Friday, 10 May 2019

Sistem Keuangan Syariah : Harta, Riba, Gharar, Maisir, Tadlis, Ikhtikar, Monopoli


Pendahuluan
Islam memandang harta sebagai amanah yang dititipkan Allah SWT kepada manusia untuk dapat digunakan bagi kebaikan dan manfaat yang seoptimal mungkin. Sebab itu, harta juga merupakan ujian keimanan bagi manusia. Kepemilikan harta kekayaan pada manusia terbatas pada kemanfaatannya selama masih hidup di dunia, dan bukan kepemilikan secara mutlak. Saat manusia meninggal, kepemilikan tersebut berakhir dan harus didistribusikan kepada ahli warisnya, sesuai ketentuan syariah (Nurhayati & Wasilah, 2009).
Karena harta berpotensi mendatangkan kemanfaatan, sebaiknya manusia tidak menggunakan alasan zuhud yang tidak tepat atau qana’ah yang salah paham karena pada dasarnya harta itu baik, mulia dan indah. Islam menganjurkan kita untuk bersikap seimbang terhadap dunia dan akhirat, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS 28:77:
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”
Tanpa harta, kemiskinan bisa mewabah. Dan jika hal ini dibiarkan, secara lambat namun pasti kemiskinan akan membahayakan akidah dan keimanan. Nabi SAW pernah bersabda, “Kemiskinan hampir-hampir mendekatkan orang kepada pengingkaran terhadap Islam (kekufuran). Oleh karena itulah beliau menganjurkan ummat-nya untuk berdo’a, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran dan kukufuran (HR An-Nasa’i).” Tidak hanya itu, bila umat Islam minim harta atau tidak amanah dalam mengelola harta yang dititipkan Allah swt, maka dakwah Islam pun akan terhambat. Masjid akan kumuh dan kotor karena tidak ada biaya perawatan, yatim-piatu akan terlantar karena tidak ada donasi yang cukup untuk pembinaan, buta huruf Qur’an akan merajalela karena tidak ada yang mampu membayar gaji guru dan mencetak mushaf, pesantren tidak terjamah tekonologi karena tidak mampu membeli komputer, dan dampak-dampak menyedihkan lainnya (Antonio, 2010). Dalam bab ini, insya Allah Anda akan diajak untuk memahami bagaimana konsep perolehan, pemeliharaan dan penggunaan harta menurut Islam serta bagaimana Islam mengatur transaksi yang sesuai dengan syariah-nya
Konsep Islam Mengenai Perolehan Harta
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Seseorang pada hari akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: Untuk apa usianya dihabiskan? Untuk apa jasmaninya dipergunakan? Untuk apa ilmunya digunakan? Darimana hartanya didapatkan dan untuk apa dibelanjakan?”(HR Abu Dawud). Yang menarik dari hadits tersebut adalah pertanyaan tentang usia, jasmani dan ilmu menanyakan mengenai penggunaan, sementara pertanyaan tentang harta menanyakan mengenai darimana harta didapatkan dan untuk apa harta digunakan. Oleh karena itulah, dalam banyak firman Allah SWT di Al-Qur’an serta hadits Rasulullah SAW, perolehan harta seringkali dibahas. Beberapa diantaranya adalah yang mengingatkan manusia agar tidak melalaikan kewajibannya terhadap Allah SWT dalam mencari harta serta untuk mencari harta melalui kerja kerasnya sendiri.
