Pendahuluan
Islam memandang harta
sebagai amanah yang dititipkan Allah SWT kepada manusia untuk dapat digunakan
bagi kebaikan dan manfaat yang seoptimal mungkin. Sebab itu, harta juga
merupakan ujian keimanan bagi manusia. Kepemilikan harta kekayaan pada manusia
terbatas pada kemanfaatannya selama masih hidup di dunia, dan bukan kepemilikan
secara mutlak. Saat manusia meninggal, kepemilikan tersebut berakhir dan harus
didistribusikan kepada ahli warisnya, sesuai ketentuan syariah (Nurhayati &
Wasilah, 2009).
Karena
harta berpotensi mendatangkan kemanfaatan, sebaiknya manusia tidak menggunakan
alasan zuhud yang tidak tepat atau qana’ah yang salah paham karena pada
dasarnya harta itu baik, mulia dan indah. Islam menganjurkan kita untuk bersikap
seimbang terhadap dunia dan akhirat, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS 28:77:
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi
janganlah kamu lupakan bagianmu di
dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat
kerusakan.”
Tanpa
harta, kemiskinan bisa mewabah. Dan jika hal ini dibiarkan, secara lambat namun
pasti kemiskinan akan membahayakan akidah dan keimanan. Nabi SAW pernah
bersabda, “Kemiskinan hampir-hampir mendekatkan orang kepada pengingkaran
terhadap Islam (kekufuran). Oleh karena itulah beliau menganjurkan ummat-nya untuk
berdo’a, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran dan kukufuran (HR
An-Nasa’i).” Tidak hanya itu, bila umat Islam minim harta atau tidak amanah
dalam mengelola harta yang dititipkan Allah swt, maka dakwah Islam pun akan
terhambat. Masjid akan kumuh dan kotor karena tidak ada biaya perawatan,
yatim-piatu akan terlantar karena tidak ada donasi yang cukup untuk pembinaan,
buta huruf Qur’an akan merajalela karena tidak ada yang mampu membayar gaji
guru dan mencetak mushaf, pesantren tidak terjamah tekonologi karena tidak
mampu membeli komputer, dan dampak-dampak menyedihkan lainnya (Antonio, 2010). Dalam
bab ini, insya Allah Anda akan diajak untuk memahami bagaimana konsep
perolehan, pemeliharaan dan penggunaan harta menurut Islam serta bagaimana
Islam mengatur transaksi yang sesuai dengan syariah-nya
Konsep Islam Mengenai Perolehan Harta
Rasulullah SAW pernah
bersabda, “Seseorang pada hari akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat
hal: Untuk apa usianya dihabiskan? Untuk apa jasmaninya dipergunakan? Untuk apa
ilmunya digunakan? Darimana hartanya didapatkan dan untuk apa dibelanjakan?”(HR
Abu Dawud). Yang menarik dari hadits tersebut adalah pertanyaan tentang usia,
jasmani dan ilmu menanyakan mengenai penggunaan, sementara pertanyaan tentang
harta menanyakan mengenai darimana harta didapatkan dan untuk apa harta digunakan.
Oleh karena itulah, dalam banyak firman Allah SWT di Al-Qur’an serta hadits
Rasulullah SAW, perolehan harta seringkali dibahas. Beberapa diantaranya adalah
yang mengingatkan manusia agar tidak melalaikan kewajibannya terhadap Allah SWT
dalam mencari harta serta untuk mencari harta melalui kerja kerasnya sendiri.
1. Perintah mencari karunia
Allah SWT tanpa melalaikan dari kewajiban terhadap Allah SWT
·
Hai orang-orang beriman,
janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.
Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi
(QS 63:9)
·
Laki-laki yang tidak dilalaikan
oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan
(dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada
suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang (QS 24:37)
·
“…Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.” (QS 62 :10)
·
“Mencari rezeki yang halal
adalah kewajiban setelah kewajiban melaksanakan shalat fardhu.” (HR. Al Baihaqi)
2. Perintah mencari harta
melalui jerih payahnya sendiri
·
“…Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri…” (QS 13:11)
·
Ketika Rasulullah ditanya
oleh Rafi bin Khudaij: Dari Malik bin Anas r.a “Wahai Rasulullah, pekerjaan apakah yang paling baik?” Rasulullah
menjawab “Pekerjaan orang dengan tangannya sendiri dan jual beli yang mabrur”. (HR.
