DAFTAR ISI
COVER………………………………………………………………………………..............1
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………………2
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………………..3
BAB
I PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG…………………………………………………………………………4
INDIKATOR
MATERI………………………………………………….................................4
BAB
II PEMBAHASAN
A. SIFAT
ALLAH………………………………………………………………………..5
B. AL-QUR’AN KALAM
ALLAH……………………………………………………..13
C. TEORI KASAB (TENTANG
PERBUATAN MANUSIA)…………………………14
D. AL-TAJSIM
(ANTROPOMORFISME)……………………………………………..15
E. MELIHAT ALLAH DI
AKHIRAT………………………………………………….16
F. KEADILAN
ALLAH………………………………………………………………..17
BAB
III PENUTUP
A. KESIMPULAN……………………………………………………………………....20
B. SARAN………………………………………………………………………………20
DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………………………..………21
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Pembuatan makalah ini dilatar belakangi untuk memenuhi tugas mata
kuliah aswaja. Selain itu juga kami harapkan makalah ini bisa mempermudah
pembaca dalam mencari materi-materi yang berkaitan dengan Allah swt baik
masalah sifat-sifat-Nya, Alquran, teori tentang perbuatan manusia, al-tajsim,
maupun keadilan Allah terhadap makhluk-Nya. Sebelumnya mohon maaf karena kami
hanya mengutip dari 1 buku dan beberapa sumber dari internat. Minimnya buku
mengakibatkan pembuatan makalah ini hanya mereferensikan tiga buku yaitu A.
Asep Abu Zain, ilmu tauhid konsepsi ahlussunnah waljamaah, Ahmad ad Dardiry,
Syarh ad Dardiry ‘ala al khoridah al Bahiyyah, Muhammad ad Dasuqiy,Hasyiyah ad
Dasuqiy ‘ala umma al Barohin, Akan tetapi meskipun minim buku insyaallah
makalah ini dapat diterima bagi pembaca.
B.
Indikator
materi
1.
Masalah
sifat Allah
2.
Alquran
kalam Allah
3.
Teori
kasab (tentang perbuatan manusia)
4.
Al-Tajsim/antropomorfisme
5.
Melihat
Allah di akhirat
6.
Keadilan
Allah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aqidah
Ilahiyyah
Aqidah Ilahiyyah[1] adalah suatu keyakinan yang berhubungan dengan dzat Allah swt.
Adapun sifat-sifat yang berhubungan dengan Allah terbagi tiga bagian:
1.
Sifat-sifat
yang wajib (mesti ada)
2.
Sifat-sifat
yang mustahil (mesti tidak ada)
3.
Sifat
yang jaiz (boleh ada, boleh tidak)
v Sifat-sifat wajib dan mustahil bagi Allah
Sifat-sifat yang
wajib bagi Allah swt. Sebenarnya banyak sekali, tidak terhitung dan tiada
batasnya. Karena sifat kesempurnaan Allah swt tiada habisnya. Dengan demikian
kita tidak diwajibkan mengetahui satu persatu sifat-sifat Allah swt yang tidak
didasarkan atas dalil yang khusus. Kewajiban bagi kita adalah harus
berkeyakinan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna (kamalat)
yang tiada batasnya. Mustahil mempunyai sifat-sifat yang dipandang kurang sempurna
(naqoish). Adapun sifat-sifat Allah swt yang didasarkan atas dalil yang
khusus, maka kita berkewajiban mengetahuinya satu persatu beserta
dalil-dalilnya, walaupun hanya berupa dalil global (ijmal)[2].
Berkenaan dengan
sifat-sifat wajib bagi Allah yang mempunyai dalil-dalil tertentu yang wajib
diketahui oleh kita adalah dua puluh sifat. Dari dua puluh sifat tertentu,
sebagian ada yang menggunakan dalil naqli (kutipan), yaitu sifat sama, bashor,
kalam, kaunuhu sami’an, kaunuhu bashiron, kaunuhu mutakalliman, dan selain
tersebut diatas menggunakan dalil aqli[3].
Kegunaan dalil tersebut adalah untuk memperkuat keyakinan tentang sifat-sifat
yang berhubungan dengan dzat Allah swt.
1.
WUJUD
Allah wajib
bersifat Wujud, artinya Allah mesti ada. Mustahil Allah bersifat ‘Adam,
yakni mustahil Allah tidak ada1. Menurut kitab Terjemah
Jawaahirul Kalimiyyah, soal bagaimana cara meyakini wujud (keberadaan)
Allah? Jawab hendaknya meyakini bahwa Allah itu ada, dan keberadaan-Nya
dzat-Nya itu ada dengan sendirinya tanpa memerlukan wasilah atau perantara.