1.  Perintah mencari karunia Allah SWT tanpa melalaikan dari kewajiban terhadap Allah SWT
·            Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi (QS 63:9)
·            Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang (QS 24:37)
·            “…Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS 62 :10)
·            “Mencari rezeki yang halal adalah kewajiban setelah kewajiban melaksanakan shalat fardhu.” (HR. Al Baihaqi)
2.  Perintah mencari harta melalui jerih payahnya sendiri
·            “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (QS 13:11)
·            Ketika Rasulullah ditanya oleh Rafi bin Khudaij: Dari Malik bin Anas r.a “Wahai Rasulullah, pekerjaan apakah yang paling baik?” Rasulullah menjawab “Pekerjaan orang dengan tangannya sendiri dan jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad dan Al Bazzar At Thabrani dari Ibnu Umar)
·            “Harta yang paling baik adalah harta yang diperoleh lewat tangannya sendiri …” (HR. Bazzar At Thabrani)
·            “Sesungguhnya Allah suka kalau Dia melihat hambaNya berusaha mencari barang dengan cara yang halal.” (HR. Ath-Thabrani dan Ad-Dailami)
·            “Orang yang meminta-minta padahal dia tidak begitu membutuhkan (tidak terdesak) sama halnya dengan orang yang memungut bara api.” (HR. Muslim)
·            “Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja. Barang siapa bekerja keras mencari nafkah yang halal untuk keluarganya, ia sama seperti mujahid di jalan Allah.” (HR. Abu Dawud)
3.  Mencari Harta yang Halal
·            “Barang siapa mengumpulkan harta dari jalan haram, lalu dia menyedekahkannya, maka dia tidak mendapatkan pahala, bahkan mendapatkan dosa.” (HR. Huzaimah dan Ibnu Hiban disahkan oleh Imam Hakim)
4.  Mencari Sejak Pagi Hari
·             “Ya Allah berkahilah umatku disaat (mencari rezeki) di pagi hari.” (HR. Abu Dawud)
Konsep Islam Mengenai Penggunaan Harta
Allah SWT yang Maha Memberi Petunjuk tentunya tidak hanya akan menanyakan sesuatu tanpa sebelumnya memberikan pengajaran pada kita para hamba-Nya. Terkait dengan penggunaan harta, Allah SWT mengajarkan pada kita untuk:
1.  Membayarkan Zakat, Infaq, dan Sedekah
·            ”Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS 9:103)
Zakat adalah prioritas pertama yang harus dilakukan oleh umat Islam yang mampu karena dalam harta umat Islam terdapat sebagian milik orang yang membutuhkannya. Sebagaimana ayat diatas, zakat dikeluarkan agar kesucian harta dapat tercapai. Ustadz Quraish Shihab dalam salah satu kajiannya pernah menyampaikan bahwa orang yang membayar zakat belum bisa dikatakan sebagai orang yang dermawan. Mengapa? Karena ia baru mengembalikan hak orang lain yang ada di hartanya. Jika selain zakat ia juga memberikan infaq, sedekah, hadiah atau wakaf, barulah orang tersebut bisa dikatakan orang yang dermawan. Bagi orang-orang yang mengamalkan ini, Allah SWT telah menjanjikan kebaikan yang berlipat ganda sebagaimana firmannya sebagai berikut:
·            “Perumpamaan orang yang menginfak hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang dia kehendaki, Dan Allah berjanji barang siapa melakukan kebajikan akan dilipatgandakan pahalanya dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (QS 2:261)
Kelipatgandaan pahala yang Allah SWT berikan tidak hanya berakhir pada kehidupan kita di dunia ini, namun insyaAllah akan terus mengalir setelah kita wafat. Hal ini disampaikan dalam hadits berikut:
·            “Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah (infak dan shadaqah), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan” (HR. Muslim).
2.  Menggunakan Harta Secara Wajar (Tidak Boros dan Tidak Kikir)
·            “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS 7:31)
·            “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS 17:27)
·            “Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS 17:29)
3.  Mengelola Harta Agar Tidak Berkumpul Di Orang-Orang Kaya Saja
·            “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (QS 59:7)
4.  Mengelola Harta Untuk Kemanfaatan Banyak Pihak
Islam telah mengajarkan ummatnya untuk mandiri secara ekonomi dan menggunakan harta yang dapat dirasakan manfaatnya oleh banyak pihak. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Sebaik-baik manusia diantara kamu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain (HR At-Tabrani). Kemanfaatan harta kita pun akan lebih terasa bila orang lain juga merasakan manfaatnya. Seperti air yang sehat jika mengalir, harta pun akan lebih berkah dan mendatangkan pahala bila dialirkan manfaatnya.