Ahmad dan Al Bazzar At Thabrani dari Ibnu Umar)
·
“Harta
yang paling baik adalah harta yang diperoleh lewat tangannya sendiri …” (HR.
Bazzar At Thabrani)
·
“Sesungguhnya
Allah suka kalau Dia melihat hambaNya berusaha mencari barang dengan cara yang
halal.” (HR. Ath-Thabrani dan Ad-Dailami)
·
“Orang
yang meminta-minta padahal dia tidak begitu membutuhkan (tidak terdesak) sama
halnya dengan orang yang memungut bara api.” (HR.
Muslim)
·
“Sesungguhnya Allah
mencintai hamba-Nya yang bekerja. Barang siapa bekerja keras mencari nafkah
yang halal untuk keluarganya, ia sama seperti mujahid di jalan Allah.” (HR. Abu
Dawud)
3. Mencari Harta yang Halal
·
“Barang
siapa mengumpulkan harta dari jalan haram, lalu dia menyedekahkannya, maka dia
tidak mendapatkan
pahala, bahkan mendapatkan dosa.” (HR. Huzaimah dan Ibnu Hiban disahkan
oleh Imam Hakim)
4. Mencari Sejak Pagi Hari
·
“Ya Allah berkahilah umatku disaat (mencari
rezeki) di pagi hari.” (HR. Abu Dawud)
Konsep Islam Mengenai Penggunaan Harta
Allah SWT yang Maha
Memberi Petunjuk tentunya tidak hanya akan menanyakan sesuatu tanpa sebelumnya
memberikan pengajaran pada kita para hamba-Nya. Terkait dengan penggunaan
harta, Allah SWT mengajarkan pada kita untuk:
1. Membayarkan Zakat, Infaq,
dan Sedekah
·
”Ambillah
zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan
berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doa kamu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS 9:103)
Zakat
adalah prioritas pertama yang harus dilakukan oleh umat Islam yang mampu karena
dalam harta umat Islam terdapat sebagian milik orang yang membutuhkannya.
Sebagaimana ayat diatas, zakat dikeluarkan agar kesucian harta dapat tercapai.
Ustadz Quraish Shihab dalam salah satu kajiannya pernah menyampaikan bahwa orang
yang membayar zakat belum bisa dikatakan sebagai orang yang dermawan. Mengapa?
Karena ia baru mengembalikan hak orang lain yang ada di hartanya. Jika selain
zakat ia juga memberikan infaq, sedekah, hadiah atau wakaf, barulah orang
tersebut bisa dikatakan orang yang dermawan. Bagi orang-orang yang mengamalkan
ini, Allah SWT telah menjanjikan kebaikan yang berlipat ganda sebagaimana
firmannya sebagai berikut:
·
“Perumpamaan
orang yang menginfak hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang
menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap
tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang dia kehendaki, Dan Allah berjanji barang siapa
melakukan kebajikan akan dilipatgandakan
pahalanya dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (QS 2:261)
Kelipatgandaan
pahala yang Allah SWT berikan tidak hanya berakhir pada kehidupan kita di dunia
ini, namun insyaAllah akan terus mengalir setelah kita wafat. Hal ini
disampaikan dalam hadits berikut:
·
“Apabila
anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga
perkara: shadaqah
jariyah (infak dan shadaqah), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang
mendoakan” (HR. Muslim).
2. Menggunakan Harta Secara
Wajar (Tidak Boros dan Tidak Kikir)
·
“Wahai anak cucu
Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan
minumlah, tapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan.” (QS 7:31)
·
“Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS 17:27)
·
“Dan janganlah
engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau
terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan
menyesal.” (QS 17:29)
3. Mengelola Harta Agar Tidak
Berkumpul Di Orang-Orang Kaya Saja
·
“Apa saja harta rampasan
(fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal
dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Amat keras hukumannya.” (QS 59:7)
4. Mengelola Harta Untuk
Kemanfaatan Banyak Pihak
Islam
telah mengajarkan ummatnya untuk mandiri secara ekonomi dan menggunakan harta
yang dapat dirasakan manfaatnya oleh banyak pihak. Nabi Muhammad SAW pernah
bersabda, “Sebaik-baik manusia diantara kamu adalah yang paling banyak
manfaatnya bagi orang lain (HR At-Tabrani). Kemanfaatan harta kita pun akan
lebih terasa bila orang lain juga merasakan manfaatnya. Seperti air yang sehat
jika mengalir, harta pun akan lebih berkah dan mendatangkan pahala bila
dialirkan manfaatnya.