Meyakini keberadaan-Nya itu wajib adanya, tidak mungkin dia pernah tiada.
Dalil wujudnya Allah adalah dengan
dalil ‘aqli, dan diperkuat dengan dalil naqli, yaitu:
a.
‘Aqli
Adanya semesta alam yang kita lihat
sudah cukup dijadikan sebagai alasan adanya Allah, sebab tidak masuk akal
seandainya ada sesuatu yang dibuat tanpa ada yang membuatnya.
b.
Naqli
Firman Allah:
الله
الّذي خَلَقَ السّموَات والاَرض وَمَابَينَهَما في ستّة ايّام (السجدة : 4)
Allah-lah yang
menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dalam waktu enam
hari. (QS. As Sajdah 32:4)
2.
QIDAM
Allah wajib
bersifat qidam, artinya tidak berpermulaan ada-Nya. Maka wajib Allah qodim
(yang tidak berpermulaan ada-Nya). Mustahil Allah bersifat Huduts, yakni
mustahil Allah berpermulaan ada-Nya. Maka mustahil Allah hadits (yang
berpermulaan ada-Nya)1. Menurut kitab Terjemah Jawahirul
Kalamiyyah, soal bagaimana cara meyakini dahulu (qidam) nya Allah?
Jawab hendaknya kita meyakini bahwasannya Allah itu Maha Dahulu ada-Nya, yakni
Allah itu ada sebelum adanya sesuatu selainnya, dan bahwasannya dia tidak
terikat waktu dan keberadaan-Nya tanpa awal.
Dalil wajib qidam Allah adalah
dalil ‘aqli dan dapat diperkuat dengan dalil naqli, yaitu:
a.
‘Aqli
Seandainya
Allah tidak qodim, mesti Allah hadits, sebab tidak ada penengah antara qodim
dan hadits. Apabila Allah hadits, maka mesti membutuhkan muhdits (yang
membuat).
b.
Naqli
Firman Allah:
هُوَالْاَوَّلُ وَالاخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالبَاطِنُ (الحديد 3)
Dialah yang awal dan yang akhir yang
Zhohir dan yang Bathin (QS. Al Hadid 57:3)
3.
BAQO’
Allah bersifat baqo’,
artinya kekal (abadi) selama-lamaya. Mustahil Allah bersifat fana’,
yakni mustahil Allah lenyap (binasa) dengan kata lain mustahil adanya Allah
diakhiri dengan tiada1. Menurut kitab Terjemah Jawahirul
Kalamiyyah, soal bagaimana cara meyakini kekekalan (baqo’) Allah? Jawab
hendaklah meyakini bahwasanya Allah itu dzat yang abadi dan kekekalan-Nya
tersebut tanpa batas akhir. Kemudian hendaklah meyakini bahwasanya Dia tidak
pernah berubah sama sekali Dia tidak pernah bersifat tiada pada waktu tertentu
(kekekalan-Nya tidak terikat ruang dan waktu).
Dalil wajib baqo’ Allah adalah dengan
dalil ‘aqli, dan dapat diperkuat dengan dalil naqli, yaitu:
a.
‘Aqli
Seandainnya Allah tidak baqo’, yakni
wenang Allah tiada, maka tidak akan bersifat qidam. Sedangkan qidam
tidak bisa dihilangkan dari Allah berdasarkan dalil yang telah lewat dalam
sifat qidam.
b.
Naqli
Firman Allah:
كُلَّ
شَيْئٍ هَالِكٌ الاَّ وَجْهَهُ (القصص 88)
Tiap sesuatu akan binasa (lenyap),
kecuali dzat-Nya. (QS. Al Qoshos 28:88)
4.
MUKHOLAFAH
LIL HAWADITS
Allah wajiib
bersifat mukholafah lil hawadits, artinya tidak menyamai sekalian
makhluk, baik manusia, jin, malaikat, dsb. Menurut kitab Terjemah Jawaahirul
Kalamiyyah, soal bagaimana cara meyakini bahwa Allah itu bersifat mukholafatu
lil hawadits (berbeda dengan segala makluk)? Jawab hendalah kita meyakini
bahwasannya Allah tidak menyerupai sesuatupun, baik dzat-Nya, sifat-Nya, maupun
af’al-Nya. Mustahil bagi Allah bersifat mumatsalah lil hawaadits, yakni
mustahil Allah serupa dengan makhluk.
Dalil Allah wajib mukholafah lil
hawaadits adalah
a.
‘Aqli
Apabila
diperkirakan Allah menyamai sekalian makhluk-Nya, niscaya Allah adalah baru
(hadits), sedangkan Allah baru adalah mustahil.
b.