Terkait dengan hal ini, Nabi Muhammad SAW pernah bertanya kepada para sahabat, “Siapakah diantara kamu yang menganggap harta milik ahli warisnya lebih berharga daripada miliknya sendiri?” Mereka menjawab, “Setiap orang menganggap harta miliknya sendiri lebih berharga daripada milik ahli warisnya.” Kemudian Nabi SAW bersabda, “Hartamu adalah apa yang kamu pergunakan dan harta ahli warismu adalah yang tidak kamu pergunakan. Tidak ada sedikit pun diantara yang kau miliki (yakni harta dan penghasilan) benar-benar menjadi milikmu kecuali yang kau makan dan kau gunakan, yang kau pakai dan kau tanggalkan, dan yang kau belanjakan untuk kepentingan bersedekah yang imbalan pahalanya kau simpan untukmu (HR. Bukhari dan Muslim).           
5.  Mengelola Harta Dengan Tidak Melanggar Ketentuan Syariah
Islam menghendaki kemudahan bagi ummatnya. Dalam kaitannya dengan muamalah, ketentuan fiqh menjelaskan bahwa hukum asal dalam muamalah adalah semuanya diperbolehkan kecuali ada ketentuan syariah yang melarangnya. Sang Pencipta, Allah SWT, pasti yang paling mengetahui tentang apa yang diciptakan-Nya. Untuk itu, ada larangan-larangan yang ditetapkan-Nya agar manusia senantiasa berada dalam kebaikan. Kalau kita lihat dan cermati, hal-hal yang dilarang Allah SWT bagi kita manusia jauh lebih sedikit daripada hal-hal yang diperbolehkan-Nya. Untuk itu, penting bagi kita untuk memahami apa saja larangan-larangan Allah SWT terkait pengelolaan harta agar kita selalu berada dalam keberkahan-Nya. Hal ini juga dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil (tidak benar), kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS 4: 29)
Beberapa hal yang dilarang terkait pengelolaan harta antara lain (Nurhayati & Wasilah, 2009):
1.    Semua aktivitas bisnis terkait dengan barang dan jasa yang diharamkan Allah
2.    Riba
3.    Gharar (Ketidakjelasan)
4.    Maisir (Perjudian)
5.    Tadlis (Penipuan)
6.    Ikhtikar (Penimbunan)
7.    Monopoli
8.    Ba’i an-Najsy (Rekayasa Permintaan)
9.    Risywah (Suap, korupsi)
10. Ta’alluq (Jual-beli bersyarat)
11. Talaqqi al-rukban (Mencegat rombongan dagang sebelum masuk pasar)
Investasi yang Diharamkan Allah SWT
Beberapa sektor yang dilarang Islam untuk dijadikan sebagai tujuan investasi diantaranya: sektor yang melibatkan perdagangan atau produksi babi, pornografi, keuangan konvensional, senjata, sinema (kecuali yang bersifat Islami), judi, rokok, minuman keras, narkoba, hiburan, dan perhotelan (kecuali hotel syariah). Beberapa ulama bahkan melarang untuk berinvestasi pada sektor yang membawa dampak kerusakan terhadap lingkungan.
Riba
Pengertian Riba
Riba berasal dari bahasa Arab yang berarti tambahan (Al-Ziyadah), berkembang (An-Nuwuw), meningkat (Al-Irtifa’), dan membesar (Al-’uluw). Lebih lanjut,  Imam Sarakhzi mendefinisikan riba sebagai tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan (’iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut. Antonio (1999) menjelaskan bahwa yang dimaksud transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersil yang melegitimasi adanya penambahan secara adil, seperti jual beli, sewa menyewa, atau bagi hasil proyek, di mana dalam transaksi tersebut ada faktor penyeimbangnya berupa ikhtiar/usaha, risiko dan biaya (Nurhayati & Wasilah, 2009).