Terkait dengan hal ini, Nabi Muhammad SAW
pernah bertanya kepada para sahabat, “Siapakah diantara kamu yang menganggap
harta milik ahli warisnya lebih berharga daripada miliknya sendiri?” Mereka
menjawab, “Setiap orang menganggap harta miliknya sendiri lebih berharga
daripada milik ahli warisnya.” Kemudian Nabi SAW bersabda, “Hartamu adalah apa
yang kamu pergunakan dan harta ahli warismu adalah yang tidak kamu pergunakan. Tidak
ada sedikit pun diantara yang kau miliki (yakni harta dan penghasilan)
benar-benar menjadi milikmu kecuali yang kau makan dan kau gunakan, yang kau
pakai dan kau tanggalkan, dan yang kau belanjakan untuk kepentingan bersedekah
yang imbalan pahalanya kau simpan untukmu (HR. Bukhari dan Muslim).
5. Mengelola Harta Dengan
Tidak Melanggar Ketentuan Syariah
Islam
menghendaki kemudahan bagi ummatnya. Dalam kaitannya dengan muamalah, ketentuan
fiqh menjelaskan bahwa hukum asal
dalam muamalah adalah semuanya diperbolehkan kecuali ada ketentuan syariah yang
melarangnya. Sang Pencipta, Allah SWT, pasti yang paling mengetahui tentang apa
yang diciptakan-Nya. Untuk itu, ada larangan-larangan yang ditetapkan-Nya agar
manusia senantiasa berada dalam kebaikan. Kalau kita lihat dan cermati, hal-hal
yang dilarang Allah SWT bagi kita manusia jauh lebih sedikit daripada hal-hal
yang diperbolehkan-Nya. Untuk itu, penting bagi kita untuk memahami apa saja
larangan-larangan Allah SWT terkait pengelolaan harta agar kita selalu berada
dalam keberkahan-Nya. Hal ini juga dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil (tidak benar), kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah membunuh dirimu.
Sungguh Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS 4: 29)
Beberapa
hal yang dilarang terkait pengelolaan harta antara lain (Nurhayati &
Wasilah, 2009):
1. Semua
aktivitas bisnis terkait dengan barang dan jasa yang diharamkan Allah
2.
Riba
3. Gharar
(Ketidakjelasan)
4. Maisir (Perjudian)
5. Tadlis (Penipuan)
6. Ikhtikar
(Penimbunan)
7. Monopoli
8. Ba’i an-Najsy
(Rekayasa Permintaan)
9. Risywah
(Suap, korupsi)
10. Ta’alluq
(Jual-beli bersyarat)
11. Talaqqi al-rukban
(Mencegat rombongan dagang sebelum masuk pasar)
Investasi yang Diharamkan Allah SWT
Beberapa sektor
yang dilarang Islam untuk dijadikan sebagai tujuan investasi diantaranya:
sektor yang melibatkan perdagangan atau produksi babi, pornografi, keuangan
konvensional, senjata, sinema (kecuali yang bersifat Islami), judi, rokok,
minuman keras, narkoba, hiburan, dan perhotelan (kecuali hotel syariah).
Beberapa ulama bahkan melarang untuk berinvestasi pada sektor yang membawa
dampak kerusakan terhadap lingkungan.
Riba
Pengertian Riba
Riba berasal dari bahasa Arab yang berarti tambahan
(Al-Ziyadah), berkembang (An-Nuwuw),
meningkat (Al-Irtifa’), dan membesar (Al-’uluw). Lebih
lanjut, Imam Sarakhzi mendefinisikan
riba sebagai tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya
padanan (’iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.