Naqli
Firman Allah:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٍ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (الشورى 11)
Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang maha mendengar lagi maha
melihat. (QS. Asy- Syuro 42:11)
5.
QIYAMUHU
BINAFSIHI
Allah wajib
bersifat qiyamuhu binafsihi, artinya tidak membutuhkan kepada yang lain.
Pengertian qiyamuhu binafsihi mengandung dua pengertian, yaitu yang
pertama Allah tidak membutuhkan Dzat, yang kedua Allah tidak membutuhkan sang
pencipta. Mustahil Allah bersifat Ihtiyaj, yaitu mustahil Allah
bergantung atau berniat kepada orang lain. Pengertian mustahil Ihtiyaj
ada dua, yang pertama Allah mustahil membutuhkan Dzat, yang kedua Allah
mustahil membutuhkan sang pencipta1. Menurut kitab Terjemah
Jawaahirul Kalamiyyah, soal bagaimana cara meyakini kemandirian Allah
(qiyamuhu binafsihi)? Jawab hendaklah kita meyakini bahwasanya Allah tidak
membutuhkan sesuatu apapun, Dia tidak butuh tempat dan tidak membutuhkan
makhluk sama sekali. Dia maha kaya dan tidak membutuhkan apapun,bahkan segala
sesuatu lah yang membutuhkan Allah swt.
Adapun dalil
bahwa Allah qiyamuhu binafsihi adalah:
a.
‘Aqli
Seandainya
Allah membutuhkan dzat, niscaya Allah adalah sifat, sebab hanya sifatlah yang
selalu membutuhkan dzat, sedangkan dzat selamanya tidak membutuhkan dzat lain
untuk berdirinya. Seandainya Allah membutuhkan sang pencipta, niscaya Allah
baru (hadits), sebab yang membutuhkan pencipta hanyalah yang baru
sedangkan dzat qodim tidak membutuhkannya.
b.
Naqli
Firman Allah:
اِنَّ الله لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِيْنَ (العنكبوت 6)
Sesungguhnya
Allah benar-benar maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS.
Al ankabut 29:6)
6.
WAHDANIYAT
Pengertian wahdaniyat
Allah swt yakni tunggal, tiada sekutu bagi-Nya, baik dalam dzat, sifat-sifat,
atau af’al-Nya. Mustahil Allah bersifat Ta’addud yakni mustahil Allah
berbilang banyak, baik pada dzat, sifat-sifat, atau af’al-Nya1.
Menurut kitab Terjemah Jawaahirul kalamiyyah, soal bagaimana cara
meyakini bahwa Allah itu bersifat wahdaniyat? Jawab hendaklah kita meyakini
bahwasanya Allah itu satu dan tidak memiliki teman atau sekutu. Tidak ada yang
menyamai maupun menyerupai-Nya. Tiada lawan yang sebanding maupun
pengganti-Nya.
Dalil wahdaniyat
Allah adalah:
a.
‘Aqli
Dalil akal
berkenaan dengan sifat wahdaniyat Allah adalah terbuktinya alam semesta.
Sebab seandainya Allah bersekutu, niscaya tidak akan terbukti sesuatupun dari
alam semesta ini.
b.
Naqli
Firman Allah:
لَوْكَانُ فِيْهِمَا الِهَةٌ الَّاالله لَفَسَدَتَا (الابياء 22)
Seandainya di
langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, niscaya langit dan bumi itu
rusak. (QS. Al anbiya 21:22)
7.
QUDROT
Artinya kuasa,
berkemampuan. Maka Allah mampu membuat atau meniadakan makhluk dengan sifat qudrot-Nya.
Mustahil Allah bersifat ‘ajzun, yakni mustahil Allah tidak kuasa1.
Menurut kitab Terjemah
Jawaahirul Kalamiyyah, soal bagaimana cara meyakini ke maha kuasaan Allah?
Jawab hendaklah kita meyakini bahwa Allah itu memiliki sifat maha kuasa dan
bahwasanya Dia maha kuasa atas segala sesuatu.
Dalil Allah disifati dengan qudrot
adalah:
a.
‘Aqli
Dalilnya adalah
adanya alam semesta ini. Proses penyusunannya, jika Allah tidak berkemampuan
niscaya Allah lemah (‘ajzun), dan apabila Allah lemah maka tidak akan
mampu menciptkan makhluk barang sedikitpun.
b.
Naqli
Firman Allah:
اِنَّ الله عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ (البقرة 20)
Sesungguhnya
Allah berkuasa atas segala sesuatu. (QS. Al baqoroh 2:20)
8.
