A. Pengertian Ilmu Hadits Riwayah
Menurut bahasa riwayah berarti Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Ilmu hadis riwayah, secara bahasa, berarti ilmu hadis yang berupa periwayatan.
Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan ilmu hadis riwayah, namun yang paling terkenal diantara definisi-definisi tersebut adalah definisi Ibnu Al-Akhfani, yaitu ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW, periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya.
Sedangkan ilmu hadits riwayah menurut istilah sebagaimana pendapat Dr. Subhi Asshalih, ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat serta segala segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin.
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Suyuthi, bahwa yang dimaksud Ilmu Hadis Riwayah adalah Ilmu Hadis yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw dan perbuatannya, serta periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya
Ilmu hadits Riwayah ialah ilmu yang membahas perkembangan hadits Dari segi kelakuan para Perawinya, mengenai kekuatan hapalan dan keadilan mereka dan dari segi keadaan sanad. Ilmu hadits riwayah ini berkisar pada bagaimana cara-cara penukilan hadits yang dilakukan oleh para ahli hadits, bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain dan membukukan hadits dalam suatu kitab.
Objek kajian ilmu hadits riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in, yang meliputi
1. Cara periwayatannya
yakni cara penerimaan dan penyampaian hadis seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain
2. Cara pemeliharaan
yakni penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadits.Ilmu hadits riwayah bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri teladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya.Pada masa Nabi Muhammad saw. para sahabat dilarang menulis hadits.
Dengan demikian hadits hanya tersimpan dalam hafalan para sahabat. Periwayatan hadits oleh para sahabat, tabi`in dan tabi`it tabi`in dilakukan dengan dua cara, yaitu periwayatan dengan lafal (riwayah hi al-lafzi); dan periwayatan dengan makna (riwayah hi al-ma`na).
1. Periwayatan dengan lafal (riwayah hi al-lafzi)
Adalah periwayatan yang disampaikan sesuai dengan lafal yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW.. Ciri-ciri hadits yang diriwayatkan secara lafal ini, antara lain dalam bentuk muta’ahad (sanadnya memperkuat hadits lain yang sama sanadnya), misalnya hadits tentang adzan dan syahadat. hadits-hadits tentang doa dan tentang kalimat yang padat dan memiliki pengertian yang mendalam (jawaami` al-kalimah)
2. Periwayatan dengan makna (riwayah hi al-ma`na)
Adalah hadits yang diriwayatkan sesuai dengan makna yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian dari segi redaksinya ada perubahan. Sebagian besar hadits Nabi SAW diriwayatkan dengan cara demikian. Sebab beliau memberi isyarat diperbolehkannya meriwayatkan hadits dengan riwayah hi al-ma`na.
Syarat-syarat yang ditetapkan dalam meriwayatkan hadits secara makna ini cukup ketat, yaitu periwayat haruslah seorang muslim, baligh, adil, dan dhobit (cermat dan kuat). Periwayat hadits tersebut haruslah benar-benar memahami isi dan kandungan hadits yang dimaksud. periwayat hadits haruslah memahami secara luas perbedaan-perbedaan lafal sinonim dalam bahasa Arab. meskipun si pelafal lupa lafal atau redaksi hadits yang disampaikan Nabi Muhammad saw., namun harus ingat maknanya secara tepat.
Adapun tujuan dan urgensi ilmu hadis riwayah ini adalah agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan dan pembukuannya. Dengan demikian, hadis-hadis Nabi SAW dapat terpelihara kemurniannya dan dapat diamalkan hukum-hukum yang terkandung didalamnya.
Fokus pembahasan ilmu hadist riwayah atau penekanan pembahasannya mempelajari periwayatan yang mengakumulasi apa, siapa, dan dari siapa berita itu diriwayatkan tanpa mempersyaratkan shahih atau tidaknya periwayatan. Dengan demikian pembahasan ilmu hadist riwayah adalah matan yang diriwayatkan itu sendiri karena memang perbuatan dan perkataan Rosul itu adanya pada matan. Namun matan ini tidak mungkin muncul dengan sendirinya tanpa ada sanadnya, bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa rukun hadist itu terdiri dari sanad dan matan.