Antonio (1999) menjelaskan bahwa yang dimaksud transaksi pengganti atau
penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersil yang melegitimasi adanya
penambahan secara adil, seperti jual beli, sewa menyewa, atau bagi hasil
proyek, di mana dalam transaksi tersebut ada faktor penyeimbangnya berupa
ikhtiar/usaha, risiko dan biaya (Nurhayati & Wasilah, 2009).
Jenis-Jenis Riba
Berdasarkan jenisnya, riba dibagi menjadi dua: riba al-fadl dan riba al-nasi’ah (Hameed, 2008). Riba
al-fadl adalah riba yang terjadi karena ada kelebihan/penambahan pada salah
satu dari barang ribawi/barang sejenis yang dipertukarkan baik pertukaran
dilakukan dari tangan ke tangan (tunai) atau kredit (Nurhayati & Wasilah,
2009). Contohnya pertukaran 2 kg beras yang kualitasnya lebih rendah dengan 1
kg beras yang kualitasnya lebih tinggi. Lebih lanjut, yang dimaksud dengan
barang ribawi dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW sebagai berikut:
“Dari Abu Said al-Khudri ra,
Rasul saw bersabda: Transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran,
timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba, perak dengan
perak harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya
adalah riba, gandum dengan gandum harus sama takaran, timbangan dan tangan ke
tangan (tunai), kelebihannya adalah riba, tepung dengan tepung harus sama
takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba,
korma dengan korma harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai),
kelebihannya adalah riba, garam dengan garam harus sama takaran, timbangan dan
tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba.” (HR. Muslim)
Terhadap
pengertian atas hadits tersebut, beberapa ulama kontemporer menjelaskan bahwa
yang termasuk dengan barang ribawi adalah barang yang digunakan biasa digunakan
sebagai alat tukar dalam transaksi (untuk menganalogikan emas dan perak) dan
barang yang biasa dikonsumsi sebagai bahan makanan pokok (untuk menganalogikan
gandum, tepung, korma, dan garam)
Sementara itu, riba al-nasi’ah adalah tambahan atas
pokok yang terjadi karena penundaan pembayaran utang. Contohnya pinjaman
senilai Rp1juta harus dibayar senilai Rp1,1juta di masa jatuh tempo akibat adanya
pembayaran yang ditangguhkan. Riba jenis kedua inilah yang berpotensi lebih
banyak terjadi di dunia keuangan. Bagian-bagian berikutnya akan lebih banyak
menjelaskan mengenai hal ini.
Dasar Hukum Riba
Menurut catatan sejarah, riba tidak hanya dilarang dalam
Islam, namun juga dalam agama-agama samawi lainnya (Nurhayati & Wasilah,
2009). Berikut adalah beberapa kutipan dari kitab kaum Yahudi dan Nasrani
mengenai riba:
·
“Janganlah engkau membungakan kepada Saudaramu,
baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.” (Kitab Deuteronomy, Pasal 23 ayat 19)
·
“Jika kamu meminjamkan harta kepada salah seorang
putra bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang mengutangkan, jangan
kau meminta keuntungan untuk hartamu.” (Perjanjian Lama, Kitab Keluaran Pasal 22 ayat 25)
Dalam Islam, riba
diatur dengan sangat gamblang dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Menurut Qardhawi
(2001) dalam Nurhayati dan Wasilah (2009), larangan riba dalam Al-Quran dilakukan
melalui 4 (empat) tahap penurunan firman Allah SWT:
1.
Imbauan
Allah SWT bahwa riba tidak berharga di sisi Allah SWT:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan
agar harta manusia bertambah, maka tidak menambah dalam pandangan Allah. Dan
apa yang kamu berikan berupa Zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh
keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (QS 30:39)
2.
Pelajaran
dari Allah SWT bahwa kaum Yahudi yang menjalankan praktik riba mendapatkan azab
yang pedih
“Dan karena mereka
menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena
mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (bathil). Dan kami sediakan
untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih.” (QS 4:161)
3.
Larangan
Allah SWT untuk memakan riba yang berlipat ganda.
“Wahai orang-orang yang
beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS 3:130)
4.
Larangan
Allah SWT untuk meninggalkan riba dalam bentuk apa pun sebesar apa pun.