Jenis-Jenis Riba
Berdasarkan jenisnya, riba dibagi menjadi dua: riba al-fadl dan riba al-nasi’ah (Hameed, 2008). Riba al-fadl adalah riba yang terjadi karena ada kelebihan/penambahan pada salah satu dari barang ribawi/barang sejenis yang dipertukarkan baik pertukaran dilakukan dari tangan ke tangan (tunai) atau kredit (Nurhayati & Wasilah, 2009). Contohnya pertukaran 2 kg beras yang kualitasnya lebih rendah dengan 1 kg beras yang kualitasnya lebih tinggi. Lebih lanjut, yang dimaksud dengan barang ribawi dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW sebagai berikut:
 “Dari Abu Said al-Khudri ra, Rasul saw bersabda: Transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba, perak dengan perak harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba, gandum dengan gandum harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba, tepung dengan tepung harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba, korma dengan korma harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba, garam dengan garam harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba.” (HR. Muslim)
Terhadap pengertian atas hadits tersebut, beberapa ulama kontemporer menjelaskan bahwa yang termasuk dengan barang ribawi adalah barang yang digunakan biasa digunakan sebagai alat tukar dalam transaksi (untuk menganalogikan emas dan perak) dan barang yang biasa dikonsumsi sebagai bahan makanan pokok (untuk menganalogikan gandum, tepung, korma, dan garam)
Sementara itu, riba al-nasi’ah adalah tambahan atas pokok yang terjadi karena penundaan pembayaran utang. Contohnya pinjaman senilai Rp1juta harus dibayar senilai Rp1,1juta di masa jatuh tempo akibat adanya pembayaran yang ditangguhkan. Riba jenis kedua inilah yang berpotensi lebih banyak terjadi di dunia keuangan. Bagian-bagian berikutnya akan lebih banyak menjelaskan mengenai hal ini.
Dasar Hukum Riba
Menurut catatan sejarah, riba tidak hanya dilarang dalam Islam, namun juga dalam agama-agama samawi lainnya (Nurhayati & Wasilah, 2009). Berikut adalah beberapa kutipan dari kitab kaum Yahudi dan Nasrani mengenai riba:
·      “Janganlah engkau membungakan kepada Saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.” (Kitab Deuteronomy, Pasal 23 ayat 19)
·      “Jika kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang mengutangkan, jangan kau meminta keuntungan untuk hartamu.” (Perjanjian Lama, Kitab Keluaran Pasal 22 ayat 25)
Dalam Islam, riba diatur dengan sangat gamblang dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Menurut Qardhawi (2001) dalam Nurhayati dan Wasilah (2009), larangan riba dalam Al-Quran dilakukan melalui 4 (empat) tahap penurunan firman Allah SWT:
1.  Imbauan Allah SWT bahwa riba tidak berharga di sisi Allah SWT:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak menambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa Zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (QS 30:39)
2.  Pelajaran dari Allah SWT bahwa kaum Yahudi yang menjalankan praktik riba mendapatkan azab yang pedih
“Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (bathil). Dan kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih.” (QS 4:161)
3.  Larangan Allah SWT untuk memakan riba yang berlipat ganda.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS 3:130)
