Pemerintah
Sesungguhnya, jika kita menengok
perjalanan sejarah, hubungan NU dengan pemerintah selalu mengalami
pasang-surut. Pada era Presiden Soekarno, ketika NU masih menjadi partai
politik, Partai NU merupakan salah satu pendukung Soekarno. NU memberikan
gelarwaliyul amri adhharuri bisysyaukah.NU menjadi garda terdepan membela NKRI
yang waktu itu sangat rentan terhadap perpecahan, termasuk pemberontakan oleh
kelompok Islam melalui DI/TII.Pada era Orde Baru, massa NU yang besar dan solid
dianggap menjadi ancaman eksistensi kekuasaan Golkar yang mendasarkan diri pada
ABRI, Birokrasi, dan kino-kino Golkar. Karena itu, hubungan NU dan pemerintah
mengalami masa-masa sulit. Banyak lembaga-lembaga pendidikan dengan nama NU
dicurigai sehingga harus berganti nama. Untuk menggelar pengajian, sangat sulit
dilakukan dan para intel pun mengawasi dengan ketat aktivitas para dai. Dengan
berbagai cara, pemerintah berusaha menjegal Gus Dur dalam Muktamar NU di
Cipasung tahun 1989 karena Gus Dur dianggap pemimpin oposisi. PengabaianNU
berarti negara telah mengabaikan sebagian besar potensi bangsa. Situasi
berbalik setelah masa reformasi sampai dengan hari ini. Semua presidenpasca
gerakan reformasi selalu menjaga hubungan baik dengan NU. Berbagai kebijakan
penting terkait dengan hubungan agama dan sosial kemasyarakatan oleh pemerintah
selalumeminta saran NU. Perhatian pemerintah terhadap aspek sosial, budaya,
pendidikan, dan ekonomi warga NU ditingkatkan. Pesantren dan madrasah semakin
meningkat dalam sisi pengakuan eksistensinya maupun bantuan dana, meskipun
belum sesuai dengan harapan. Banyak pesantren mendapat program rusunawa untuk
asrama santri, pemberian honor bagi para guru ngaji, diakuinya ijazah pesantren
untuk masuk ke perguruan tinggi dan lainnya. Semua kebijakan tersebut baru tumbuh
di era reformasi. Banyak hal telah berubah setelah komunitas NU diabaikan
selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru.NU memang memiliki kekuatan massa besar
yang tidak bisa diabaikan oleh siapapun. Apalagi saat dunia dihadapkan dengan
merebaknya terorisme dan radikalisme serta aliran Islam transnasional. Mereka
berusaha merobohkan NKRI sesuai dengan cita-cita dan ideologi yang diusungnya.
Tentu saja NU dengan tegas akan membela NKRI. Ajaran Islam Ahlusunnnah wal
Jamaah NU moderat, toleran, dan seimbang merupakan pilihan tepat bukan hanya
bagi Indonesia, tapi juga bagi dunia. Tak heran Presiden Jokowi mendukung
pengembangan Islam Nusantara yang digagas oleh NU sebagai cerminan Islam yang
menghargai nilai-nilai lokalitas. Tentu saja hubungan baik tersebut bisa sangat
bermanfaat bagi perjalanan bangsa ini. Banyak sekali persoalan kemasyarakatan
yang tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah melalui berbagai kementerian dan
lembaga negara lainnya. NU dengan jaringan yang dimilikinya bisa membantu
berbagai program pemerintah sampai ke tingkat akar rumput. Banyak programtidak
hanya butuh uang, tetapi pendekatan lain, seperti penanganan kasus terorisme
dan radikalisme yang membutuhkan bimbingan agama yang benar bagi mereka yang
terlanjur masuk aliran tersebut. Posisi NU dihadapan pemerintah tidak dapat
dikategorikan sebagai oposisi atau koalisi karena NU bukan partai politik. Jika
ada kebijakan pemerintah yang tidak pas buat rakyat, tentu sudah sepatutnya
bagi NU untuk mengingatkan pemerintah soal ini. Dengan pengalaman sejarahnya
yang panjang, NU tidak takut atau enggan menyampaikan kritiknya. Tapi tentu
saja, kritik bisa disampaikan secara santun dan tidak harus di depan publik.
Yang penting adalah pesan tersebut sampai kepada pengambil kebijakan.
