KATA PENGANTAR
Bismillahir
rahmanir rahim
Dengan penuh keikhlasan hati, puji dan syukur Alhamdulillah kami haturkan kepada Ilahi
Robbi, sang maha pencipta, sumber ilmu pengetahuan, Allah SWT. Berkat keluasan
rahmat dan nikmatnya , sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Filsafat Islam mengenai
Filsafat Imam Suhrawardi al – Maqtul dan
Illuminasionisme, walaupun
dengan keadaan makalah yang menurut kami masih jauh dari kata kesempurnaan.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan ke hadirat junjungan
kita Nabi Muhammad SAW, yang diutus dengan membawa syariat yang mudah nan penuh dengan
rahmat, dan membawa keselamatan kehidupan dunia dan akhirat.
Ungkapan terima kasih saya
sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah Filsafat Islam,
Bp. M.Chabibi, Lc.M.Hum, yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan tugas
makalah ini.
Selanjutnya dalam makalah ini kami akan mengulas tentang filsafat Imam Suhrawardi al – Maqtul, yakni
meliputi riwayat hidupnya, pemikirannya tentang alam, pemikirannya tentang
manusia dan tuhan, pemikirannya tentang jiwa manusia dan ppemikirannya tentang
tasawuf falsafi. Terakhir kalinya,
makalah ini masih jauh dari sempurna, karenanya penulis berharap atas
kritik dan saran konstruktif demi kesempurnaan makalah ini, dengan segala
keterbatasan penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
sendiri pada khususnya serta bagi semua pembaca pada umumnya.
Mojokerto, 21 Mei 2016
Penulis
Kelompok VI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………
i
DAFTAR ISI ...……………………………………………………………………………
ii
BAB I ( PENDAHULUAN ) ……………………………………………………………...
1
A.
Latar
Belakang ……………………………………………………………...
1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………...
1
C.
Tujuan
Penulisan ……………………………………………………………...
2
BAB II ( PEMBAHASAN ) ……………………………………………………………... 3
A.
Riwayat Hidup Imam Suhrawardi al – Maqtul …………………………………..
3
B.
Pemikiran Filsafat Imam Suhrawardi ........ …....……………………….………... 5
C.
Pemikiran Imam Suhrawardi tentang kosmologi / alam .. .……………………... 7
D.
Pemikiran Imam Suhrawardi tentang ketuhanan
......................................... .......... 9
E.
Pemikiran Imam Suhrawardi tentang jiwa manusia ..............................................
10
F.
Ajaran Pokok Isyraqiyyat ......................................................................................
11
BAB III ( KESIMPULAN ) …………...………………………………………………........ 15
DAFTAR PUSTAKA ......………………………………………………………………..... iii
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ketika
filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak
dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi,
Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku
tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu
menyebut mereka “kaum filosof Islam”, ada pula yang menamakan “para
filosof beragama Islam”, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan “para
hikmah Islam” (Falasifatul-Islam, atau Al-falasifatul Islamiyyin
atau Hukama’ul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan Syahrastani,
Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazaq
mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam bahwa
para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama
lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan: “Maka kami berpendapat perlu
menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu
sendiri yaitu Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir
di negeri Islam dan berada di bawah pengayoman negara Islam”.[1]
Usaha untuk mencari
relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya didominasi oleh Ibn ‘Arabî
dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh para filosof
lain dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di antara para
filosof itu adalah Suhrawardî. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyrâqiyat)
yang bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan
tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardî memperkenalkan diri sebagai
penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai hikmat
al-ladûnniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat
al-’âtiqat (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini
adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di
antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani
sampai masa Aristoteles.[2]
B.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana
riwayat hidup Imam Suhrawardi al – Maqtul ?
b.
Bagaimana
pemikirannya tentang filsafat ?
c.
Bagaimana
pemikirannya tentang kosmologi / alam ?
d.
Bagaimana penikirannya
tentang ketuhanan ?
e.
Bagaimana pemikirannya
tentang jiwa manusia ?
f.
Apa saja ajaran
pokok isyraqiyyah / illuminasionisme ?
C.
Tujuan
Penulisan
a.
Mengetahui
riwayat hidup Imam Suhrawardi al – Maqtul.
b.
Mengetahui
pemikirannya tentang filsafat.
c.