4.  Larangan Allah SWT untuk meninggalkan riba dalam bentuk apa pun sebesar apa pun.
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang orang yang beriman.” “Maka jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul- NYA. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak pula dizalimi (dirugikan).” (QS 2:278-280)
Tidak hanya dalam Al-Qur’an, riba juga banyak dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah SAW. Beberapa diantaranya:
·      “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seorang yang melakukan zina dengan ibunya.” (HR. Al-Hakim dari Ibnu Mas’ud)
·      Jabir berkata: “bahwa Rasulullah saw mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “mereka itu semua sama.” (HR. Muslim)
·      “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang amalanmu mengambil riba, oleh karena itu utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.” (Khutbah Rasulullah SAW di Haji Wada)
Alasan Dilarangnya Riba
Setelah membaca firman Allah SWT dan hadits Rasulullah SAW mengenai riba diatas, mungkin muncul pertanyaan di benak kita, mengapa Islam begitu peduli dengan larangan praktik riba? Hameed (2008) mencatat bahwa riba dilarang karena riba berpotensi menimbulkan ketidakadilan karena satu pihak (peminjam) dipastikan untuk menerima imbalan (return) tanpa terpengaruh dengan hasil yang dicapai oleh pihak lain (penerima pinjaman). Selain itu, riba juga dapat menyebabkan konsentrasi kekayaan dimana pihak penerima pinjaman yang biasanya lebih membutuhkan diharuskan untuk membayar imbalan kepada pihak peminjam yang biasanya berkelebihan. Pengaruh-pengaruh inilah yang berpotensi menyebabkan terputusnya hubungan baik antar masyarakat dalam hal pinjam meminjam. Jika dibiarkan, hal ini dapat menyebabkan hilangnya perasaan belas kasihan, kebaikan, dan kebajikan (Nurhayati & Wasilah, 2009).
Kesalahpahaman Terhadap Riba
Ketatnya aturan mengenai riba mengundang spekulasi dari berbagai pihak yang mencoba menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang jika tidak disikapi dengan ilmu yang mumpuni akan dapat menggeser pemahaman seseorang mengenai definisi dan bentuk riba. Beberapa pendapat yang bias mengundang kesalahpahaman tersebut antara lain:
1.    Riba hanya mencakup bunga berbunga. Jika bunga tersebut tidak berlipatganda maka itu bukanlah riba
2.    Riba hanya dilarang untuk pinjaman yang sifatnya konsumtif dan tidak dilarang untuk pinjaman investasi
3.    Bunga bank bukanlah riba karena tidak mengeksploitasi.
Berikut adalah beberapa argumen yang dapat menjawab argumen-argumen diatas:
Kesalahpahaman 1: Riba hanya mencakup bunga berbunga. Jika bunga tersebut tidak berlipatganda maka itu bukanlah riba
Meski QS 3:130 menjelaskan larangan mengambil riba yang berlipat ganda, namun kita harus melihat juga pada ayat-ayat Al-Qur’an lain serta hadits-hadits mengenai riba. Jika kita amati, larangan mengambil riba pada QS 3:130 adalah firman ke-3 mengenai riba yang diwahyukan Allah SWT. Setelah itu, ada lagi ayat mengenai riba yang turun pada Rasulullah SAW, yaitu pada QS 2: 278-280. Di ayat itulah Allah SWT mengharamkan riba bagaimana pun bentuk dan besarannya.
Kesalahpahaman 2: Riba hanya dilarang untuk pinjaman yang sifatnya konsumtif dan tidak dilarang untuk pinjaman investasi
Terhadap kesalahpahaman ini, Chapra (1995) mengutip penjelasan Abu Zahrah, seorang ahli syariah ternama, menyatakan bahwa saat ayat-ayat mengenai riba diturunkan, posisi Makkah sebagai kota dagang dan mayoritas profesi kaum Quraisy (kaum Rasulullah SAW) sebagai pedagang membuat mereka banyak sering melakukan pinjam-meminjam untuk membiayai kegiatan dagangnya. Ini merupakan bukti bahwa riba atas pinjaman juga berlaku bagi pinjaman untuk tujuan investasi.
