Friday, 4 November 2016

Makalah Ahlussunnah Wa Aljamaah : Doktrin Aswaja


DAFTAR ISI

COVER………………………………………………………………………………..............1
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..3
BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG…………………………………………………………………………4
INDIKATOR MATERI………………………………………………….................................4
BAB II PEMBAHASAN
A.    SIFAT ALLAH………………………………………………………………………..5
B.     AL-QUR’AN KALAM ALLAH……………………………………………………..13
C.     TEORI KASAB (TENTANG PERBUATAN MANUSIA)…………………………14
D.    AL-TAJSIM (ANTROPOMORFISME)……………………………………………..15
E.     MELIHAT ALLAH DI AKHIRAT………………………………………………….16
F.      KEADILAN ALLAH………………………………………………………………..17
BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN……………………………………………………………………....20
B.     SARAN………………………………………………………………………………20
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..………21






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Pembuatan makalah ini dilatar belakangi untuk memenuhi tugas mata kuliah aswaja. Selain itu juga kami harapkan makalah ini bisa mempermudah pembaca dalam mencari materi-materi yang berkaitan dengan Allah swt baik masalah sifat-sifat-Nya, Alquran, teori tentang perbuatan manusia, al-tajsim, maupun keadilan Allah terhadap makhluk-Nya. Sebelumnya mohon maaf karena kami hanya mengutip dari 1 buku dan beberapa sumber dari internat. Minimnya buku mengakibatkan pembuatan makalah ini hanya mereferensikan tiga buku yaitu A. Asep Abu Zain, ilmu tauhid konsepsi ahlussunnah waljamaah, Ahmad ad Dardiry, Syarh ad Dardiry ‘ala al khoridah al Bahiyyah, Muhammad ad Dasuqiy,Hasyiyah ad Dasuqiy ‘ala umma al Barohin, Akan tetapi meskipun minim buku insyaallah makalah ini dapat diterima bagi pembaca.
B.     Indikator materi
1.      Masalah sifat Allah
2.      Alquran kalam Allah
3.      Teori kasab (tentang perbuatan manusia)
4.      Al-Tajsim/antropomorfisme
5.      Melihat Allah di akhirat
6.      Keadilan Allah









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Aqidah Ilahiyyah
Aqidah Ilahiyyah[1] adalah suatu keyakinan yang berhubungan dengan dzat Allah swt. Adapun sifat-sifat yang berhubungan dengan Allah terbagi tiga bagian:
1.      Sifat-sifat yang wajib (mesti ada)
2.      Sifat-sifat yang mustahil (mesti tidak ada)
3.      Sifat yang jaiz (boleh ada, boleh tidak)
v  Sifat-sifat wajib dan mustahil bagi Allah
         Sifat-sifat yang wajib bagi Allah swt. Sebenarnya banyak sekali, tidak terhitung dan tiada batasnya. Karena sifat kesempurnaan Allah swt tiada habisnya. Dengan demikian kita tidak diwajibkan mengetahui satu persatu sifat-sifat Allah swt yang tidak didasarkan atas dalil yang khusus. Kewajiban bagi kita adalah harus berkeyakinan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna (kamalat) yang tiada batasnya. Mustahil mempunyai sifat-sifat yang dipandang kurang sempurna (naqoish). Adapun sifat-sifat Allah swt yang didasarkan atas dalil yang khusus, maka kita berkewajiban mengetahuinya satu persatu beserta dalil-dalilnya, walaupun hanya berupa dalil global (ijmal)[2].
         Berkenaan dengan sifat-sifat wajib bagi Allah yang mempunyai dalil-dalil tertentu yang wajib diketahui oleh kita adalah dua puluh sifat. Dari dua puluh sifat tertentu, sebagian ada yang menggunakan dalil naqli (kutipan), yaitu sifat sama, bashor, kalam, kaunuhu sami’an, kaunuhu bashiron, kaunuhu mutakalliman, dan selain tersebut diatas menggunakan dalil aqli[3]. Kegunaan dalil tersebut adalah untuk memperkuat keyakinan tentang sifat-sifat yang berhubungan dengan dzat Allah swt.
1.      WUJUD
Allah wajib bersifat Wujud, artinya Allah mesti ada. Mustahil Allah bersifat ‘Adam, yakni mustahil Allah tidak ada1. Menurut kitab Terjemah Jawaahirul Kalimiyyah, soal bagaimana cara meyakini wujud (keberadaan) Allah? Jawab hendaknya meyakini bahwa Allah itu ada, dan keberadaan-Nya dzat-Nya itu ada dengan sendirinya tanpa memerlukan wasilah atau perantara. Meyakini keberadaan-Nya itu wajib adanya, tidak mungkin dia pernah tiada.
         Dalil wujudnya Allah adalah dengan dalil ‘aqli, dan diperkuat dengan dalil naqli, yaitu:
a.       ‘Aqli
Adanya semesta alam yang kita lihat sudah cukup dijadikan sebagai alasan adanya Allah, sebab tidak masuk akal seandainya ada sesuatu yang dibuat tanpa ada yang membuatnya.
b.      Naqli
Firman Allah:
الله الّذي خَلَقَ السّموَات والاَرض وَمَابَينَهَما في ستّة ايّام (السجدة : 4)
Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dalam waktu enam hari. (QS. As Sajdah 32:4)
2.      QIDAM
Allah wajib bersifat qidam, artinya tidak berpermulaan ada-Nya. Maka wajib Allah qodim (yang tidak berpermulaan ada-Nya). Mustahil Allah bersifat Huduts, yakni mustahil Allah berpermulaan ada-Nya. Maka mustahil Allah hadits (yang berpermulaan ada-Nya)1. Menurut kitab Terjemah Jawahirul Kalamiyyah, soal bagaimana cara meyakini dahulu (qidam) nya Allah? Jawab hendaknya kita meyakini bahwasannya Allah itu Maha Dahulu ada-Nya, yakni Allah itu ada sebelum adanya sesuatu selainnya, dan bahwasannya dia tidak terikat waktu dan keberadaan-Nya tanpa awal.
         Dalil wajib qidam Allah adalah dalil ‘aqli dan dapat diperkuat dengan dalil naqli, yaitu:

a.       ‘Aqli
Seandainya Allah tidak qodim, mesti Allah hadits, sebab tidak ada penengah antara qodim dan hadits. Apabila Allah hadits, maka mesti membutuhkan muhdits (yang membuat).
b.      Naqli
Firman Allah:
هُوَالْاَوَّلُ وَالاخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالبَاطِنُ (الحديد 3)
Dialah yang awal dan yang akhir yang Zhohir dan yang Bathin (QS. Al Hadid 57:3)
3.      BAQO’
Allah bersifat baqo’, artinya kekal (abadi) selama-lamaya. Mustahil Allah bersifat fana’, yakni mustahil Allah lenyap (binasa) dengan kata lain mustahil adanya Allah diakhiri dengan tiada1. Menurut kitab Terjemah Jawahirul Kalamiyyah, soal bagaimana cara meyakini kekekalan (baqo’) Allah? Jawab hendaklah meyakini bahwasanya Allah itu dzat yang abadi dan kekekalan-Nya tersebut tanpa batas akhir. Kemudian hendaklah meyakini bahwasanya Dia tidak pernah berubah sama sekali Dia tidak pernah bersifat tiada pada waktu tertentu (kekekalan-Nya tidak terikat ruang dan waktu).
         Dalil wajib baqo’ Allah adalah dengan dalil ‘aqli, dan dapat diperkuat dengan dalil naqli, yaitu:
a.       ‘Aqli
Seandainnya Allah tidak baqo’, yakni wenang Allah tiada, maka tidak akan bersifat qidam. Sedangkan qidam tidak bisa dihilangkan dari Allah berdasarkan dalil yang telah lewat dalam sifat qidam.
b.      Naqli
Firman Allah:
كُلَّ شَيْئٍ هَالِكٌ الاَّ وَجْهَهُ (القصص 88)
Tiap sesuatu akan binasa (lenyap), kecuali dzat-Nya. (QS. Al Qoshos 28:88)
4.      MUKHOLAFAH LIL HAWADITS
Allah wajiib bersifat mukholafah lil hawadits, artinya tidak menyamai sekalian makhluk, baik manusia, jin, malaikat, dsb. Menurut kitab Terjemah Jawaahirul Kalamiyyah, soal bagaimana cara meyakini bahwa Allah itu bersifat mukholafatu lil hawadits (berbeda dengan segala makluk)? Jawab hendalah kita meyakini bahwasannya Allah tidak menyerupai sesuatupun, baik dzat-Nya, sifat-Nya, maupun af’al-Nya. Mustahil bagi Allah bersifat mumatsalah lil hawaadits, yakni mustahil Allah serupa dengan makhluk.
         Dalil Allah wajib mukholafah lil hawaadits adalah
a.       ‘Aqli
Apabila diperkirakan Allah menyamai sekalian makhluk-Nya, niscaya Allah adalah baru (hadits), sedangkan Allah baru adalah mustahil.
b.      Naqli
Firman Allah:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٍ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (الشورى 11)
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang maha mendengar lagi maha melihat. (QS. Asy- Syuro 42:11)