IRODRAT
Artinya
berkehendak, dengan kata lain dalam melakukan sesuatu tidak terlepas dari
kehendak-Nya. Mustahil Allah memiliki sifat karohah, yakni mustahil
Allah terpaksa. Fungsi sifat irodrat adalah menentukan takhsish
sesuatu yang mungkin1. Menurut kitab Terjemah Jawaahirul
Kalamiyyah, soal bagaimana cara meyakini bahwa Allah irodah? Jawab
hendaklah kita meyakini bahwa Allah memiliki sifat irodah dan Dialah
segala tujuan,tidak ada sesuatupun yang dapat terjadi tanpa kehendak-Nya. Maka
apa saja yang Dia kehendaki makan akan terjadi dan apapun yang tiada
dikehendaki-Nya, maka tidak mungkin terjadi.
Dalil irodrat
Allah adalah:
a.
‘Aqli
Seandainya
Allah tidak bersifat berkehendak niscaya bersifat karohah, dan Allah
bersifat terpaksa adalah mustahil karena akan disifati qudrot, akan
tetapi tidak disifatinya Allah dengan qudrot adalah mustahil, sebab akan
berakibat lemahnya Allah.
b.
Naqli
Firman Allah:
اِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيْدُ (هود 107)
Sesungguhnya
tuhanmu maha pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. (QS Hud 50:107(.
9.
ILMU
Artinya
mengetahui. Mustahil Allah bersifat jahl, yakni mustahil Allah tidak
mengetahui1 .Menurut kitab Terjemah Jawaahirul Kalamiyyah,
soal bagaimana cara meyakini bahwa Allah itu bersifat illm? Jawab hendaklah
kita meyakini bahwa Allah memiliki sifat maha berpengetahuan dan Dia maha
mengetahui segala sesuatu. Mengetahui segala hal, baik yang tampak maupun
tidak. Dia mengetahui pasir, titik hujan maupun daun pepohonan. Dia menegtahui
hal rahasia maupun yang jelas. Tidak ada yang bisa bersembunyi dari-Nya.
Hendaklah kita meyakini bahwasanya pengetahuan Allah itu tidak membutuhkan
usaha meraihnya, namun penegtahuan Allah akan segala sesuatu itu telah ada
sejak zaman azali sebebelum sesuatu itu ada.
Dalil Allah bersifat ilmu
adalah:
a.
‘Aqli
Seandainya
Allah tidak berilmu niscaya tidak akan berkehendak, sedangkan Allah tidak
berkehendak adalah hal mustahil, karena tidak disifati qudrot.
b.
Naqli
Firman Allah:
وَهُوَ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْمٌ (الحديد 3/ البقرة 29)
Dan Dia maha
mengetahui segala sesuatu. (QS. Al hadid 57:3/ Al baqoroh 2:29)
10.
HAYAT
Artinya hidup.
Mustahil Allah bersifat Maut, yakni mustahil Allah tidak hidup1.Menurut
kitab Terjemah Jawaahirul Kalamiyyah, soal bagaimana cara meyakini
kehidupan Allah? Jawab hendaklah kita meyakini bahwasanya Allah swt maha hidup
dan bahwa kehidupan Allah tidak seperti hidup kita. Karena sesungguhnya
kehidupan kita membutuhkan perantara seperti mengalirnya darah dan napas, sedangkan
kehidupan Allah tanpa memerlukan apapun. Kehidupan Allah itu bersifat qodim,
baqo’, dan kehidupannya tiada pernah hilang maupun berubah sama sekali.
Dalil hayatnya Allah adalah:
a.
‘Aqli
Seandainya
Allah tidak hidup maka tidak akan disifati qudrot, akan tetapi hal itu
adalah mustahil, sebab akan berakibat lemahnya Allah, sedangkan lemahnya Allah
adalah mustahil.
b.
Naqli
Firman Allah:
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَىِّ الَّذِى لَايَمُوْتُ (الفرقان 58)
Dan bertaqwalah
kepada Allah yang hidup yang tidak mati. (QS.Al furqon 25:58)
11.
SAMA’
Artinya
mendengar. Mustahil Allah bersifat shomam, yakni mustahil Allah tuli1.
Menurut kitab Terjemah Jawaahirul Kalamiyyah, soal bagaimana cara
meyakini bahhwa Allah itu maha pendengar? Jawab hendaklah kita menyakini bahwa
Allah bersifat sama’ dan sesungguhnya Allah mendengar segala sesuatu baik
Nampak maupun tersembunyi. Namun pendengaran Allah berbeda dengan pendengaran
kita, karena pendengaran kita memerlukan perantara berupa telinga, sedangkan
pendengaran Allah tanpa alat bantu perantara.
Dalilnya
menggunakan dalil kutipan (naql):
وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (الشورى 11)
Dan Dialah yang
maha mendengar lagi maha melihat. (QS. Asy syuro’ 42:11)
12.