B. Klasifikasi Ilmu Hadis Riwayah
1. Hadits Riwayah Bil-Lafdzi
Hadits Riwayah Bil-Lafdzi adalah meriwayatkan hadits sesuai dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi saw dan mereka hafal benar lafadz dari Nabi tersebut. Atau dengan kata lain meriwayatkan dengan lafadz yang masih asli dari Nabi saw. Riwayat hadits dengan lafadz ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.
2. Hadits Riwayah Bil-Ma’na
Hadits Riwayah Bil-Ma’na adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Atau dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya.
Menukil atau meriwayatkan hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketikan hadits-hadits belum terkodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.
Adapun contoh hadits ma’nawi adalah sebagai berikut
“Ada seorang wanita datang menghadap Nabi saw, yang bermaksud menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat Al-Qur’an. Maka Nabi saw berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat Al-Qur’an.”
Dalam satu riwayat disebutkan: “Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an”. Dalam riwayat lain disebutkan: “Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an”. Dan dalam riwayat lain disebutkan: “Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an”. (Al-Hadits).
C. Pengertian Ilmu Hadits Dirayah
Menurut bahasa, Dirayah berarti pengetahuan. Ilmu Hadits Dirayah juga sering disebut-sebut sebagai pengetahuan tentang ilmu hadits atau pengantar ilmu hadits. Ilmu hadits dirayah adalah ilmu pengetahuan tentang rawi dan yang diriwayahkan atau sanad dan matannya baik juga berkaitan dengan pengetahuan tentang syarat-syarat periwayahan, macam-macamnya atau hukum-hukumnya.
Ulama lain berpendapat, ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang dapat mengetahui keadaan sanad dan matan. Menurut imam Assyuthi, Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, macam-macam periwayatan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Obyek atau sasaran Ilmu Hadits Dirayah adalah sanad dan matan hadits, sehubungan dengan keshahihan, hasan, dan dha'ifnya. Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut naqd as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstern. Pokok bahasan naqd as-sanadadalah sebagai berikut:
1. Ittishal as-sanad (persambungan sanad) .
2. Tsiqat as-sanad, yakni sifat ‘adl (adil) , dhabit (cermat dan kuat), tsiqah (terpercaya) yang harus dimiliki seoarang periwayat.
3. Syadz, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad.
4. ‘Illat, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang kelihatannya baik atau sempurna.
Sedangkan pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke dhaifan-nya. Hal tersebut dapat dilihat dari kesejalanannya dengan makna dan tujuan yang terkandung didalam Al-Qur’an :
1. Dari kejanggalan redaksi (Rakakat al-Faz).
2. Dari cacat atau kejanggalan dari maknanya (Fasad al-Ma’na).
3. Dari kata-kata asing (Gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
Tujuan dan urgensi Ilmu hadits Dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan hadits-hadits yang Maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan) dan yang Mardud(yang ditolak).
Dari Kedua Ilmu Tersebut Banyak bermunculan cabang-cabang ilmu mengenai keduanya. Berikut diantara ilmu-ilmu yang bermunculan dari berbagai ragam topik ilmu dirayah
1. Ilmu Jarah Wa Al-Ta’dil
Ilmu ini membahas para rawi, sekiranya masalah yang membuat mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafad-lafad tertentu. Ini adalah buah ilmu tersebut dan merupakan bagian terbesarnya.
2. Ilmu Tokoh-Tokoh Hadits
Dengan ilmu ini dapat diketahui apakah para rawi layak menjadi perawi atau tidak. Orang yang pertama dibidang ini adalah al-bukhari.
3. Ilmu Mukhtalaf Al-Hadits
Ilmu ini membahas hadits-hadits yang secara lahiriyah bertentangan, namun ada kemungkinan dapat diterima dengan syarat. Jelasnya, umpamanya ada dua hadits yang yang makna lahirnya bertentangan, kemudian dapat diambil jalan tengah, atau salah satunya ada yang di utamakan. Misalnya sabda rasulullah SAW, “tiada penyakit menular ” dan sabdanya dalam hadits lain berbunyi, “Larilah dari penyakit kusta sebagaimana kamu lari singa”. Kedua hadits tersebut sama-sama shahih. Lalu diterapkanlah jalan tengah bahwa sesungguhnya penyakit tersebut tidak menular dengan sendirinya. Akan tetapi Allah SWT menjadikan pergaulan orang yang sakit dengan yang sehat sebagai sebab penularan penyakit.