5.      QIYAMUHU BINAFSIHI
Allah wajib bersifat qiyamuhu binafsihi, artinya tidak membutuhkan kepada yang lain. Pengertian qiyamuhu binafsihi mengandung dua pengertian, yaitu yang pertama Allah tidak membutuhkan Dzat, yang kedua Allah tidak membutuhkan sang pencipta. Mustahil Allah bersifat Ihtiyaj, yaitu mustahil Allah bergantung atau berniat kepada orang lain. Pengertian mustahil Ihtiyaj ada dua, yang pertama Allah mustahil membutuhkan Dzat, yang kedua Allah mustahil membutuhkan sang pencipta1. Menurut kitab Terjemah Jawaahirul Kalamiyyah, soal bagaimana cara meyakini kemandirian Allah (qiyamuhu binafsihi)? Jawab hendaklah kita meyakini bahwasanya Allah tidak membutuhkan sesuatu apapun, Dia tidak butuh tempat dan tidak membutuhkan makhluk sama sekali. Dia maha kaya dan tidak membutuhkan apapun,bahkan segala sesuatu lah yang membutuhkan Allah swt.
Adapun dalil bahwa Allah qiyamuhu binafsihi adalah:
a.       ‘Aqli
Seandainya Allah membutuhkan dzat, niscaya Allah adalah sifat, sebab hanya sifatlah yang selalu membutuhkan dzat, sedangkan dzat selamanya tidak membutuhkan dzat lain untuk berdirinya. Seandainya Allah membutuhkan sang pencipta, niscaya Allah baru (hadits), sebab yang membutuhkan pencipta hanyalah yang baru sedangkan dzat qodim tidak membutuhkannya.
b.      Naqli
Firman Allah:
اِنَّ الله لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِيْنَ (العنكبوت 6)
Sesungguhnya Allah benar-benar maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Al ankabut 29:6)
6.      WAHDANIYAT
Pengertian wahdaniyat Allah swt yakni tunggal, tiada sekutu bagi-Nya, baik dalam dzat, sifat-sifat, atau af’al-Nya. Mustahil Allah bersifat Ta’addud yakni mustahil Allah berbilang banyak, baik pada dzat, sifat-sifat, atau af’al-Nya1. Menurut kitab Terjemah Jawaahirul kalamiyyah, soal bagaimana cara meyakini bahwa Allah itu bersifat wahdaniyat? Jawab hendaklah kita meyakini bahwasanya Allah itu satu dan tidak memiliki teman atau sekutu. Tidak ada yang menyamai maupun menyerupai-Nya. Tiada lawan yang sebanding maupun pengganti-Nya.
        