Pengabdian NU adalah kepada bangsa dan negara, bukan kepada rezim pemerintahan
tertentu yang setiap periode tertentu berganti. NU akan mengawal perjalanan
bangsa ini, siapapun presidennya, siapapun pemerintahannya.
B.
Hubungan Jamiyah
Nahdlatul Ulama’ Dengan Partai Politik
Pada dasarnya,
semua orang yang hidup dalam suatu Negara adalah makhluk politik, termasuk
warga nahdliyyin. Nahdlatul Ulama memang dilahirkan sebagai partai politik,
namun merupakan kekuatan (potensi) politik yang sangat besar karena anggotanya
puluhan juta jumlahnya. Oleh karena itu, semua partai politik selalu ingin
mempengaruhi pimpinan NU supaya mendapat kekuatan politiknya. Dalam keadaan
seperti ini, NU dapat memainkan politiknya untuk mempengaruhi partai-partai
politik. NU bermain politik pada tingkat tinggi, tidak hanya sekedar mencari
kursi-kursi politik, tetapi bagaimana para politisinya dapat dikerahkan dan
diarahkan sesuai dengan garis politik yang diinginkan oleh NU. Partai yang
dimainkan NU adalah politik kebangsaan dalam arti untuk kepentingan seluruh
bangsa, tidak hanya untuk kepentingan partai/kelompok.Sebagai jam’iyah yang
bukan partai politik tetapi merupakan kekuatan politik yang besar, adakalanya
NU mengalami kesulitan di dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Dalam
sejarahnya yang cukup panjang, NU mempunyai pengalaman tentang
cara-caramenyalurkan aspriasi politiknya.
. SEJARAH PARTAI NU
Pada
zaman penjajahan Belanda, NU menyembunyikan perbuatan politiknya kecuali dalam
hal-hal sangat besar seperti :
1) Sikap anti penjajahan, mempersiapkan
umat untuk merebut kemerdekaan, disembunyikan di pesantren-pesantren.
2) Menuntut Indoensia ber-parlemen
bersama MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia)
gabungan semua organisasi Islam se Indonesia dan GAPI (Gabungan Politik
Indonesia). Gabungan partai-partai politik se Indonesia mendesak supaya
pemerintah Hindia Belanda didampingi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia.
Pada zaman penjajahan Jepang yang
membekukan semua organisasi rakyat, para tokoh NU bersama dengan tokoh-tokoh
lain memperlihatkan sikap kerja sama dengan Jepang supaya dapat tetap
berhubungan dengan rakyat dan mempersiapkan rakyat merebut kemerdekaan. Pada
zaman revolusi fisik, NU bahu membahu dengan seluruh lapisan bangsa
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan dan menyalurkan aspirasi politiknya
melalui Masyumi. Sesudah selesai revolusi fisik, NU mandiri sebagai Partai NU
dan ternyata berhasil menempatkan diri sebagai kekuatan politik nasional
Indonesia.
Pada zaman orde baru yang memaksa partai-partai
bergabung menjadi dua partai dan satu Golkar, NU memfusiukan fungsi politiknya
ke dalam PPP sampai tahun 1984 ketika NU menyatakan tidak terikat dengan
organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun. Ketika jaman
reformasi, NU mempersilakan warganya mendirikan partai dengan bimbingan PBNU
yaitu partai Kebangkitan Bangsa. Semua ini hanyalah cara-cara yang dipilih NU
pada suatu kondisi dan situasi tertentu untuk kepentingan perjuangan NU
sendiri, bukan sesuatu yang qoth’I, bukan sesuatu yang abadi yang tidak dapat
berubah sepanjang zaman tanpa memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan
perjuangan NU sendiri. Yang pokok adalah bahwa NU adalah jami’iyah (Organisasi,
kelompok) yang mandiri, tidak menjadi bagian dari organisasi lain, baik
organisasi politik maupun organisasi kemasyarakatan.
C. NU KEMBALI KE-KHITTOH
Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke
Khittah NU 1926. Ini ditandai keluarnya NU dari PPP. Dan kembali menjadi
organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926. NU mencakup tujuan pendirian NU,
gerakan-gerakan NU dan lain-lain. Ada Perbincangan Khittah NU sering dikaitkan
dengan urusan politik. Sementara, cakupan Khittah NU 1926 pada dasarnya tidak
hanya menerangkan ihwal hubungan organisasi NU dengan politik, tetapi juga
hal-hal mendasar terkait soal ibadah kepada Allah Swt dan kemasyarakatan.