Mengetahui
pemikirannya tentang kosmologi / alam.
d.
Mengetahui pemikirannya
tentang ketuhanan..
e.
Mengetahui
pemikirannya tentang jiwa manusia.
f.
Mengetahui apa
saja ajaran pokok isyraqiyyah / illuminasionisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup
Imam Suhrawardi al – Maqtul
Nama lengkapnya adalah Syihabuddin
Yahya Ibn Amirak Abu al – Futuh Suhrawardi. Ia sangat terkenal dalam sejarah
filsafat Islam sebagai guru illuminasi (syekh al – isyraq), suatu
sebutan bagi posisinya yang lazim sebagai pendiri madzhab baru filsafat yang
berbeda dengan madzhab peripatetik. Imam Suhrawardi lahir di kota kecil
Suhraward di Persia Barat Laut pada 549 H/1154 M. Ia menemui kematian tragis
melalui eksekusi di Aleppo pada 587 H/1191 M dan karena itulah, ia disebut
sebagai “guru yang terbunuh” (Asy – Syaikh Al – Maqtul ).[3]
Pendidikannya
di mulai di Maraghah –sebuah kota yang kemudian menjadi terkenal karena
munculnya Nasir al-Din al-Tusi (1201-1274 M) yang membangun observatorium Islam
pertama—di bawah bimbingan Majdud al-Din al-Jilli, dalam bidang fiqh dan
teologi. Selanjutnya, Suhrawardi pergi
ke Isfahan untuk lebih mendalami studinya pada Zahir al - Din Qari dan Fakhr al
- Din al - Mardini (w. 1198 M), di mana orang yang disebut terakhir ini diduga
sebagai guru Suhrawardi yang paling penting. Selain itu, ia juga belajar logika
pada Zahir al-Farsi yang mengajarkan alBashâir al-Nashîriyah, kitab karya `Umar
ibn Sahlan al-Sawi (w. 1183 M), ahli logika terkenal sekaligus salah satu pemikir
illuminasi awal dalam Islam.[4]
Setelah
merasa cukup belajar secara resmi, Syekh al – Isyraq mengembara ke seluruh
Persia. Di kota yang disinggahinya, ia mengunjungi guru tasawuf yang masyhur
untuk mendalami ilmu ma`rifat. Ia memakai waktu luangnya untuk tafakur dan
zuhud, serta memperbanyak ibadah dan `uzlah. Puas bergaul dengan para sufi,
Syekh al – Isyraq melanjutkan pengembaraan ke Anatolia ( Asia Kecil ) dan
Suriah. Pada 1183, seusai menulis kitab al – Hikmah al – Isyraq, ia
melawat ke Aleppo, dan akhirnya ke Damsyik ( Damaskus ). Di Damsyik, ia
diterima menjadi penasihat kerohanian di istana pangeran Malik Az- Zahir Ghazi,
putra Sultan Slahuddin al – Ayyubi, yang lebih dikenal Sultan Saladin, pahlawan
besar dalam peperangan melawan tentara salib.[5]
Suhrawardi
berhasil mengambil hati pangeran, menjadi pembimbingnya dan hidup di istana. Di
situ, dalam pertemuan – pertemuan pribadinya yang berkembang luas, filsuf muda
ini diriwayatkan telah menginformasikan kepada sang pangeran tentang filsafat
barunya. Tak pelak lagi, kenaikan pesat Suhrawardi ke posisi istimewa
bersinggungan dengan intrik dan kecemburuan istana yang lazim dijumpai dalam
Abad Pertengahan. Para hakim, wazir, dan fuqoha` Aleppo yang tidak senang
dengan status guru yang meroket dari tutor terkemuka itu mustahil dapat
membantu meringankan perkaranya. Surat – surat kepada Saladin yang ditulis oleh
hakim terkenal Qadhi al – Fadhil yang menuntut Suhrawardi dieksekusi untuk mengakhiri
hidup pemikir muda itu. Sultan memerintahkan agar gurunya itu dibunuh.[6]
Akhirnya, pemikir yang sangat brilian ini harus mati di tiang gantungan, tahun
1191 M, dalam usia yang relatif muda, 38 tahun, karena kedengkian sebagian
ulama fiqh.[7]
Para
sejarawan Abad Pertengahan menuduh Suhrawardi sebagai “ zindiq” (anti agama ),
“merusak agama” dan “menyesatkan pangeran muda, Al – Malik Az – Zahir”, namun,
validitas tuduhan ini sangat kontroversial. Alasan eksekusi Suhrawardi yang
lebih masuk akal tampaknya didasarkan atas doktrin politik sang filsuf yang
terungkap dalam karya – karyanya tentang filsafat iluminasi. Hal itu terlihat
dari situasi kejadian tahun eksekusi Suhrawardi yang terjadi bersamaan dengan
gejolak konflik politik dan militer. Raja Inggris, Richard Hati Singa, mendarat
di Acre, dan pertempuran – pertempuran besar berlangsung antara Muslim dan
Kristen memperebutkan Tanah Suci. Sultan besar Saladin jelas memberikan
perhatian lebih besar pada urusan ini daripada menghiraukan eksekusi sang
mistikus pengembara yang tidak dianggap sebagai ancaman nyata bagi keamanan
politik.[8]
Meski
