1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa dapat diartikan mengukur
atau mengira – ngirakan. Selain itu qiyas juga bisa diartikan menyerupakan.
Ulama ushul fiqh memberikan definisi yang berbeda – beda bergantung pada
pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas dalam istinbath hukum. Dalam hal
ini, mereka terbagi dalam dua golongan
berikut :
·
Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas
merupakan ciptaan manusia yakni pandangan mujtahid.
·
Golongan kedua menyatakan qiyas merupakan
ciptaan syar`i yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan
hujjah illahiyah yang dibuat syar`i sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum.
Sedangkan menurut istilah, qiyas berarti mempersamakan
antara al – far`u (masalah cabangan) dengan al – ashlu ( masalah
asal ) dalam suatu hukum, karena ada titik temu antara keduanya.[1]
2. Rukun Qiyas
Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas
dapat disimpulkan bahwa unsur pokok ( rukun ) qiyas terdiri atas 4 unsur, yaitu
:
1. Al - Ashlu ( masalah pokok ), yaitu suatu perkara yang dijadikan bahan persamaan
dalam hal penetapan hukum. Al –Ashlu juga disebut dengan istilah al –
Maqis `alaih (yang dijadikan ukuran) atau mahmul `alaih (yang
dijadikan tanggungan) atau musyabbah bih (yang dibuat keserupaan)
2. Al – Far`u ( masalah cabangan ), suatu perkara yang dicarikan ketetapan hukum, dengan
cara mempersamakannya dengan al – ashlu. Al – far`u juga disebut dengan
istilah al – maqis (yang diukur) atau al – mahmul (yang dibawa)
atau al – musyabbah (yang diserupakan)
3. Hukum ashl, yaitu hukum syara` yang ditetapkan oleh suatu nash. Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam menetapkan hukum ashal : [2]
·
Hukum ashal itu adalah hukum syara` dan
hukum yang akan ditetapkan kepada cabang itu juga harus berupa hukum syara`
yang berhubungan dengan perbuatan, karena yang menjadi objek kajian ushul fiqh adalah
amal perbuatan. Maka jika terjadi perbedaan seperti hukum yang akan ditetapkan
kepada cabang itu bukan hukum syara` maka qiyas seperti ini tidak sah.
·
Hukum ashal itu dapat ditelusuri `illat
hukumnya.
·
Hukum ashal itu bukan merupakan
kekhususan bagi nabi Muhammad SAW.
4. `Illat, yaitu suatu sifat yang sama – sama dipunyai oleh dua perkara, yang
menetapkan kesamaan hukum antara keduanya. Ada lima syarat yang harus dipenuhi
oleh `illat, antara lain yaitu :[3]
·
`illat itu harus berupa sifat yang nyata dan
bersifat material yang dapat dijangkau oleh panca indra.
·
`illat harus mengandung hikmah yang mendorong
pelaksanaan suatu hukum dan dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.
·
`illat itu harus merupakan bentuk sifat yang
terukur, keadaannya jelas dan terbatas sehingga tidak bercampur dengan yang
lainnya.
·
Harus ada hubungan kesesuaian antara hukum dan
sifat yang akan menjadi `illat.
·
`illat harus memiliki daya rentang, artinya `illat
itu bisa diterapkan pada wadah lain (cabang). `illat bukan hanya pada ashal
saja.
Penetepan suatu hukum yang tidak berdasarkan `illat,
tidak bisa disebut dengan qiyas. Seperti penetapan hukum yang berdasarkan pada
nash atau ijma`, karena hukum yang ditetapkan berdasarkan nash atau ijma` ini
wajib diikuti secara mutlak, meskipun tidak diketahui sama sekali `illatnya.[4]
3. Macam – Macam Qiyas
Ulama ushul diantaranya al – Amidi dan asy – Syaukani,
mengemukakan bahwa qiyas terbagi kepada beberapa segi, antara lain :[5]
a. Dilihat dari segi kekuatan `illat yang terdapat pada furu` :
·
Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang `illatnya
mewajibkan adanya hukum. Dan hukum yang disamakan ( cabang ) mempunyai kekuatan
hukum yang lebih utama dari tempat menyamakannya (ashal). Misalnya, berkata
kepada kedua orang tua dengan mengatakan “uh”, “eh”, “buset”, atau kata – kata
lain yang menyakitkan ini hukumnya haram.
Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Isra ayat 23 berikut :
.... فلا تقل لهما أفّ......
Artinya : .... maka sekali – kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah”.....(QS. Al – Isra :23)
Maka mengqiyaskan berkata “uh”, “buset”, dan sebagainya bahkan dengan
memukul itu hukumnya lebih utama. Dengan demikian, berkata “uh” saja tidak
boleh apalagi memukulnya, karena memukul tentu lebih menyakitkan.
·
Qiyas musawi, yaitu qiyas yang `illat nya
mewajibkan adanya hukum yang sama antara hukum yang ada pada ashal dan hukum
yang ada pada furu` (cabang). Contohnya keharaman memakan harta anak yatim
sesuai dengan firman Allah dalam QS. An – Nisa ayat 10 berikut :
إنّ الّذين يأكلون أموال اليتمى ظلما إنّما يأكلون فى
بطونهم نارا وسيصلون سعيرا
Artinya : Sesungguhnya orang – orang yang memakan harta anak yatim secara
aniaya, maka sesungguhnya mereka itu menelan api neraka ke dalam perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api neraka yang menyala – nyala. (QS.
An – Nisa : 10)
·
Qiyas adna, yaitu `illat yang ada pada far`u
(cabang) lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan `illat yang ada pada ashal.
Misalnya sifat memabukkan yang terdapat dalam minuman keras seperti bir itu
lebih rendah dari sifat memabukkan yang terdapat pada minuman keras khamr yang
diharamkan dalam al – Qur`an.
b. Dilihat dari segi kejelasan `illat hukum.
·
Qiyas jaly, yaitu qiyas yang `illat nya
ditegaskan oleh nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal, atau `illat nya
itu tidak ditegaskan oleh nash, tetapi dapat dipastikan bahwa tidak ada
pengaruh dari perbedaan antara ashal dan furu`. Contohnya, dalam kasus
dibolehkannya bagi musafir laki – laki
dan perempuan untuk mengqashar shalat ketika perjalanan, sekalipun diantara
keduanya terdapat perbedaan (kelamin). Tetapi perbedaan ini tidak mempengaruhi
terhadap kebolehan wanita mengqashar sholat. `illat nya adalah sama – sama dalam
perjalanan. Dan mengqiyaskan memukul orang tua kepada larangan berkata “ah”
seperti pada contoh qiyas aulawi sebelumnya.
·
Qiyas khafy, yaitu qiyas yang `illat nya tidak
disebutkan dalam nash. Contohnya mengqiyaskan pembunuhan dengan menggunakan
benda berat kepada pembunuhan dengan menggunakan benda tajam dalam pemberlakuan
hukum qiyas, karena `illat nya sama – sama yaitu pembunuhan yang dilakukan
dengan sengaja.
[1] M. Ridlwan Qoyyum Sa`id, Terjemah & Komentar
Al – Waroqot Usul Fiqh, Kediri : Mitra-Gayatri, hlm.155
[2] Drs. Sapiudin Shidiq,M.A., Ushul Fiqih,
Jakarta : Kencana, 2011, hlm. 72
[3] Drs. Sapiudin Shidiq,M.A., Ushul Fiqih,
Jakarta : Kencana, 2011,hlm. 73
[4] M. Ridlwan Qoyyum Sa`id, Terjemah &
Komentar Al – Waroqot Usul Fiqh, Kediri : Mitra-Gayatri, hlm. 156
[5] Ushul Fiqih, hlm. 77 - 78
No comments:
Post a Comment