Khittah anggapan, hal ini sudah mulai dilupakan banyak orang. Seringkali,
bicara Khittah NU 1926 hanya dikaitkan hubungan NU dengan PKB, PKNU, PPP dan
partai politik lain.
Padahal khittah bukan sebatas itu, dan mencakup tema-tema
yang luas seluas wilayah kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidahnya,
syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain-lain. Pada Muktamar
Ke-27 NU di Situbondo, Jawa Timur, pada pasal pengertian khittah menyebutkan,
Khitthah NU 1926 merupakan landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU
yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi. Juga
daIam setiap proses pengambilan keputusan.
Landasan tersebut
ialah faham Islam Ahlussunnah wal Jama'ah yang diterapkan menurut kondisi
kemasyarakatan di Indonesia. Ini meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun
kemasyarakatan. Khitthah NU 1926 yang digali dari intisari perjalanan sejarah
khidmahnya dari masa ke masa. Dalam praksisnya, Khittah NU 1926, misal, terkait dengan
persoalan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam pandangan Khittah NU
1926, NKRI sudah final. NU tidak sepakat dengan pemberlakukan hukum Islam
secara legal formal. Selain itu, menurut keputusan Muktamar Ke-27 juga
disebutkan, NU sebagai organisasi keagamaan, merupakan bagian tak terpisahkan
dari umat Islam Indonesia.
Khittah NU 1926 juga melandasi praksis hubungan
kemasyarakatan yang senantiasa memegang teguh prinsip persaudaraan, toleransi,
kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama warga negara dengan
keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan
kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis. Kini, banyak
orang memunculkan gagasan, perlunya membumikan Khittah NU 1926 dalam tatara
yang lebih praktis, lebih konteks, dan lebih memberi daya dorong dalam beragam
persoalan. Khittah NU 1926 dirasakan masih ”abstrak” dan ”imajiner”
dibandingkan dengan sebagai ruh yang mampu memberi daya dorong dalam segala
lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
D. GERAKAN POLITIK NU SETELAH KHITTAH
Nahdlatul Ulama (NU) berdiri 1926 adalah sebagai
organisasi kemasyarakatan atau jam’iyah, bukan partai politik, bukan
institusi politik, tapi tak bisa dipungkiri dan dihindarai bahwa sejak kelahirannya
NU telah bersinggungan dengan ruang politik. Pada tahun
1940-1943 NU masuk MIAI yang kemudian menjadi Masyumi. Masyumi dibentuk
dimaksudkan untuk menciptakan kekuatan besar bagi umat Islam. Tahun 1945 Raisul
Akbar Hadrotussyaikh KH Hasyim As’ary mengeluarkan fatwa resolusi jihad untuk
menghadapi tentara nicca belanda. Dan pada tahun-tahun berikutnya NU juga tak
tinggal diam menghadapi PKI.
Ada satu hal yang perlu dicatat bahwa, kelahiran NU itu
sendiri sebagai respon atas munculnya Islam wahabisme atau Islam reformis yang
menyatakan dirinya sebagai kaum pambaharu Islam. Melihat sisi historis demikian
maka boleh dikata semenjak kelahirannya NU telah berpolitik, barulah pada
tahun 1952 Muktamar NU ke 19 di palembang, NU resmi menyatakan diri sebagai
partai politik setelah keluar dari Masyumi.
Dari pemilu 1955 sampai pemilu 1971 NU berhasil meraih
suara cukup menggembirakan, NU benar-benar bermain di arena politik, NU punya
bargaining cukup tinggi, NU punya banyak wakil di DPR, para ulama
sepuh NU juga masih banyak. sampai disini NU masih berjaya. Barulah pada tahun
1973 NU mulai melewati masa awal perpecahan. Semua partai Islam termasuk NU
harus fusi dalam satu partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan(PPP). PPP
tak ubahnya seperti Masyumi dulu, perselisihan antar kelompok dalam tubuh PPP
terus terjadi tak kunjung usai. Kasus yang terjadi di PPP serupa dengan yang
terjadi di Masyumi – NU selalu dimarjinalkan.
NU dalam posisi rumit, bikin partai tak boleh,
memperbaiki PPP juga suatu hal yang sangat sulit karena PPP dan PDI saat itu
merupakan boneka orde baru. Disinilah titik awal dimulainya perpecahan
warga NU, dimana pemerintah Orba salah satu factor utama dalam penghancuran NU.