Dalil wahdaniyat Allah adalah:
a.       ‘Aqli
Dalil akal berkenaan dengan sifat wahdaniyat Allah adalah terbuktinya alam semesta. Sebab seandainya Allah bersekutu, niscaya tidak akan terbukti sesuatupun dari alam semesta ini.
b.      Naqli
Firman Allah:
لَوْكَانُ فِيْهِمَا الِهَةٌ الَّاالله لَفَسَدَتَا (الابياء 22)
Seandainya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, niscaya langit dan bumi itu rusak. (QS. Al anbiya 21:22)
7.      QUDROT
Artinya kuasa, berkemampuan. Maka Allah mampu membuat atau meniadakan makhluk dengan sifat qudrot-Nya. Mustahil Allah bersifat ‘ajzun, yakni mustahil Allah tidak kuasa1.
Menurut kitab Terjemah Jawaahirul Kalamiyyah, soal bagaimana cara meyakini ke maha kuasaan Allah? Jawab hendaklah kita meyakini bahwa Allah itu memiliki sifat maha kuasa dan bahwasanya Dia maha kuasa atas segala sesuatu.
         Dalil Allah disifati dengan qudrot adalah:
a.       ‘Aqli
Dalilnya adalah adanya alam semesta ini. Proses penyusunannya, jika Allah tidak berkemampuan niscaya Allah lemah (‘ajzun), dan apabila Allah lemah maka tidak akan mampu menciptkan makhluk barang sedikitpun.
b.      Naqli
Firman Allah:
اِنَّ الله عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ (البقرة 20)
Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. (QS. Al baqoroh 2:20)
8.      IRODRAT
Artinya berkehendak, dengan kata lain dalam melakukan sesuatu tidak terlepas dari kehendak-Nya. Mustahil Allah memiliki sifat karohah, yakni mustahil Allah terpaksa. Fungsi sifat irodrat adalah menentukan takhsish sesuatu yang mungkin1. Menurut kitab Terjemah Jawaahirul Kalamiyyah, soal bagaimana cara meyakini bahwa Allah irodah? Jawab hendaklah kita meyakini bahwa Allah memiliki sifat irodah dan Dialah segala tujuan,tidak ada sesuatupun yang dapat terjadi tanpa kehendak-Nya. Maka apa saja yang Dia kehendaki makan akan terjadi dan apapun yang tiada dikehendaki-Nya, maka tidak mungkin terjadi.
Dalil irodrat Allah adalah:
a.       ‘Aqli
Seandainya Allah tidak bersifat berkehendak niscaya bersifat karohah, dan Allah bersifat terpaksa adalah mustahil karena akan disifati qudrot, akan tetapi tidak disifatinya Allah dengan qudrot adalah mustahil, sebab akan berakibat lemahnya Allah.
b.      Naqli
Firman Allah:
اِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيْدُ (هود 107)
Sesungguhnya tuhanmu maha pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. (QS Hud 50:107(.
9.      ILMU
Artinya mengetahui. Mustahil Allah bersifat jahl, yakni mustahil Allah tidak mengetahui1 .Menurut kitab Terjemah Jawaahirul Kalamiyyah, soal bagaimana cara meyakini bahwa Allah itu bersifat illm? Jawab hendaklah kita meyakini bahwa Allah memiliki sifat maha berpengetahuan dan Dia maha mengetahui segala sesuatu. Mengetahui segala hal, baik yang tampak maupun tidak. Dia mengetahui pasir, titik hujan maupun daun pepohonan. Dia menegtahui hal rahasia maupun yang jelas. Tidak ada yang bisa bersembunyi dari-Nya. Hendaklah kita meyakini bahwasanya pengetahuan Allah itu tidak membutuhkan usaha meraihnya, namun penegtahuan Allah akan segala sesuatu itu telah ada sejak zaman azali sebebelum sesuatu itu ada.
         Dalil Allah bersifat ilmu adalah:
a.       ‘Aqli
Seandainya Allah tidak berilmu niscaya tidak akan berkehendak, sedangkan Allah tidak berkehendak adalah hal mustahil, karena tidak disifati qudrot.
b.      Naqli
Firman Allah:
وَهُوَ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْمٌ (الحديد 3/ البقرة 29)
Dan Dia maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al hadid 57:3/ Al baqoroh 2:29)
10.  HAYAT
Artinya hidup. Mustahil Allah bersifat Maut, yakni mustahil Allah tidak hidup1.Menurut kitab Terjemah Jawaahirul Kalamiyyah, soal bagaimana cara meyakini kehidupan Allah? Jawab hendaklah kita meyakini bahwasanya Allah swt maha hidup dan bahwa kehidupan Allah tidak seperti hidup kita. Karena sesungguhnya kehidupan kita membutuhkan perantara seperti mengalirnya darah dan napas, sedangkan kehidupan Allah tanpa memerlukan apapun. Kehidupan Allah itu bersifat qodim, baqo’, dan kehidupannya tiada pernah hilang maupun berubah sama sekali.
         Dalil hayatnya Allah adalah:
a.       ‘Aqli
Seandainya Allah tidak hidup maka tidak akan disifati qudrot, akan tetapi hal itu adalah mustahil, sebab akan berakibat lemahnya Allah, sedangkan lemahnya Allah adalah mustahil.
b.      Naqli
Firman Allah:
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَىِّ الَّذِى لَايَمُوْتُ (الفرقان 58)
Dan bertaqwalah kepada Allah yang hidup yang tidak mati. (QS.Al furqon 25:58)
11.  SAMA’
Artinya mendengar. Mustahil Allah bersifat shomam, yakni mustahil Allah tuli1. Menurut kitab Terjemah Jawaahirul Kalamiyyah, soal bagaimana cara meyakini bahhwa Allah itu maha pendengar? Jawab hendaklah kita menyakini bahwa Allah bersifat sama’ dan sesungguhnya Allah mendengar segala sesuatu baik Nampak maupun tersembunyi. Namun pendengaran Allah berbeda dengan pendengaran kita, karena pendengaran kita memerlukan perantara berupa telinga, sedangkan pendengaran Allah tanpa alat bantu perantara.
Dalilnya menggunakan dalil kutipan (naql):
وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (الشورى 11)
Dan Dialah yang maha mendengar lagi maha melihat. (QS. Asy syuro’ 42:11)