BASHOR
Artinya melihat.
Mustahil Allah bersifat ‘Ama, yakni mustahil Allah buta. Allah melihat
semut hitam dimalam yang gelap gulita, karena penglihatan-Nya tidak seperti
penglihatan makhluk (hawadits) yang selalu bersifat kekurangan serta
penangkapannya menunggu isyarat dan sebab-sebab biasa (asbab ‘adiyah).
Dalilnya menggunakan dalil naqli:
وَالله بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ (الانفال 82)
Dan Allah maha
melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al anfal 82:10)
13.
KALAM
Artinya
berfirman. Mustahil Allah bersifat bakam, yakni mustahil Allah bersifat
bisu.
Dalilnya
menggunakan dalil naqli:
وَكَلَّمَ الله مُوْسَى تَكْلِيْمًا (النساء 164)
Dan Allah
berfirman kepada Musa dengan langsung.(QS. An nisa:164)
14.
KAUNUHU
QODIRON
Artinya tetap
selalu dalam keadaan yang kuasa atau mampu. Mustahil Allah bersifat kaunuhu
‘ajizan, yakni mustahil Allah dalam keadaan yang tidak kuasa atau tidak
mampu. Dalil yang digunakan sama dengan dalil sifat qudrot.
15.
KAUNUHU
MURIDAN
Artinya tetap
selalu dalam keadan yang berkehendak. Mustahil Allah bersifat kaunuhu
karihan, yakni mustahil Allah dalam keadaan yang terpaksa. Dalilnya sama
dengan dalil sifat irodrat.
16.
KAUNUHU
‘ALIMAN
Allah wajib
bersifat kaunuhu ‘aliman, artinya tetap selalu dalam keadaan yang
mengetahui. Mustahil Allah bersifat kaunuhu jahilan, yakni mustahil
Allah dalam keadaan yang tidak mengetahui. Dalilnya sama dengan dalil sifat ilmu.
17.
KAUNUHU
HAYYAN
Allah wajib
bersifat kaunuhu hayyan, artinya tetap selalu dalam keadaan hidup.
Mustahil Allah bersifat kaunuhu mayyitan, yakni mustahil Allah dalam
keadaan mati. Dalilnya sama dengan dalil sifat hayat.
18.
KAUNUHU
SAMI’AN
Allah wajib
bersifat kaunuhu sami’an, artinya tetap selalu dalam keadaan mendengar.
Mustahil Allah bersifat kaunuhu ashomma, yakni mustahil Allah dalam
keadaan tuli. Dalilnya sama dengan dalil sifat sama’.
19.
KAUNUHU
BASHIRON
Allah wajib
bersifat kaunuhu bashiron, artinya tetap selalu dalam keadaan melihat.
Mustahil Allah bersifat kaunuhu a’ma, yakni mustahi Allah dalam keadaan
buta. Dalilnya sama dengan dalil sifat bashor.
20.
KAUNUHU
MUTAKALLIMAN
Allah wajib
bersifat kaunuhu mutakalliman, artinnya tetap selalu dalam keadaan yang
berfirman. Mustahil Allah kaunuhu abkama, yakni mustahil Allah dalam
keadaan bisu. Dalilnya sama dengan dalil sifat kalam.
v Sifat Jaiz di Allah swt.
Allah mempunyai sifat jaiz (wenang) bagi-Nya, yaitu wenang bagi
Allah berbuat atau tak berbuat sesuatu perkara yang mungkin1.
Dalil sifat jaiz bagi Allah swt:
a. ‘Aqli
Seandainya Allah berkewajiban mengerjakan sesuatu dari perkara yang
mungkin, niscaya perkara yang mungkin berbalik menjadi perkara yang wajib.
Seandainya Allah akan tercegah mengerjakan sesuatu yang mungkin maka perkara yang mungkin akan berbalik
menjadi perkara mustahil.
b.Naqli
ربكم اعلم بكم ان يشأير حمكم اوان يشأ يعذبكم (الاسراء 54)
Tuhanmu lebih mengetahui tentang kammu. Dia akan member rahmat kepadamu, jika Dia menghendaki dan Dia
akan mengadzabmu, jika Dia menghendaki. (QS. Al isro’ 17:54)
B.
Alquran
Kalam Allah
Kalam Allah[4]adalah
sifat haqiqi yang ditetapkan selayaknya bagi Allah swt, terdiri dari huruf dan
suara, dengan cara yang dikehendaki-Nya. Al-Qur’an yang agung adalah
termasuk Kalam Allah swt karena itu Al-Quran bukan makhluk. Kita wajib meyakini
bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk ciptaan-Nya.
Pembenaran kita akan hal ini merupakan bagian dari iman kepada Allah yang
merupakan rukun iman yang pertama.