4. Ilmu Gharib Al-Hadits
Ilmu ini membahas tentang kesamaran makna lafad hadits. Karena telah berbaur dengan bahasa arab pasar. Ulama yang terdahulu menyusun kitab tentang ilmu ini adalah abu hasan al-nadru ibn syamil al-mazini, wafat pada tahun 203 H.
5. ilmu Nasikh Wa Al-Mansukh Al-Hadits
ilmu nasikh wa al-mansukh al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang bertentangan yang hukumnya tidak dapat dikompromikan antara yang satu dengan yang lain.yang datang dahulu disebut mansukh (hadits yang dihapus) dan yang datang kemudian disebut nasikh (hadits yang menghapus).
D. Kitab-Kitab Hadits Riwayah Dan Tingkatan-Tingkatannya
1. Kitab Jami’
Menurut etimologinya, al-Jami’ artinya “yang menghimpun” sehingga dapat dipahami bahwa kitab al-Jami’ adalah kitab yang menghimpun banyak hal. Karena itulah, menurut istilah ulama hadis, pengertian kitab al-Jami’ ada dua macam, yaitu:
a. Dilihat dari segi pokok kandungan hadis yang dihimpunnya, pengertian kitab al-Jami’ adalah kitab hadis yang disusun dan dibukukan oleh pengarangnya terhadap semua pembahasan agama. Diantaranya masalah iman, thaharah, ibadah, mu’amalah, pernikahan, sirah, riwayat hidup, tafsir, adab, penyucian jiwa, fitnah dan lain sebagainya. Inilah yang membedakan antara kitab al-jami’ dan kitab al-Musannaf.Karena hanya disusun berdasarkan permasalahan tertentu dan umumnya adalah mengenai persoalan fikih, sedangkan al-Jami’ lebih umum.
b. Dilihat dari segi sumber rujukan hadis-hadis yang dihimpunnya, pengertian kitab al-Jami’ adalah kitab yang menghimpun hadis-hadis yang berasal dari kitab-kitab hadis yang telah ada.
Sebagai contoh kitab al-Jami’ adalah kitab Sahih al-Bukhari (194-256 H), kitab tersebut ia beri nama “al-Jami’ al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min umuri Rasulillahi Sallallahu ‘alaihi wa sallama wa sunanihi wa ayyamihi. kitab tersebut dinamakan al-Jami’ karena di dalamnya mencakup masalah yang beraneka ragam, termasuk persoalan hukum, politik, dan sebagainya.
2. Kitab Shahih
Kitab hadist shahih ialah kitab yang berisi hadist- hadist shahih saja. Seperti kitab hadistyang terkenal yaitu shahih Al Bukhary dan Shahih Muslim. Shahih Al Bukhary adalah kitab yang mula- mula yang membukukan hadist- hadist shahih. Kebanyakan ulama hadist sepakat menetapkan bahwa shahih Bukhary itu adalah seshahih- shahih kitab sesudah Al- Qur’an.
3. Kitab Sunan
Yang dimaksud dengan kitab Sunan adalah kitab yang ditulis dengan mengikuti urutan bab fiqh, seperti Iman, Thaharah, salat, zakat, dan seterusnya, dan kebanyakan berisi hadits marfu’, sedikit dan jarang sekali memuat khabar mauquf.
a. Sunan Abu Dawud
Penulisnya adalah Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syiddad bin Amar bin Azdi as Sijistani atau lebih dikenal dengan Abu Dawud as-Sijistani rahimahullahu, seorang Imam dan tokoh ahli hadits dari Sijistan, Bashrah. Beliau juga memiliki banyak karya diantaranya adalah al-Marasil, kitab al-Qodar, an-nasikh wal Mansukh, Fadha’ilul ’Amal, Kitab az-Zuhd, Dalailun Nubuwah, Ibtda’ul Wahyi danAkhbarul Khowarij.
Al-Imam Abu Dawud didalam menulis kitab ini tidak hanya memuat hadits shahih saja, namun beliau juga memasukkan hadits hasan dan dhaif yang tidak dibuang oleh ulama hadits. Namun, ribuan hadits yang shahih dalam Sunan Abu Dawud dinilai keabsahannya sebagai kitab hadits ketiga setelah Shahih Bukhari dan Muslim yang dijadikan mashdar oleh kaum muslimin dan kitab Sunan yang paling diutamakan diantara kitab sunan lainnya.