perjalanan hidupnya tidak begitu lama, Suhrawardi meninggalkan banyak karya
tulis. Menurut Husein Nasr, Imam Suhrawardi meninggalkan sekitar 50 judul buku
yang ditulisnya dalam bahasa Arab dan Persia, meliputi berbagai bidang dan
ditulis dengan metode yang berbeda. Kelimapuluh judul buku tersebut, secara
umum, dapat dibagi dalam 5 bagian berikut :
1.
Buku empat
besar tentang pengajaran dan doktrin yang ditulis dalam bahasa Arab. Kumpulan
ini membentuk kelompok yang membahas filsafat paripatetik, yang terdiri atas
al-Talwîhât, al-Muqâwimât, dan al-Muthârahât yang ketiganya berisi pembenaran
filsafat Aristoteles. Terakhir Hikmah al-Isyraq (The Theosophy of the Orient of
Light) yang berbicara sekitar konsep illuminasi.
2.
Risalah-risalah
pendek yang masing-masing ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. Materi tulisan
ini sebenarnya juga telah ada dalam kumpulan buku yang empat tetapi ditulis
dalam bahasa yang lebih sederhana.
3.
Kisah-kisah
sufisme yang melukiskan perjalanan ruhani dalam semesta yang mencari keunikan
dan illuminasi. Hampir semua kisah ini ditulis dalam bahasa Persia.
4.
Nukilan-nukilan,
terjemahan dan penjelasan terhadap buku filsafat lama, seperti terjemahan
Risâlah al-Thair karya Ibn Sina (980-1037 M) dalam bahasa Persia, penjelasan
al-Isyârat serta Risâlah fi Haqîqah al-Isyqi (On the Reality of Love) yang
terpusat pada risâlah fi al-Isyqi karya Ibn Sina, dan tafsir sejumlah ayat
serta hadis Nabi.
5.
Wirid-wirid dan
doa-doa dalam bahasa Arab.
B.
Pemikiran
Filsafat Imam Suhrawardi
Imam Suhrawardi
memperkenalkan konsep baru yang disebut illuminasionsime (Isyraqiyah), yakni
suatu pancaran cahaya yang berasal dari Nur al Anwar. Konsep ini belum ada
filsuf muslim yang mengemukakannya.[9]
Kata isyrâq ( اشراق
) mempunyai banyak arti, antara lain, terbit dan bersinar, berseri-seri,
terang karena disinari dan menerangi. Tegasnya, isyraqi berkaitan dengan
kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan,
kebahagiaan, ketenangan dan hal lain yang membahagiakan. Lawannya adalah
kegelapan yang dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang
membuat manusia menderita Illuminiation, dalam bahasa Inggris yang dijadikan
padanan kata isyrâq juga berarti ini, cahaya atau penerangan.[10]
Dalam literatur
lain, isyraqi juga dimaknakan sebagai Timur, sebagai sumber sesuatu yang
memancar dan dunia keabadian.[11]
Dalam bahasa
filsafat, illuminationism berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari
kehidupan emosional kepada pencapaian tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraqi,
apa yang disebut hikmah bukan sekedar teori yang diyakini melainkan perpindahan
ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang di dalamnya pengetahuan dan
kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya yang bersifat akali
yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dapat dicapai bersama-sama. Karena
itu, menurut madzhab isyrâqi, sumber pengetahuan adalah penyinaran cahaya yang
itu berupa semacam hads yang menghubungkan dengan substansi cahaya. Lebih jauh,
cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyrâqi. Simbol cahaya digunakan untuk
menetapkan satu faktor yang menentukan wujud, bentuk dan materi, hal-hal masuk
akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat individual dan
tingkat-tingkat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan simbol
cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyrâqi.[12]
Selanjutnya,
tentang sumber-sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran isyraqi Suhrawardi,
terdiri atas lima aliran. Pertama, pemikiran-pemikiran sufisme, khususnya
karya-karya al-Hallaj (858-913 M) dan al-Ghazali (1058-1111 M). Salah satu
karya al-Ghazali, Misykat al-Anwâr, yang menjelaskan adanya hubungan antara nûr
(cahaya) dengan iman mempunyai pengaruh langsung pada pemikiran illuminasi
Suhrawardi. Kedua, pemikiran filsafat paripatetik Islam khususnya filsafat Ibn
Sina. Meski Suhrawardi mengkritik sebagian pemikiran Ibn Sina tetapi ia
memandangnya sebagai azas penting dalam memahami keyakinankeyakinan isyraqi.