NU selanjutnya hanya berpolitik secara moral yang sulit dipertanggungjawabkan
hasilnya. NU kemudian hanya menitipkan para kadernya di PPP, sedang NU sendiri
hanya bisa bermain diluar arena.
Pola dukung mendukung oleh NU mulai dijalankan. NU
terkadang bermetamorfosa dari hijau menjadi merah ketika Gus Dur mendekati Mega
yang waktu itu kita kenal dengan istilah Mega-Gus Dur untuk menandingi PDI
Suryadi. Atau terkadang NU berubah ujud dari hijau ke kuning ketika Gus Dur
mengajak warganya untuk mengikuti Istighotsah NU-Golkar di berbagai daerah
beberapa tahun silam sebelum reformasi. Setelah reformasi bergulir, sepertinya ada harapan besar
bagi NU untukmengembalikan kejayaan NU dimasa silam. Toh demikian masih terlalu
berat jika NU menjelma menjadi partai. NU akhirnya mendirikan PKB dimana PKB
diharapkan menjadi satu-satunya partai NU yang berakses ke PBNU. NU sendiri
bukanlah partai tapi NU punya sayap politik yaitu PKB. Betapa hebat respon
masyarakat terhadap lahirnya PKB, Ini wajar saja karena warga NU benar-benar
haus dengan partai NU setelah 32 tahun NU dipinggirkan.
Namun tampaknya harapan hanya tinggal harapan, PKB yang
diharapkan menjadi sayap politik NU justeru berjalan sendiri bahkan senantiasa
berseberangan dengan NU structural. Antara PKB dan NU mulai ada tanda-tanda
kurang serasi, PKB memecat ketuanya yaitu Matori Abdul jalil yang sebenarnya NU
tidak menghendaki. Ketidak serasian NU-PKB ini diperuncing lagi ketika NU punya
gawe mencalonkan Hasyim Muzadi menjadi cawapres Mega. Dengan susah payah NU
menggerakkan warganya dari tingkat PW-PC-MWC bahkan sampai ketingkat ranting
untuk mengegolkan jagonya yaitu Hasyim Muzadi menjadi Cawapres, tapi PKB saat
itu justeru mendukung Wiranto-Wahid dari Golkar, diteruskan pada pilpres
putaran kedua PKB mendukung SBY-JK.
Cukup sudah PKB menyodok NU saat itu. Mulai dari
itu PKB dianggap bukan lagi partai sayap politik NU karena PKB terlalu
jauh meninggalkan NU.
Carut-marut
perpolitikan NU saat ini sudah sangat rumit. Musuh sudah pakai senjata api kita
masih berebut senjata bambu. Sederet pertanyaan inilah yang mungkin akan terjawab
dalam muktamar NU mendatang.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah diatas maka
penulis dapat menyimpulkan bahwa Politik adalah sebuah kata dengan sejuta
makna,mulai dari arti yang paling luas sampai arti yang paling sempit.mulai
yang umum sampai yang khusus. Pada dasarnya,politik adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan kenegaraan, kekuasaan, dan pemerintahan. Seorang petani yang
membayar pajak berarti dia mendukung kelestarian pemerintah. Maka dia sudah
dianggap melakukan perbuatan politik. Sebaliknya, seseorang yang memboikot
pajak, dia juga sudah melakukan perbuatan politik.
NU mencakup
tujuan pendirian NU, gerakan-gerakan NU dan lain-lain. Ada Perbincangan Khittah
NU sering dikaitkan dengan urusan politik. Sementara, cakupan Khittah NU 1926
pada dasarnya tidak hanya menerangkan ihwal hubungan organisasi NU dengan
politik, tetapi juga hal-hal mendasar terkait soal ibadah kepada Allah Swt dan
kemasyarakatan.
DAFTAR PUSTAKA
NU Online “Hubungan Akrab NU dengan Pemerintah” diakses pada
tanggal 19 Januari 2017
Hasanuddin, Dkk,Pendidikanke-NU-an (ASWAJA),CV Al-Ihsan,
Surabaya 1992.
Pustaka Ma’arifNU,Islam Ahlussunnah Wal JamaahDi Indonesia,
Jakarta, 2007
http://agusmr220.blogspot.com/2013/12/nahdlatul-ulama-dan-partai-politik.html
diakses pada tanggal 19 Januari 2017
http://ibnu-soim.blogspot.co.id/2012/11/nu-dan-partai-politik.html
diakses pada tanggal 14 Januari 2017
No comments:
Post a Comment