Jumlah hadits dalam Sunan Abu Dawud adalah sebanyak 4.800 hadits, sebagian ulama menghitungnya sebanyak 5.274 hadits. Perbedaan ini dikarenakan sebagian orang menghitung hadits yang diulang sebagai satu hadits dan sebagian lagi menghitungnya sebagai dua hadits. Abu Dawud membagi Sunannya dalam beberapa kitab dan tiap kitab dibagi menjadi beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah diantaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi dalam bab-bab. Sedangkan jumlah babnya ada 1.871 bab.
b. Sunan an-Nasa’i
Penulisnya adalah Abu Abdurrahman Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Ali bin Sinan al-Khurasani. Beliau adalah ulama hadits terkemuka dimasanya, seorang yang sangat teliti dan memiliki persyaratan yang ketat didalam menerima hadits. Beliau memiliki beberapa karya dinataranya as-Sunanul Kubra, as-Sunanus Shughra (juga dikatakan al-Mujtaba), al-Khashaish, Fadhailus Shahabah dan al-Manasik.
Imam Nasa’i sangat cermat didalam menyusun Sunanus Shughra ini, yang beliau tulis setelah menyusun Sunanul Kubra. Beliau berupaya hanya menghimpun yang shahih saja didalam kitab Sunan-nya ini.
Sunan an-Nasa’i ini menghimpun sejumlah 51 kitab dan haditsnya berjumlah 5774 hadits. Adapun mengenai syarah an-Nasa’i, sesungguhnya masih sangat sedikit sekali walaupun kitab ini sudah berumur hampir 600 tahun.
c. Sunan at-Tirmidzi
Penulisnya adalah al-Imam Abu Isa Muhammad bin Musa bin ad-Dhahhak as-Sulami at-Turmudzi dari Tirmidz, Iran Utara. Beliau adalah seorang imam ahli hadits yang kuat hafalannya, amanah dan teliti. Beliau memiliki beberapa karangan diantaranya adalah Kitabul Jami’ (lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzi), al-’Illat, at-Tarikh, asy-Syamail an-Nabawiyah, az-Zuhd dan al-Asma’ wal Kuna.
d. Sunan Ibnu Majah
Penulisnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qazwini dari desa Qazwin, Iran. Beliau adalah muhaddits ulung, mufassir dan seorang alim. Beliau memiliki beberapa karya diantaranya adalah Kitabus Sunan, Tafsir danTarikh Ibnu Majah.
Beliau menyusun kitabnya dengan sistematika fikih, yang tersusun atas 32 kitab dan 1500 bab dan jumlah haditsnya sekitar 4.000 hadits. Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi menghitung ada sebanyak 4241 hadits di dalamnya. Sunan Ibnu Majah ini berisikan hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’.
4. Kitab Al- Mushannaf
Pengertian Musannaf adalah sebuah kitab hadis yang disusun berdasarkan bab-bab permasalahan tertentu. Misalnya saja bab-bab fikih yang mencakup hadis-hadis marfu’,mauquf, dan maqtu’, atau didalamnya terdapat hadis Nabi SAW, perkataan sahabat, fatwa-fatwa tabi’in, dan terkadang fatwa tabi’ut tabi’in. Diantara kitab-kitab Musannaf tersebut adalah;
Al-Musannaf karya Imam Zaid bin Ali al Washithi Abu Khalid (w. 72 H.). Zaid menyusun hadis Nabi berdasarkan persoalan fikih dan hukum. Kitabnya sering dinakaman dengan musnad karena semua riwayat yang disebutkan semuanya disandarkan pada Imam Zaid, sering pula dinamakan al-Majmu’ karena kitab tersebut mengumpulkan hadis, perkataan dan beberapa fatwa. Hanya saja perlu diketahui bahwa semua hadis yang terdapat di dalamnya semuanya bersumber dari jalur Zaid dari bapaknya dari kakeknya dari Ali bin Abi Thalib.
Al-Musannaf karya Abdurrazzaq bin Hammam bin Nafi’ al Humairi al Shan’ani (126-211 H). Sesuai dengan namanya, kitab ini tersusun berdasarkan bab-bab fikih sehingga ia diawali dengan pembahasan thaharah dan seterusnya, di mana jumlahnya terdiri atas 136 bab. Di dalamnya juga terdapat hadis shahih dan dhaif serta hadis yang memiliki kecacatan.