12.  BASHOR
Artinya melihat. Mustahil Allah bersifat ‘Ama, yakni mustahil Allah buta. Allah melihat semut hitam dimalam yang gelap gulita, karena penglihatan-Nya tidak seperti penglihatan makhluk (hawadits) yang selalu bersifat kekurangan serta penangkapannya menunggu isyarat dan sebab-sebab biasa (asbab ‘adiyah).
        Dalilnya menggunakan dalil naqli:
وَالله بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ (الانفال 82)
Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al anfal 82:10)
13.  KALAM
Artinya berfirman. Mustahil Allah bersifat bakam, yakni mustahil Allah bersifat bisu.
Dalilnya menggunakan dalil naqli:
وَكَلَّمَ الله مُوْسَى تَكْلِيْمًا (النساء 164)
Dan Allah berfirman kepada Musa dengan langsung.(QS. An nisa:164)
14.  KAUNUHU QODIRON
Artinya tetap selalu dalam keadaan yang kuasa atau mampu. Mustahil Allah bersifat kaunuhu ‘ajizan, yakni mustahil Allah dalam keadaan yang tidak kuasa atau tidak mampu. Dalil yang digunakan sama dengan dalil sifat qudrot.
15.  KAUNUHU MURIDAN
Artinya tetap selalu dalam keadan yang berkehendak. Mustahil Allah bersifat kaunuhu karihan, yakni mustahil Allah dalam keadaan yang terpaksa. Dalilnya sama dengan dalil sifat irodrat.
16.  KAUNUHU ‘ALIMAN
Allah wajib bersifat kaunuhu ‘aliman, artinya tetap selalu dalam keadaan yang mengetahui. Mustahil Allah bersifat kaunuhu jahilan, yakni mustahil Allah dalam keadaan yang tidak mengetahui. Dalilnya sama dengan dalil sifat ilmu.
17.  KAUNUHU HAYYAN
Allah wajib bersifat kaunuhu hayyan, artinya tetap selalu dalam keadaan hidup. Mustahil Allah bersifat kaunuhu mayyitan, yakni mustahil Allah dalam keadaan mati. Dalilnya sama dengan dalil sifat hayat.
18.  KAUNUHU SAMI’AN
Allah wajib bersifat kaunuhu sami’an, artinya tetap selalu dalam keadaan mendengar. Mustahil Allah bersifat kaunuhu ashomma, yakni mustahil Allah dalam keadaan tuli. Dalilnya sama dengan dalil sifat sama’.
19.  KAUNUHU BASHIRON
Allah wajib bersifat kaunuhu bashiron, artinya tetap selalu dalam keadaan melihat. Mustahil Allah bersifat kaunuhu a’ma, yakni mustahi Allah dalam keadaan buta. Dalilnya sama dengan dalil sifat bashor.