Dalil
mengenai Al-Qur’an adalah Kalam Allah adalah
وَإِنْ أَحَدٌ
مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللّهِ
Dan
jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu,
maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah,”(QS. At-Taubah: 6)
Al-Qur’an sebagai
tali Allah yang kokoh, disampaikan melalui perantara rasul untuk menyampaikan
apa yang dikehendaki Allah terhadap makhluk-Nya, dan sebagai jalan hidup yang
lurus. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah melalui malaikat yang terpercaya
kepada nabi, yaitu Muhammad saw dengan menggunakan bahasa Arab yang dapat
dipahami. Malaikat Jibril ‘alaihis salam hanya membawa
Al-Quran turun dari sisi Allah Ta’ala, sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur’an:
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ
مِن رَّبِّكَ
Katakanlah:
Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu. (An-Nahl: 102)
Al-Qur’an
kembali kepada Allah, yaitu sifat Al-Kalam berupa Al-Qur’an kembalinya kepada
Allah Ta’ala. Dialah al-mutakallim bil Quran (yang
berfirman dengan Al-Quran) tidak ada seorangpun selain Allah yang disifati
demikian.
Walaupun
manusia menulis dan mencetak Al-Qur’an dalam bentuk mushaf, atau menghafalnya,
atau membacanya dengan lisan-lisan mereka, maka hal tersebut tidak mengeluarkan
hakikat Al-Qur’an sebagai Kalam Allah. Hal ini dapat dipahami karena suatu
perkataan pada hakikatnya dinisbatkan kepada siapa yang mengucapkannya pertama
kali, bukan dinisbatkan kepada siapa yang menyampaikan selanjutnya.
Kembalinya
Al-Qur’an kepada Allah juga memiliki makna bahwa Al-Qur’an akan diangkat kepada
Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan di beberapa atsar bahwa
Al-Qur’an akan hilang dari sebagian mushaf pada akhir zaman. Hal yang demikian
terjadi ketika manusia sudah berpaling dari Al-Qur’an dan tidak mengamalkannya,
maka Allah mengangkatnya dari mereka sebagai bentuk pemuliaan terhadap
Al-Qur’an.
C. Teori
Kasab (perbuatan manusia)
Menurut Al-Asy’ari dalam
kitabnya Al-Ibanah An Ushul Ad Diyanah membedakan antara khaliq
dan kasab. Menurutnya Allah adalah pencipta kasab, sedangkan
menusia sendiri mengupayakan (muktasib)[5].
Menurut Irfat abd al-hamid dalam bukunya dirosat fi Al Firoq wa Al-Aqoid al-islamiyyah
pada prinsipnya, aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia
diciptakan tuhan, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek
untukmewujudkannya.
Dengan demikian kasab
mempunyai pengertian penyertakan perbuatan dengan daya manusia yang baru.
Menurut Harun Nasution “teori al-kasab dapat dijelaskan sebagai berikut,
“segala sesuatu yang terjadi dengan perantara daya yang diciptakan, sehingga
menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk
melakukan perbuatan”.
Teori Asy’ariyah
menyatakan:
الكسب
هو تعلق قدرة العبد وارادتهبالفعل المقدور المحدث من الله على الحقيقة
“Kasab adalah tergantungnya qodrat dan irodah manusia kepada
perbuatan yang terjadi itu ditakdirkan oleh Tuhan pada hakekatnya”.
Sementara itu imam Al-Baqilani
tidak sepaham Al-Asy’ariyah mengenai paham perbuatan manusia. Menurut Al-Baqilani
manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Wujud
perbuatan tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya ini bergantung
pada sebab lain, dan wujud sebab ini bergantung pula pada sebab lain lagi dan
demikianlah seterusnya sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu
Allah. Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu
daya Allah dan daya manusia. Al-Kasab ini memiliki arti keaktifan,
karena itu manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
D.
Al-Tajsim/
Antropomorfisme
Ungkapan jism
pada asalnya dalam bahasa arab berarti jasad. Ada yang menggunakan istilah jism
dalam pengertian sy-syai (sesuatu), dalam pengertian al-maujud
(entitas), dalam pengertian al-qaaim bin nafs (entitas yang konkret),
dalam pengertian al-musyaar ilaih (sesuatu yang bisa ditunjuk).