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang orang
yang beriman.” “Maka jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang
dari Allah dan Rasul- NYA. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas
pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak pula dizalimi
(dirugikan).” (QS 2:278-280)
Tidak hanya dalam
Al-Qur’an, riba juga banyak dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah SAW.
Beberapa diantaranya:
· “Riba itu mempunyai 73
pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seorang yang
melakukan zina dengan ibunya.” (HR. Al-Hakim dari Ibnu Mas’ud)
· Jabir berkata: “bahwa Rasulullah saw mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya,
dan orang yang mencatatnya dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda,
“mereka itu semua sama.” (HR. Muslim)
·
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan
dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang amalanmu mengambil
riba, oleh karena itu utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok)
kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami
ketidakadilan.” (Khutbah Rasulullah SAW di Haji Wada)
Alasan Dilarangnya Riba
Setelah membaca firman Allah SWT dan hadits
Rasulullah SAW mengenai riba diatas, mungkin muncul pertanyaan di benak kita,
mengapa Islam begitu peduli dengan larangan praktik riba? Hameed (2008)
mencatat bahwa riba dilarang karena riba berpotensi menimbulkan ketidakadilan
karena satu pihak (peminjam) dipastikan untuk menerima imbalan (return) tanpa terpengaruh dengan hasil
yang dicapai oleh pihak lain (penerima pinjaman). Selain itu, riba juga dapat
menyebabkan konsentrasi kekayaan dimana pihak penerima pinjaman yang biasanya
lebih membutuhkan diharuskan untuk membayar imbalan kepada pihak peminjam yang biasanya
berkelebihan. Pengaruh-pengaruh inilah yang berpotensi menyebabkan terputusnya
hubungan baik antar masyarakat dalam hal pinjam meminjam. Jika dibiarkan, hal
ini dapat menyebabkan hilangnya perasaan belas kasihan, kebaikan, dan kebajikan
(Nurhayati & Wasilah, 2009).
Kesalahpahaman Terhadap Riba
Ketatnya aturan mengenai riba mengundang spekulasi
dari berbagai pihak yang mencoba menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang jika
tidak disikapi dengan ilmu yang mumpuni akan dapat menggeser pemahaman
seseorang mengenai definisi dan bentuk riba. Beberapa pendapat yang bias
mengundang kesalahpahaman tersebut antara lain:
1.
Riba
hanya mencakup bunga berbunga. Jika bunga tersebut tidak berlipatganda maka itu
bukanlah riba
2.
Riba
hanya dilarang untuk pinjaman yang sifatnya konsumtif dan tidak dilarang untuk
pinjaman investasi
3.
Bunga
bank bukanlah riba karena tidak mengeksploitasi.
Berikut adalah beberapa argumen yang dapat menjawab
argumen-argumen diatas:
Kesalahpahaman
1: Riba hanya mencakup bunga berbunga. Jika bunga tersebut tidak berlipatganda
maka itu bukanlah riba
Meski QS 3:130 menjelaskan larangan mengambil riba
yang berlipat ganda, namun kita harus melihat juga pada ayat-ayat Al-Qur’an
lain serta hadits-hadits mengenai riba. Jika kita amati, larangan mengambil
riba pada QS 3:130 adalah firman ke-3 mengenai riba yang diwahyukan Allah SWT.
Setelah itu, ada lagi ayat mengenai riba yang turun pada Rasulullah SAW, yaitu
pada QS 2: 278-280. Di ayat itulah Allah SWT mengharamkan riba bagaimana pun
bentuk dan besarannya.
Kesalahpahaman
2: Riba hanya dilarang untuk pinjaman yang sifatnya konsumtif dan tidak
dilarang untuk pinjaman investasi
Terhadap kesalahpahaman ini, Chapra (1995) mengutip
penjelasan Abu Zahrah, seorang ahli syariah ternama, menyatakan bahwa saat
ayat-ayat mengenai riba diturunkan, posisi Makkah sebagai kota dagang dan
mayoritas profesi kaum Quraisy (kaum Rasulullah SAW) sebagai pedagang membuat
mereka banyak sering melakukan pinjam-meminjam untuk membiayai kegiatan
dagangnya. Ini merupakan bukti bahwa riba atas pinjaman juga berlaku bagi
pinjaman untuk tujuan investasi.