Al-Musannaf karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi. Kitab ini termasuk kitab Syarh al-Atsar, karena di dalamnya dicantumkan banyak hadis dan atsar shahabat. Hanya saja Ibnu Abi Syaibah tidak terlalu selektif dalam menghimpun hadis-hadis dan atsar-atsar shahabat. Hampir semua hadis dan atsar shahabat dimasukkan ke dalamnya, baik yang berstatus shahih, hasan, maupun dhaif. Akan tetapi, tentu saja ia tidak memasukkan hadis-hadis dan atsar-atsar shahabat yang jelas-jelas palsu. Kitab ini pun disusun berdasarkan bab-bab fikih karena memang Ibnu Abi Syaibah hidup di sebuah masa ketika fikih sedang mengalami kejayaan. Pada masa tersebut, banyak mahdzab fikih bermunculan. Karenanya, di dalam kitabnya, ia sering mengutip pendapat atau pernyataan para ulama mengenai persoalan tertentu, tanpa melalui seleksi yang ketat. Sehingga di dalamnya ditemukan ada hadis dan atsar yang berkualitas munqati’, mu’dal, ma’lul dan mursal.
5. Kitab Musnad
Menurut etimologi, musnad berarti “sesuatu yang disandarkan pada sumbernya” Sehingga di sini dipahami bahwa kitab musnad merupakan kumpulan hadis yang semuanya tersusun dengan sebuah sandaran tertentu. Sedangkan menurut terminologinya, Kitab Musnad adalah sebuah kitab hadis yang disusun berdasarkan nama perawi pertama.
Metodologi urutan nama perawi pertama tersebut berbeda-beda sesuai dengan keinginan penyusun setiap kitab musnad, ada yang berdasarkan menurut tertib kabilah misalnya dengan mendahulukan Bani Hasyim kemudian kabilah-kabilah yang lebih dekat dengan Nabi dari aspek nasab dan keturunannya. Ada yang berdasarkan nama sahabat menurut urutan waktu dalam memeluk Islam, termasuk di antaranya adalah Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H), di mana ia memulai menyusun kitabnya yang diawali dengan sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, kemudian ahlu bait dan seterusnya. Adapula yang menyusun kitab musnad berdasarkan urutan huruf alfabet setiap nama sahabat, termasuk di dalamnya kitab musnad yang dikarang oleh Baqi bin Makhlad al Qurthubi (w. 276 H). Adapula yang menyusun kitab musnad berdasarkan daerah tempat tinggal sahabat, termasuk di dalamnya adalah Musnad al-Syamiyyin karya Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abu al-Qasim al-Thabrani. Adapula yang hanya membatasi pada seoprang sahabat saja, termasuk di antaranya adalah Musnad ‘Aisyah karya Ibnu Abi Daud, Musnad Umar bin Khattab karya Ibn al-Najjad.
Musnad-musnad yang terdapat dalam kitab musnad tersebut tidak hanya berisi kumpulan hadis shahih saja, tetapi mencakup semua hadis shahih, hasan, dan dhaif, dan tidak berurutan berdasarkan bab-bab fikih, karena urutan tersebut harus menggabungkan musnad setiap sahabat tanpa melihat obyek pembahasan riwayatnya.
Diantara keistimewaan yang dimiliki oleh kitab musnad adalah kitab tersebut hanya mencakup hadis-hadis yang berasal dari nabi, artinya tidak terdapat didalamnya perkataan sahabat atau tabi’in apalagi fatwa tabi’ut tabi’in kecuali sedikit saja. Kedua, didalam kitab musnad sudah tidak ada ditemukan tambahan-tambahan dari penulisnya kecuali sedikit saja.
6. Kitab Mustadrak
Kitab Hadis yang mengumpulkan Hadis-hadis yang tidak disebutkan oleh seseorang pengarang sebelumnya secara sengaja atau tidak. Contohnya kitab Mustadarak al-Hakim setebal 4 jilid di mana Hadis-hadis tersebut dikumpul menepati syarat-syarat yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim.
Kitab ini tidak boleh dibaca begitu saja, tetapi mesti bersama dengan takhrijnya oleh al-Zahabi. Antara contoh kitab-kitab mustadrak yang lain adalah seperti Mustadrak Hafiz Ahmad al-Maliki. Tujuan penyusunan kitab Mustadarak ialah: Supaya kita tidak menganggap Hadis sahih hanyalah apa yang terkandung di dalam Sahih al-Bukhari dan Muslim sahaja.