          Lebih lanjut, sebagian pihak masih mempertanyakan, mengapa tambahan pengembalian atas pinjaman untuk investasi tidak diperbolehkan sementara ada potensi keuntungan yang bisa didapat oleh si peminjam dari kegiatan investasinya. Dan adalah wajar bagi mereka untuk membagi keuntungan dengan pihak yang meminjamkan. Jawaban untuk argumen ini adalah bahwa potensi peminjam mendapat keuntungan dari investasinya belumlah menjadi suatu kepastian. Masih ada risiko kegagalan investasi disana. Oleh karena itu, jika pihak yang meminjamkan ingin berbagi untung, ia juga harus mau berbagi jika terjadi kerugian (Hameed, 2008).
Kesalahpahaman 3: Bunga bank bukanlah riba karena tidak mengeksploitasi.
Institusi perbankan modern seperti yang bisa kita jumpai dimasa kini tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Meskipun beberapa ulama tidak menganggap bunga bank sebagai riba, namun mayoritas ulama berpandangan bahwa bunga bank tidak terkecualikan dari larangan riba. Hal ini disebabkan hukum riba berlaku umum, tidak hanya untuk individu namun juga untuk institusi seperti bank. Namun, ini bukan berarti institusi perbankan adalah haram dalam pandangan Islam. Jika bunga bank diganti menjadi imbalan yang sesuai dengan syariah Islam, maka hal ini tidak menjadi masalah. Dengan kata lain, praktik perbankan syariah-lah yang dapat menjadi solusi hal ini  (Hoque, 1997 dalam Hameed, 2008).
Gharar
Gharar adalah ketidakjelasan yang bisa menyebabkan suatu akad[1] disalahgunakan atau tidak dapat diteruskan. Akad kontijensi seperti asuransi konvensional dimana konsekuensi akad baru akan dilangsungkan jika suatu hal terjadi di masa depan adalah contoh dari gharar. Bentuk gharar yang lainnya dalah bila obyek akad adalah sesuatu yang tidak ada pada saat akad dilakukan, tidak dapat dispesifikasikan, atau yang definisinya terlalu luas atau terlalu spesifik (Hameed, 2008). Misalnya: akad jual-beli buah mangga di pohon tertentu atau akad ijon.
Maisir
Maisir berasal dari kata yasara atau yusr yang bermakna mudah; atau dari kata yasar yang berarti kekayaan. Secara istilah, maysir dapat diartikan sebagai segala bentuk judi dimana keuntungan materiil diperoleh karena aktivitas yang spekulatif atau untung-untungan, seperti lotre, kuis sms, taruhan maupun bentuk spekulasi lainnya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam QS 5: 90:
 “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, berkurban (untuk berhala) dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.”
Tadlis (Penipuan)
Penipuan terjadi bila salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain dan dapat terjadi dalam empat hal, yakni dalam kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan (Karim, 2003). Contoh penipuan seperti menyembunyikan barang berkualitas buruk diantara barang berkualitas lebih baik, mencurangi timbangan, mengenakan harga terlalu tinggi pada orang yang tidak mengetahui harga pasar. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa “Barang siapa melakukan penipuan maka ia bukan dari golongan kami”. (HR. Ibnu Hibban dan Abu Nu’aim).
Ikhtikar (Penimbunan Barang)
Penimbunan barang oleh pihak-pihak tertentu dapat menyebabkan terjadinya kelangkaan barang tersebut di pasar. Akibatnya, harga barang akan meningkat dan penimbun akan mendapat keuntungan ditengah kesulitan orang lain. Mengenai penimbunan barang ini, Rasulullah SAW  bersabda bahwa:
·      “Tidak menimbun barang kecuali orang yang berdosa”. (HR. Muslim, Turmudzi dan Abu Dawud)
·      Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di neraka pada hari kiamat.” (HR. At-Tabrani)
·      “Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Monopoli
Monopoli bisa menjadikan pihak-pihak tertentu mendapat keuntungan besar karena tidak adanya saingan dalam bisnisnya, pihak-pihak itulah yang menguasai pasar sehingga kuantitas, kualitas dan harga pasokan akan sepenuhnya tergantung pada mereka. Monopoli dilarang karena kepentingan umum harus lebih diutamakan dari kepentingan segelintir orang. Ketentuan syariah hanya membolehkan intervensi harga pada kondisi mendesak dengan pengawasan yang ketat. Misalnya, intervensi oleh pemerintah untuk penetapan harga atas suatu barang yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk menghindari tindakan ambil untung berlebihan, atau pelanggaran hukum oleh pedagang zalim yang membahayakan pasar.