20.  KAUNUHU MUTAKALLIMAN
Allah wajib bersifat kaunuhu mutakalliman, artinnya tetap selalu dalam keadaan yang berfirman. Mustahil Allah kaunuhu abkama, yakni mustahil Allah dalam keadaan bisu. Dalilnya sama dengan dalil sifat kalam.
v  Sifat Jaiz di Allah swt.
Allah mempunyai sifat jaiz (wenang) bagi-Nya, yaitu wenang bagi Allah berbuat atau tak berbuat sesuatu perkara yang mungkin1.
Dalil sifat jaiz bagi Allah swt:
a. ‘Aqli
Seandainya Allah berkewajiban mengerjakan sesuatu dari perkara yang mungkin, niscaya perkara yang mungkin berbalik menjadi perkara yang wajib. Seandainya Allah akan tercegah mengerjakan sesuatu yang mungkin  maka perkara yang mungkin akan berbalik menjadi perkara mustahil.
b.Naqli
ربكم اعلم بكم ان يشأير حمكم اوان يشأ يعذبكم (الاسراء 54)
   Tuhanmu lebih mengetahui tentang kammu. Dia akan member rahmat     kepadamu, jika Dia menghendaki dan Dia akan mengadzabmu, jika Dia menghendaki. (QS. Al isro’ 17:54)
B.     Alquran Kalam Allah
Kalam Allah[4]adalah sifat haqiqi yang ditetapkan selayaknya bagi Allah swt, terdiri dari huruf dan suara, dengan cara yang dikehendaki-Nya. Al-Qur’an yang agung adalah termasuk Kalam Allah swt karena itu Al-Quran bukan makhluk. Kita wajib meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk ciptaan-Nya. Pembenaran kita akan hal ini merupakan bagian dari iman kepada Allah yang merupakan rukun iman yang pertama.
Dalil mengenai Al-Qur’an adalah Kalam Allah adalah
وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللّهِ
Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah,”(QS. At-Taubah: 6)
            Al-Qur’an sebagai tali Allah yang kokoh, disampaikan melalui perantara rasul untuk menyampaikan apa yang dikehendaki Allah terhadap makhluk-Nya, dan sebagai jalan hidup yang lurus. Al-Qur’an  diturunkan oleh Allah melalui malaikat yang terpercaya kepada nabi, yaitu Muhammad saw dengan menggunakan bahasa Arab yang dapat dipahami. Malaikat Jibril ‘alaihis salam hanya membawa Al-Quran turun dari sisi Allah Ta’ala, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ
Katakanlah: Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu. (An-Nahl: 102)
            Al-Qur’an kembali kepada Allah, yaitu sifat Al-Kalam berupa Al-Qur’an kembalinya kepada Allah Ta’ala. Dialah al-mutakallim bil Quran (yang berfirman dengan Al-Quran) tidak ada seorangpun selain Allah yang disifati demikian.
            Walaupun manusia menulis dan mencetak Al-Qur’an dalam bentuk mushaf, atau menghafalnya, atau membacanya dengan lisan-lisan mereka, maka hal tersebut tidak mengeluarkan hakikat Al-Qur’an sebagai Kalam Allah. Hal ini dapat dipahami karena suatu perkataan pada hakikatnya dinisbatkan kepada siapa yang mengucapkannya pertama kali, bukan dinisbatkan kepada siapa yang menyampaikan selanjutnya.
            Kembalinya Al-Qur’an kepada Allah juga memiliki makna bahwa Al-Qur’an akan diangkat kepada Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan di beberapa atsar bahwa Al-Qur’an akan hilang dari sebagian mushaf pada akhir zaman. Hal yang demikian terjadi ketika manusia sudah berpaling dari Al-Qur’an dan tidak mengamalkannya, maka Allah mengangkatnya dari mereka sebagai bentuk pemuliaan terhadap Al-Qur’an.
C.     Teori Kasab (perbuatan manusia)
            Menurut Al-Asy’ari dalam kitabnya Al-Ibanah An Ushul Ad Diyanah membedakan antara khaliq dan kasab. Menurutnya Allah adalah pencipta kasab, sedangkan menusia sendiri mengupayakan (muktasib)[5]. Menurut Irfat abd al-hamid dalam bukunya dirosat  fi Al Firoq wa Al-Aqoid al-islamiyyah pada prinsipnya, aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan tuhan, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untukmewujudkannya.
            Dengan demikian kasab mempunyai pengertian penyertakan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Menurut Harun Nasution “teori al-kasab dapat dijelaskan sebagai berikut, “segala sesuatu yang terjadi dengan perantara daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan”.
Teori Asy’ariyah menyatakan:
الكسب هو تعلق قدرة العبد وارادتهبالفعل المقدور المحدث من الله على الحقيقة
“Kasab adalah tergantungnya qodrat dan irodah manusia kepada perbuatan yang terjadi itu ditakdirkan oleh Tuhan pada hakekatnya”.
            Sementara itu imam Al-Baqilani tidak sepaham Al-Asy’ariyah mengenai paham perbuatan manusia. Menurut Al-Baqilani manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Wujud perbuatan tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya ini bergantung pada sebab lain, dan wujud sebab ini bergantung pula pada sebab lain lagi dan demikianlah seterusnya sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu Allah. Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Allah dan daya manusia. Al-Kasab ini memiliki arti keaktifan, karena itu manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
D.    Al-Tajsim/ Antropomorfisme
            Ungkapan jism pada asalnya dalam bahasa arab berarti jasad. Ada yang menggunakan istilah jism dalam pengertian sy-syai (sesuatu), dalam pengertian al-maujud (entitas), dalam pengertian al-qaaim bin nafs (entitas yang konkret), dalam pengertian al-musyaar ilaih (sesuatu yang bisa ditunjuk). Beragamnya definisi-definisi ini membuat beragam pula sikap para ulama terhadap al-tajsim. Nah sikap para ulama terhadap al-tajsim ini bermacam-macam. Ada yang tidak segan menyebut Allah swt sebagai jism, ada yang tidak segan menyebut Allah swt bukan sebagai jism,[6]
            Tidak ada satupun makhluk yang menyerupai segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah, baik sifat-sifat, dzat, maupun af’al-Nya. Ahlus sunnah dari ulama salaf setelah menafikan isytirak antara Allah dan makhluk-Nya di dalam makna, hakikatnya disertai menafikan asal kaifiyyah dari Allah swt. Sedangkan kaum wahabi dengan terang-terangan mengakui bahwa mereka tidak menafikan tasybih secara keseluruhan kepada Allah dengan makhluk-Nya. Ibnu Faris seorng ulama masyhur pakar bahasa arab berpendapat bahwa jisim itu terdiri dari huruf jim, sin dan mim. Menunjukkan atas terkumpulnya sesuatu. Maka jisim artinya adalah sebuah sosok yang dapat diindra[7].