Lebih
lanjut, sebagian pihak masih mempertanyakan, mengapa tambahan pengembalian atas
pinjaman untuk investasi tidak diperbolehkan sementara ada potensi keuntungan
yang bisa didapat oleh si peminjam dari kegiatan investasinya. Dan adalah wajar
bagi mereka untuk membagi keuntungan dengan pihak yang meminjamkan. Jawaban
untuk argumen ini adalah bahwa potensi peminjam mendapat keuntungan dari
investasinya belumlah menjadi suatu kepastian. Masih ada risiko kegagalan
investasi disana. Oleh karena itu, jika pihak yang meminjamkan ingin berbagi
untung, ia juga harus mau berbagi jika terjadi kerugian (Hameed, 2008).
Kesalahpahaman
3: Bunga bank bukanlah riba karena tidak mengeksploitasi.
Institusi perbankan modern seperti yang bisa kita
jumpai dimasa kini tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Meskipun beberapa ulama
tidak menganggap bunga bank sebagai riba, namun mayoritas ulama berpandangan
bahwa bunga bank tidak terkecualikan dari larangan riba. Hal ini disebabkan
hukum riba berlaku umum, tidak hanya untuk individu namun juga untuk institusi
seperti bank. Namun, ini bukan berarti institusi perbankan adalah haram dalam
pandangan Islam. Jika bunga bank diganti menjadi imbalan yang sesuai dengan
syariah Islam, maka hal ini tidak menjadi masalah. Dengan kata lain, praktik
perbankan syariah-lah yang dapat menjadi solusi hal ini (Hoque, 1997 dalam Hameed, 2008).
Gharar
Gharar
adalah ketidakjelasan yang bisa menyebabkan suatu akad[1]
disalahgunakan atau tidak dapat diteruskan. Akad kontijensi seperti asuransi
konvensional dimana konsekuensi akad baru akan dilangsungkan jika suatu hal
terjadi di masa depan adalah contoh dari gharar.
Bentuk gharar yang lainnya dalah bila
obyek akad adalah sesuatu yang tidak ada pada saat akad dilakukan, tidak dapat
dispesifikasikan, atau yang definisinya terlalu luas atau terlalu spesifik
(Hameed, 2008). Misalnya: akad jual-beli buah mangga di pohon tertentu atau
akad ijon.
Maisir
Maisir berasal
dari kata yasara atau yusr yang bermakna mudah; atau dari kata
yasar yang berarti kekayaan. Secara
istilah, maysir dapat diartikan
sebagai segala bentuk judi dimana keuntungan materiil diperoleh karena
aktivitas yang spekulatif atau untung-untungan, seperti lotre, kuis sms,
taruhan maupun bentuk spekulasi lainnya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS 5: 90:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
minuman keras, berjudi, berkurban (untuk berhala) dan mengundi nasib dengan
anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.”
Tadlis
(Penipuan)
Penipuan
terjadi bila salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak
lain
dan dapat terjadi dalam empat hal, yakni dalam
kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan (Karim, 2003). Contoh penipuan seperti menyembunyikan barang berkualitas
buruk diantara barang berkualitas lebih baik, mencurangi timbangan, mengenakan
harga terlalu tinggi pada orang yang tidak mengetahui harga pasar. Rasulullah
SAW pernah bersabda bahwa “Barang
siapa melakukan penipuan maka ia bukan dari golongan kami”. (HR. Ibnu
Hibban dan Abu Nu’aim).
Ikhtikar (Penimbunan Barang)
Penimbunan barang oleh pihak-pihak tertentu dapat menyebabkan
terjadinya kelangkaan barang tersebut di pasar. Akibatnya, harga barang akan meningkat
dan penimbun akan mendapat keuntungan ditengah kesulitan orang lain. Mengenai
penimbunan barang ini, Rasulullah SAW
bersabda bahwa:
· “Tidak menimbun barang kecuali orang yang berdosa”.
(HR.
Muslim, Turmudzi dan Abu Dawud)
· ”Siapa yang merusak harga pasar, sehingga
harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di neraka pada
hari kiamat.” (HR. At-Tabrani)
·
“Siapa
yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga
harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah.” (HR.
Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Monopoli
Monopoli bisa menjadikan pihak-pihak tertentu mendapat
keuntungan besar karena tidak adanya saingan dalam bisnisnya, pihak-pihak
itulah yang menguasai pasar sehingga kuantitas, kualitas dan harga pasokan akan
sepenuhnya tergantung pada mereka. Monopoli dilarang karena kepentingan umum
harus lebih diutamakan dari kepentingan segelintir orang. Ketentuan syariah
hanya membolehkan intervensi harga pada kondisi mendesak dengan pengawasan yang
ketat. Misalnya, intervensi oleh pemerintah untuk penetapan harga atas suatu
barang yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk menghindari tindakan ambil
untung berlebihan, atau pelanggaran hukum oleh pedagang zalim yang membahayakan
pasar.
Ba’i an-Najsy (Rekayasa Permintaan)
Merekayasa permintaan adalah kondisi dimana satu pihak
berpura-pura menawar dengan harga yang tinggi. Hal ini dilakukan agar calon
pembeli tertarik dan membeli barang tersebut dengan harga yang tinggi. Atas hal
ini, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah
kamu sekalian melakukan penawaran barang tanpa maksud untuk membeli” (HR.
Turmidzi).
Risywah (Suap, korupsi)
Islam melarang suap karena dapat menimbulkan ketidakadilan
dalam masyarakat. Pihak yang membayar suap pasti mendapat perlakuan istimewa
dari yang menerima suap. Biasanya, perlakuan ini pun hanya menguntungkan
segelintir pihak saja dan bahkan bisa membawa kerugian bagi lebih banyak pihak.
Rasulullah SAW sendiri dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani,
Al-Bazar dan Al-Hakim melaknat penyuap, penerima
suap dan orang yang menyaksikan penyuapan.
Ta’alluq (Jual-beli bersyarat)
Ta’alluq terjadi apabila ada dua akad saling
dikaitkan di mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua (Nurhayati
& Wasilah, 2009). Akad salam parallel dan istishna parallel yang insyaAllah
akan dibahas pada bab-bab berikutnya harus menghindari hal ini agar
kepatuhannya terhadap syariah dapat dijaga.
Talaqqi al-rukban (Mencegat rombongan
dagang sebelum masuk pasar)
Talaqqi
al-rukban dilakukan dengan cara mencegat pedagang yang tidak
mengetahui harga pasar atas barang dagangan yang dibawanya sementara pihak
pembeli mengharapkan keuntungan yang berlipat dengan memanfaatkan ketidaktahuan
mereka. Cara ini tidak diperbolehkan karena merupakan bentuk penipuan. Namun,
jika pencegatan tadi disertai dengan hak pilih untuk membatalkan atau
melanjutkan transaksi dari pihak penjual setelah mengetahui harga pasar, maka
hal ini diperbolehkan.
Prinsip-Prinsip Keuangan Syariah
Dari penjelasan diatas,
dapat kita simpulkan bahwa Islam mengatur dalam syariah-nya agar transaksi
keuangan dilakkan dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1. Pelarangan
terhadap riba, gharar dan maysir
2. Untung
boleh diperoleh jika sebanding dengan risiko yang ditanggungnya
3. Akad
dilakukan secara rela sama rela namun tetap memperhatikan kehalalan atas obyek
akad
Kesimpulan
Pada bab ini telah dibahas
bahwa Allah SWT dan Rasulullah SAW amat memperhatikan mengenai perolehan,
penggunaan, dan pengelolaan harta karena harta bagaikan dua muka mata uang yang
adalah suatu yang berpotensi membawa manusia pada kebahagiaan dunia akhirat
sekaligus berpotensi menjerumuskan manusia ke jurang kehinaan. Untuk itu,
perolehan, penggunaan, dan pengelolaan harta haruslah dilakukan sesuai dengan
ketentuan syariah dan tidak melanggar hal-hal seperti: investasi di bisnis
terkait dengan barang dan jasa yang diharamkan Allah SWT, riba, gharar, maisir, penipuan,
penimbunan, monopoli, rekayasa permintaan, suap, jual-beli bersyarat, serta talaqqi al-rukban.
No comments:
Post a Comment