Ba’i an-Najsy (Rekayasa Permintaan)
Merekayasa permintaan adalah kondisi dimana satu pihak berpura-pura menawar dengan harga yang tinggi. Hal ini dilakukan agar calon pembeli tertarik dan membeli barang tersebut dengan harga yang tinggi. Atas hal ini, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu sekalian melakukan penawaran barang tanpa maksud untuk membeli” (HR. Turmidzi).
Risywah (Suap, korupsi)
Islam melarang suap karena dapat menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat. Pihak yang membayar suap pasti mendapat perlakuan istimewa dari yang menerima suap. Biasanya, perlakuan ini pun hanya menguntungkan segelintir pihak saja dan bahkan bisa membawa kerugian bagi lebih banyak pihak. Rasulullah SAW sendiri dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani, Al-Bazar dan Al-Hakim melaknat penyuap, penerima suap dan orang yang menyaksikan penyuapan.
Ta’alluq (Jual-beli bersyarat)
Ta’alluq terjadi apabila ada dua akad saling dikaitkan di mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua (Nurhayati & Wasilah, 2009). Akad salam parallel dan istishna parallel yang insyaAllah akan dibahas pada bab-bab berikutnya harus menghindari hal ini agar kepatuhannya terhadap syariah dapat dijaga.
Talaqqi al-rukban (Mencegat rombongan dagang sebelum masuk pasar)
Talaqqi al-rukban dilakukan dengan cara mencegat pedagang yang tidak mengetahui harga pasar atas barang dagangan yang dibawanya sementara pihak pembeli mengharapkan keuntungan yang berlipat dengan memanfaatkan ketidaktahuan mereka. Cara ini tidak diperbolehkan karena merupakan bentuk penipuan. Namun, jika pencegatan tadi disertai dengan hak pilih untuk membatalkan atau melanjutkan transaksi dari pihak penjual setelah mengetahui harga pasar, maka hal ini diperbolehkan.
Prinsip-Prinsip Keuangan Syariah
Dari penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa Islam mengatur dalam syariah-nya agar transaksi keuangan dilakkan dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1.  Pelarangan terhadap riba, gharar dan maysir
2.  Untung boleh diperoleh jika sebanding dengan risiko yang ditanggungnya
3.  Akad dilakukan secara rela sama rela namun tetap memperhatikan kehalalan atas obyek akad
Kesimpulan
Pada bab ini telah dibahas bahwa Allah SWT dan Rasulullah SAW amat memperhatikan mengenai perolehan, penggunaan, dan pengelolaan harta karena harta bagaikan dua muka mata uang yang adalah suatu yang berpotensi membawa manusia pada kebahagiaan dunia akhirat sekaligus berpotensi menjerumuskan manusia ke jurang kehinaan. Untuk itu, perolehan, penggunaan, dan pengelolaan harta haruslah dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah dan tidak melanggar hal-hal seperti: investasi di bisnis terkait dengan barang dan jasa yang diharamkan Allah SWT, riba, gharar, maisir, penipuan, penimbunan, monopoli, rekayasa permintaan, suap, jual-beli bersyarat, serta talaqqi al-rukban.

No comments:

Post a Comment

RANGKUMAN MATERI TEKNIK PENULISAN KARYA ILMIAH LENGKAP

A.    Konsep Karya Ilmiah Karya ilmiah terbentuk dari kata “karya” dan “ilmiah”. Karya berarti kerja dan hasil kerja dan ilmiah berari ...