Ayat-ayat yang termasuk al-tajsim1:
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اشْتَوَى
Yaitu yang maha pengasih, yang bersemayam diatas arsy.(QS. Tho ha :5)
يَدُ اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ
Tangan Allah diatas tangan-tangan mereka. (QS. Al-fath :10)
وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِى
Dan agar engkau diasuh dibawah pengawasan-Ku. (QS. Tho ha :10)
وَالسَّموَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِيْنِهِ
Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.(QS. Az-zumar :67)
كُلُّ شَيئٍ هَالِكَ الاَّ وَجْهَهُ
Segala keputusan menjadi wewenang-Nya. (QS. Al-qashash :88)
E.     Melihat Allah di Akhirat
            Ahlus Sunnah mengimani bahwa orang-orang beriman dapat melihat Allah diakhirat nanti. Sedangkan Mu’tazillah dan yang sepaham dengannya mengingkari hal tersebut[8]. Kaum mukminin mengimani akan melihat Allah dengan mata kepala sendiri di akhirat, termasuk salah satu wujud iman kepada Allah, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Mereka akan melihatnya secara jelas, bagaikan melihat matahari yang bersih, sedikitpun tiada terliputi awan. Juga bagaikan melihat bulan pada malam purnama, tanpa berdesak-desakan.
            Demikian SyaikhulIslam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskannya dalam Al Aqidah Al Wasithiyah. Dan ini merupakan kesepakatan Salafush Shalih Radhiyallahu ‘anhum. Imam Ibnu Abi Al Izz Al Hanafi, pensyarah kitab Aqidah Thahawiyah, menegaskan bahwa jelasnya kaum mukminin melihat Rabb-nya pada hari akhirat nanti, telah dinyatakan oleh para sahabat, tabi’in, serta para imam kaum muslimin yang telah dikenal keimaman mereka dalam agama. Begitu pula para ahli hadits dan semua kelompok Ahli Kalam yang mengaku sebagai Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
ü  Dalil-dalil ru’yatullah dalam Alquran.
Allah berfirman:
“Wajah–wajah orang-orang yang beriman pada hari itu berseri–seri kepada Rabbnya mereka melihat. (QS. Al-Qiyamah: 22-23)
Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki dan pada Kami adatambahannya.” (QS. Qaaf :35)
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (QS. Yunus: 26)
ü  Dalil-dalil ru’yatullah dalam Hadis Rasulullah saw.
Dari Jarir ra beliau berkata: Kami sedang duduk-duduk bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas beliau memandang bulan purnama dan bersabda : “Sesungguhnya kalian akanmelihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini, tidak terhalangi dalam melihatnya.” (HR. Bukhari no. 7434, Shahih Bukhari juz IV, Kitab Tauhid, Bab Qauluhu wujuuhu yaumaidzin naadhirah ilaa rabbihaa naazhirah)
Dari Shuhaib bin Sinan ra, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allah membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) AllahTa’ala”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca QS. Yunus ayat 26. (HR. Muslim dalam Shahih Muslim no. 181)
F.      Keadilan Allah
            Karena keadilan-Nya, Allah swt disebut dalam Alquran sebagai Al-adl (tuhan yang maha adil). Ibnu ‘Athiyah berkata tentang pengertian adil: adil adalah mengerjakan segala sesuatu yang di fardhukan baik berupa akidah, syariat dan berjalan bersama manusia dalam menunaikan amanah-amanah, meninggalkan kedzaliman, berlaku adil, memberikan hak. Al Baidlowi mengatakan : bahwa adil adalah mengambl jalan tengah dalam beberapa perkara akidah seperti tauhid yang pertengahan antara Ta’thil (kafir/ atheisme ) dan Menyekutukan Allah, dan pendapat tentang kasab (Usaha manusia) yang merupakan pertengahan antara murni jabariyah(tidak ada ikhtiyar bagi manusia) dan faham qadariyah (manusia memiliki kemampuan untuk menentukan kehendaknya). Dan perbuatan (yang pertengahan) seperti beribadah dengan melaksanakan yang wajib yang pertengahan antara karena pengangguran dan karena ancaman. Dan dalam akhlak seperti sifat dermawan yang merupakan pertengahan antara kikir dan boros[9].
             Keadilan Allah sangat luas, kadang kita sendiri sebagai manusia tidak menyadari akan hal itu. Ada suatu hal yang dipandang buruk manusia, akan tetapi tersimpan keadilan. Begitu sebaliknya yang dipandang baik manusia, belum tentu tersimpan keadilan.
Alquran menyebutkan bentuk-bentuk keadilan Allah swt:
Adil karena memberikan kepada makhluk atas hak-hak mereka, sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nahl:
انَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberikan pada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia ember pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-nahl :90)
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-baqoroh :216)
Atas dasar keadilan itulah Allah swt memperlakukan segenap makhluk-Nya. Setiap orang laki-laki dan perempuan mendapat perlakuan yang sama disisi Allah swt. (QS. Ali-imron :124)
Secara umum pendapat Asy’Ariyah mengenai keadilan Tuhan yaitu[10] : 
1.      Manusia bertanggung jawab atas perbuatannya, sehingga Tuhan tidak bertanggung jawab atas perbuatan manusia.
2.      Tuhan menghendaki yang baik tidak menghendaki yang buruk.
3.      Dengan akalnya manusia dapat mengetahui yang baik dan yang buruk.
4.      Dengan akalnya manusia dapat mengetahui kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan.
5.      Adil adalah baik. Baik adalah sesuatu yang menurut akal dipandang baik.
6.      Tuhan tidak mencampuri urusan manusia.
7.      Tuhan tidak zalim, tetapi adil.
8.      Tuhan berbuat untuk kepentingan manusia.
9.      Tuhan adil jika Ia memberikan hak yang sebenarnya kepada manusia.
            Al-Jabbar seorang pemuka Mu’tazilah mengatakan bahwa keadilan Tuhan erat hubungannya dengan hak. Keadilan diartikan memberikan hak seseorang. Kata-kata Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya baik, ia tidak dapat berbuat yang buruk dan ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak dapat bersifat zalim dalam ember hukuman, tidak dapat meletakan beban yang tak dapat dipikul oleh manusia dan mesti ember upah kepada orang yang patuh kepada-Nya dan memberikan hukuman kepada orang yang menentang perintah-Nya. Kemudian keadilan Tuhan juga mengandung arti berbuat menurut semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia7.





