Ketiga, pemikiran filsafat sebelum Islam yakni aliran Pythagoras (580500 SM),
Platonisme dan Hermenisme sebagaimana yang tumbuh di Alexanderia, kemudian
dipelihara dan disebarkan di Timur Dekat oleh kaum Syabiah Harran, yang
memandang kumpulan aliran Hermes sebagai kitab samawi mereka. Keempat,
pemikiran-pemikiran (hikmah) Iran-Kuno. Di sini Suhrawardi mencoba
membangkitkan kembali keyakinan-keyakinan baru dan memandang para pemikir
Iran-kuno sebagai pewaris langsung hikmah yang turun sebelum datangnya bencana
taufan yang menimpa kaum nabi Idris (Hermes). Kelima, bersandar pada ajaran
Zoroaster dalam menggunakan lambang - lambang cahaya dan kegelapan, khususnya
dalam ilmu malaikat yang kemudian ditambah dengan istilah-istilahnya sendiri.
Meski demikian, secara tegas Suhrawardi menyatakan bahwa dirinya bukan penganut
dualisme dan tidak menuduh mazhab Zahiriyah sebagai pengikut Zoroaster.
Sebaliknya, ia mengklaim dirinya sebagai anggota jamaah hukama Iran, pemilik
keyakinan-keyakinan ‘kebatinan’ yang berdasarkan prinsip kesatuan ketuhanan dan
pemilik sunnah yang tersembunyi di lubuk masyarakat Zoroaster. Dengan demikian,
pemikiran isyraqi Suhrawardi bersandar pada sumber-sumber yang beragam dan
berbeda, tidak hanya Islam tetapi juga non-Islam, meski secara garis besar bisa
dikelompokkan dalam dua bagian: pemikiran filsafat dan sufisme. Namun, yang
harus menjadi perhatian, hal itu bukan berarti Suhrawardi melakukan pembersihan
terhadap pemikiran - pemikiran sebelumnya. Ia justru mengklaim dirinya sebagai
pemersatu antara apa yang disebut hikmah ladûniyah (genius) dan hikmah
al-atiqah (antik). Menurutnya, hikmah yang total dan universal adalah hikmah
(pemikiran) yang jelas tampak dalam berbagai ragam orang Hindu kuno, Persia
kuno, Babilonia, Mesir dan Yunani sampai masa Aristoteles.[13]
Dengan
perjalanan waktu yang panjang, setelah mengarungi berbagai filsafat sebelumnya,
Suhrawardi sampai tingkat penemuan filsafat iluminasi. Dengan teori iluminasi
yang diambil dari mistisme Yunani dan filsafat Persia, Suhrawardi mengambil
kesimpulan bahwa tidak tepat baginya mengarungi dunia indrawi dan materi
bersama orang – orang yang terjebak di dunia materi. Yang lebih tepat baginya
adalah meninggalkan dunia materi menuju dunia penanggalan keinginan duniawi
(tajarrudi) dan penyaksian langsung (syuhudi), kemudian naik ke maqam orang –
orang yang bercahaya (nuraniyyun), bergaul bersama mereka, dan menyaksikan
mereka dari dekat. Inilah titik kulminasi filsafat Suhrawardi.[14]
C.