Beragamnya definisi-definisi ini membuat beragam pula sikap para ulama terhadap
al-tajsim. Nah sikap para ulama terhadap al-tajsim ini
bermacam-macam. Ada yang tidak segan menyebut Allah swt sebagai jism,
ada yang tidak segan menyebut Allah swt bukan sebagai jism,[6]
Tidak ada satupun
makhluk yang menyerupai segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah, baik
sifat-sifat, dzat, maupun af’al-Nya. Ahlus sunnah dari ulama salaf setelah
menafikan isytirak antara Allah dan makhluk-Nya di dalam makna,
hakikatnya disertai menafikan asal kaifiyyah dari Allah swt. Sedangkan
kaum wahabi dengan terang-terangan mengakui bahwa mereka tidak menafikan
tasybih secara keseluruhan kepada Allah dengan makhluk-Nya. Ibnu Faris
seorng ulama masyhur pakar bahasa arab berpendapat bahwa jisim itu terdiri dari
huruf jim, sin dan mim. Menunjukkan atas terkumpulnya sesuatu. Maka jisim
artinya adalah sebuah sosok yang dapat diindra[7].
Ayat-ayat yang termasuk al-tajsim1:
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اشْتَوَى
Yaitu yang maha pengasih, yang bersemayam diatas arsy.(QS. Tho ha :5)
يَدُ اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ
Tangan Allah diatas tangan-tangan mereka. (QS. Al-fath :10)
وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِى
Dan agar engkau diasuh dibawah pengawasan-Ku. (QS. Tho ha :10)
وَالسَّموَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِيْنِهِ
Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.(QS. Az-zumar :67)
كُلُّ شَيئٍ هَالِكَ الاَّ وَجْهَهُ
Segala keputusan menjadi wewenang-Nya. (QS. Al-qashash :88)
E.
Melihat
Allah di Akhirat
Ahlus Sunnah mengimani bahwa
orang-orang beriman dapat melihat Allah diakhirat nanti. Sedangkan Mu’tazillah
dan yang sepaham dengannya mengingkari hal tersebut[8].
Kaum mukminin mengimani akan melihat Allah dengan mata kepala sendiri di
akhirat, termasuk salah satu wujud iman kepada Allah, kitab-kitabNya dan
rasul-rasulNya. Mereka akan melihatnya secara jelas, bagaikan melihat matahari
yang bersih, sedikitpun tiada terliputi awan. Juga bagaikan melihat bulan pada
malam purnama, tanpa berdesak-desakan.
Demikian SyaikhulIslam Ibnu
Taimiyah rahimahullah menjelaskannya dalam Al Aqidah Al Wasithiyah.
Dan ini merupakan kesepakatan Salafush Shalih Radhiyallahu ‘anhum. Imam Ibnu
Abi Al Izz Al Hanafi, pensyarah kitab Aqidah Thahawiyah, menegaskan bahwa
jelasnya kaum mukminin melihat Rabb-nya pada hari akhirat nanti, telah
dinyatakan oleh para sahabat, tabi’in, serta para imam kaum muslimin yang telah
dikenal keimaman mereka dalam agama. Begitu pula para ahli hadits dan semua
kelompok Ahli Kalam yang mengaku sebagai Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
ü Dalil-dalil
ru’yatullah dalam Alquran.
Allah
berfirman:
“Wajah–wajah
orang-orang yang beriman pada hari itu berseri–seri kepada Rabbnya mereka
melihat.” (QS.
Al-Qiyamah: 22-23)
“Mereka
di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki dan pada Kami adatambahannya.”
(QS. Qaaf :35)
“Bagi
orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga)
dan tambahannya.” (QS. Yunus: 26)
ü Dalil-dalil
ru’yatullah dalam Hadis Rasulullah saw.
Dari
Jarir ra beliau berkata: Kami sedang duduk-duduk bersama Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, lantas beliau memandang bulan purnama dan bersabda : “Sesungguhnya
kalian akanmelihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini, tidak
terhalangi dalam melihatnya.” (HR. Bukhari no. 7434, Shahih Bukhari juz IV,
Kitab Tauhid, Bab Qauluhu wujuuhu yaumaidzin naadhirah ilaa rabbihaa naazhirah)
Dari Shuhaib bin
Sinan ra, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika
penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala berfirman: “Apakah
kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu
sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab:
Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah
memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka
(pada waktu itu) Allah membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia),
dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih
mereka sukai daripada melihat (wajah) AllahTa’ala”. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca QS. Yunus
ayat 26. (HR. Muslim dalam Shahih Muslim no. 181)
F.
Keadilan Allah
Karena keadilan-Nya, Allah swt disebut
dalam Alquran sebagai Al-adl (tuhan yang maha adil). Ibnu ‘Athiyah berkata tentang
pengertian adil: adil adalah mengerjakan segala sesuatu yang di fardhukan baik
berupa akidah, syariat dan berjalan bersama manusia dalam menunaikan
amanah-amanah, meninggalkan kedzaliman, berlaku adil, memberikan hak. Al Baidlowi
mengatakan : bahwa adil adalah mengambl jalan tengah dalam beberapa perkara
akidah seperti tauhid yang pertengahan antara Ta’thil (kafir/ atheisme )
dan Menyekutukan Allah, dan pendapat tentang kasab (Usaha manusia) yang
merupakan pertengahan antara murni jabariyah(tidak ada ikhtiyar bagi manusia)
dan faham qadariyah (manusia memiliki kemampuan untuk menentukan kehendaknya).