7. Kitab Mustakhraj
Mengumpulkan Hadis-hadis yang sama dalam satu kitab tetapi sanadnya berlainan di mana sanadnya bertemu dengan syeikh kitab asalnya (gurunya) seperti Hadis tentang niat.Contoh kitab Mustakhraj ialah Mustakhraj Abu ‘Awanah `Ala Sahih Muslim.
Ada juga yang hanya membawa Hadis-hadis tersebut tetapi tidak membawa sanadnya. Beliau cuma menyebut kitab-kitab yang menyebut tentang perawinya. Tujuannya adalah: Supaya Hadis-hadis tersebut akan lebih meyakinkan dengan banyaknya para perawi yang meriwayatkan Hadis tersebut. Contoh lain juga ialah Mustakhraj al Sahihain:
a. Mustakhraj atas kitab Sahih Muslim oleh Abu Ja`far bin Hamdan, Abu Bakar al-Jauzaqi, Abi Imran Musa bin Abbas, Abi Said bin Utsman dan sebagainya.
b. Mustkhraj atas Bukhari saja seperti karangan al-Ismaili, Abu Abdillah dan lain-lain.
Ada juga Mustakhraj atas al-Tirmizi oleh Abi Ali al-Tusi, Mustakhraj atas Abu Daud,Kitab al-Tauhid karangan Ibn Khuzaimah. Bagaimanapun mereka tidak beriltizam tentang kesahihannya. Dan ada yang mentakrifkan Mustakhraj yang mana sanadnya bertemu dengan tabi`in tetapi ada iktilaf mengenainya.
Kitab mewarisi banyak sekali kitab hadits. Itulah warisan peninggalan islam yang agung yang akan tetap di pelihara ileh para ulama' dan cendekiawan Muslim. Jumlah hadis yang sangat banyak itu dihimpun dalam berbagai kitab, ditulis pada kurun waktu yang berlainan, sehingga tidak mungkin melihat sumber yang sama. Oleh karena itu para Ulama' membagi kitab-kitab hadis dalam beberapa tingkatan yaitu shahih, hasan, dan dha'if.
Thabaqat pertama terbatas hanya pada Shahih al-Bukhari dan Muslim, serta Muwatha' Malik ibnu Anas. Disana diberikan klasifikasi hadis yang Muwatir, yang shahih ahad dan yang hasan.
Thabaqat kedua terdiri dari jami' Imam at-Tirmidzi, sunan Abu daud, Musnadnya Imam Ahmad bin Hanbal, dan Mujtaba Imam Nasa;i. tingkatan tersebut tentu dibawah Shahih Bukhari dan Muslim, serta Muwatha'. Tetapi para penulisnya menolaknya sekalipun tidak terlepas dari kelemahan, kitab-kitab tersebut menelurkan serta menjabarkan banyak ilmu dan hukum. Secara khusus para ahli hadis sama berorientasi pada kedua thabaqat tersebut. Dari keduanya merekamerumuskan dasar-dasar akidah dan syari'at.
Thabaqat ketiga terdiri dari beberapa kitab yang mengandung banyak kelemahan, yaitu berupa keganjilan, kemungkaran dan keragu-raguan. Disamping keadaan para tokohnya yang tertutup. Lagi pula tidak ada upaya mengatasi semua kelemahan tadi, seperti misalnya Musnad ibnu Aby Syaibat, Musnad At-thayali, Musnad Abdu ibnu Humaid serta kitab-kitab Al-baihaqi lainnya. Thabaqat ketiga ini belumdapat diorientasikan serta dijabarkan dari segi ilmu dan hokum.
Thabaqat keempat terdiri dari karangan-karangan yang ditulis tidak dengan sungguh-sungguh, pada abad-abad terakhir. Yaitu dari sumber cerita dari mulut ke mulut, dari orang-orang yang senang menasehati, kaum sufi dan para sejarawan yang tidak adil, suka membuat bid'ah dan menurut nafsu. Di dalamnya termasuk tulisan-tulisan Ibnu Mardawih, ibnu Syahin dan Ubay Asy-Syaikh. Tentunya thabaqat keempat ini tidak akan dijadikan sebagai pedoman oleh seseorang yang memahami hadis Nabi, karena merupakan sumber nafsu dan bid'ah.
No comments:
Post a Comment