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari makalah yang telah kami buat. kami dapat menyimpulkan jika Allah swt itu memiliki tiga sifat, yaitu sifat wajib bagi Allah swt, sifat mustahil bagi Allah swt, dan sifat jaiz bagi Allah swt. Allah swt menurunkan Alquran kepada Rasulullah melalui malaikat jibril yang akhirnya Alquran tersebut merupakan kalam Allah swt. Allah swt sendiri berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya yang bisa di tajsim dengan indra. Sedangkan Allah swt tidak bisa ditajsim. Berbanggalah anda menjadi seorang mukmin yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Sebab kelak meninggal bisa melihat Allah di akhirat itupun tergantung pada amal perbuatan yang dilakukan semasa hidup.
B.     Saran
Kritik dan saran yang membangun kami perlukan untuk memperbaiki makalah ini. Sebab makalah ini mungkin kurang dari apa yang diharapkan. Akan tetapi perbaikan dari kesalahan-kesalahan tak lupa kami lakukan.
















DAFTAR PUSTAKA
       A. Asep Abu Zain, ilmu tauhid konsepsi ahlussunnah waljamaah.
       Ahmad ad Dardiry, Syarh ad Dardiry ‘ala al khoridah al Bahiyyah.
      Muhammad ad Dasuqiy,Hasyiyah ad Dasuqiy ‘ala umma al Barohin,




No comments:

Post a Comment

RANGKUMAN MATERI TEKNIK PENULISAN KARYA ILMIAH LENGKAP

A.    Konsep Karya Ilmiah Karya ilmiah terbentuk dari kata “karya” dan “ilmiah”. Karya berarti kerja dan hasil kerja dan ilmiah berari ...