Dan perbuatan (yang pertengahan) seperti beribadah dengan melaksanakan yang
wajib yang pertengahan antara karena pengangguran dan karena ancaman. Dan dalam
akhlak seperti sifat dermawan yang merupakan pertengahan antara kikir dan boros[9].
Keadilan Allah sangat luas, kadang
kita sendiri sebagai manusia tidak menyadari akan hal itu. Ada suatu hal yang
dipandang buruk manusia, akan tetapi tersimpan keadilan. Begitu sebaliknya yang
dipandang baik manusia, belum tentu tersimpan keadilan.
Alquran menyebutkan bentuk-bentuk
keadilan Allah swt:
Adil
karena memberikan kepada makhluk atas hak-hak mereka, sebagaimana firman Allah
dalam surah An-Nahl:
انَّ
اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى
عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
sesungguhnya
Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberikan pada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia ember pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-nahl :90)
Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal
ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-baqoroh :216)
Atas dasar keadilan itulah Allah swt
memperlakukan segenap makhluk-Nya. Setiap orang laki-laki dan perempuan
mendapat perlakuan yang sama disisi Allah swt. (QS. Ali-imron :124)
Secara umum pendapat Asy’Ariyah
mengenai keadilan Tuhan yaitu[10]
:
1.
Manusia bertanggung jawab atas perbuatannya, sehingga Tuhan
tidak bertanggung jawab atas perbuatan manusia.
2.
Tuhan menghendaki yang baik tidak menghendaki yang buruk.
3.
Dengan akalnya manusia dapat mengetahui yang baik dan yang
buruk.
4.
Dengan akalnya manusia dapat mengetahui kewajiban-kewajiban
yang harus dilaksanakan.
5.
Adil adalah baik. Baik adalah sesuatu yang menurut akal
dipandang baik.
6.
Tuhan tidak mencampuri urusan manusia.
7.
Tuhan tidak zalim, tetapi adil.
8.
Tuhan berbuat untuk kepentingan manusia.
9.
Tuhan adil jika Ia memberikan hak yang sebenarnya kepada
manusia.
Al-Jabbar seorang pemuka
Mu’tazilah mengatakan bahwa keadilan Tuhan erat hubungannya dengan hak.
Keadilan diartikan memberikan hak seseorang. Kata-kata Tuhan adil mengandung
arti bahwa segala perbuatan-Nya baik, ia tidak dapat berbuat yang buruk dan ia
tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh karena
itu Tuhan tidak dapat bersifat zalim dalam ember hukuman, tidak dapat meletakan
beban yang tak dapat dipikul oleh manusia dan mesti ember upah kepada orang
yang patuh kepada-Nya dan memberikan hukuman kepada orang yang menentang
perintah-Nya. Kemudian keadilan Tuhan juga mengandung arti berbuat menurut
semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia7.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari makalah yang telah kami buat. kami dapat
menyimpulkan jika Allah swt itu memiliki tiga sifat, yaitu sifat wajib bagi
Allah swt, sifat mustahil bagi Allah swt, dan sifat jaiz bagi Allah swt. Allah
swt menurunkan Alquran kepada Rasulullah melalui malaikat jibril yang akhirnya
Alquran tersebut merupakan kalam Allah swt. Allah swt sendiri berbeda dengan
makhluk ciptaan-Nya yang bisa di tajsim dengan indra. Sedangkan Allah swt tidak
bisa ditajsim. Berbanggalah anda menjadi seorang mukmin yang beriman dan
bertakwa kepada Allah. Sebab kelak meninggal bisa melihat Allah di akhirat
itupun tergantung pada amal perbuatan yang dilakukan semasa hidup.
B.
Saran
Kritik dan saran yang membangun kami perlukan untuk memperbaiki
makalah ini. Sebab makalah ini mungkin kurang dari apa yang diharapkan. Akan
tetapi perbaikan dari kesalahan-kesalahan tak lupa kami lakukan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Asep Abu Zain, ilmu
tauhid konsepsi ahlussunnah waljamaah.
Ahmad ad Dardiry, Syarh
ad Dardiry ‘ala al khoridah al Bahiyyah.
Muhammad ad Dasuqiy,Hasyiyah
ad Dasuqiy ‘ala umma al Barohin,
No comments:
Post a Comment