Pemikiran Imam Suhrawardi Tentang Kosmologi / Alam
Imam Suhrawardi memiliki pandangan dalam bidang kosmologi yang
berbeda dengan apa yang dianggap oleh para ahli sebagai berasal dari para
filsuf lain, menurut Imam Suhrawardi
, hal itu adalah berasal dari pandangan dunia yang dibangun Avicenna. Ia
menyatakan persetujuannya akan tetapi ia juga berusaha dengan mengutip Kitab
Suci atau inti ajaran tasawuf. [15]
Alam semesta merupakan pancaran abadi dari sumber yang
pertama. Dalam tambahan mengenai esensi yang bukan materi (cahaya), adalah hal
yang tidak dapat ditentukan yang pernah kita lihat, merupakan sesuatu yang mempunyai kedudukan lebih
tinggi dari pada materi yang secara langsung berasal dari Cahaya Utama atau
secara tidak langsung dari sinaran Cahaya Tuhan.[16]
Segala yang “bukan cahaya” disebut sebagai “Kualitas Mutlak”
atau “Materi Mutlak”. Ini merupakan aspek lain penegasan atas cahaya, dan bukan
merupakan sebuah prinsip mandiri sebagaimana yang dianggap secara salah oleh
pengikut Aristoteles. Fakta membuktikan bahwa unsur-unsur primer yang lain
menjadi satu, merujuk kepada materi absolute, dasar yang mempunyai berbagai
tingkat besarnya, membentuk berbagai macam lingkaran materi. Ada dua bagian
landasan mutlak semua benda, yaitu: [17]
1.
Yang berada di luar ruang atom-atom atau substansi yang tidak terang (esensi-esensi
menurut kelompok Asy’ari).
2.
Yang mesti di dalam ruang – bentuk-bentuk kegelapan,
misalnya: berat, bau, rasa, dan sebagainya.
Semua yang bukan cahaya dibagi menjadi dua:
1.
Kekal abadi, misalnya: intelek, jiwa dari benda-benda
angkasa, langit, unsur-unsur tunggal, waktu, dan gerak.
2.
Tergantung, misalnya: senyawa-senyawa dari berbagai unsur.
Gerak langit itu adalah abadi, dan membuat berbagai siklus Alam Semesta. Ini
disebabka[-n
oleh kerinduan kuat jiwa langit untuk menerima penerangan dari sumber segala
cahaya.
Dikatakan bahwa ada dua hal yang abadi yaitu Tuhan dan alam,
akan tetapi Imam Suhrawardi
tetap membedakannya.
Alam semesta merupakan manifestasi kekuatan penerang yang membentuk pembawaan
esensial Cahaya Pertama.
Imam Suhrawardi mengelompokkan alam menjadi empat:[18]
Imam Suhrawardi mengelompokkan alam menjadi empat:[18]
1.
Alam Akal-akal (‘Alam al-‘Uqul).
2.
Alam Jiwa-jiwa (‘Alam al-Nufus).
3.
Alam Bentuk (‘Alam al-Ajsam).
4.
Alam Mitsal, suatu alam kelepasan jiwa menuju kesempurnaan.
Tiga alam di
atas sudah sering diperbincangkan oleh para filsuf sebelumnya, sedangkan alam
ke empat ini merupakan inovasi baru yang ditemukan al-Suhrawardi dengan jalan
mujahadah dan musyahadah secara berkelanjutan.[19]
D.
Pemikiran Imam
Suhrawardi Tentang Ketuhanan
Inti filsafat
illuminasion adalah sifat dan penyebaran cahaya. Beberapa tokoh sufi
menyebutkan Allah dengan cahaya, berdasarkan QS. Al Nur: 35. Sedangkan
Suhrawardi menyebut Allah dengan Nur al Anwar. Cahaya merupakan esensi yang
paling terang dan paling nyata, sehingga mustahil terdapat sesuatu yang lebih
terang dan lebih jelas daripada cahaya.
Oleh karena itu, cahaya pertama tidak memerlukan penyebab luar selain diri – Nya. Imam Suhrawardi
mengikuti argument yang dikemukan oleh Ibn Sina dalam
menjelaskan wajib al wujud.[20]
Konsep terang
dan gelap Imam Suhrawardi
diadopsi dari konsep Tuhan dalam ajaran Zoroaster, hal itu tidak berarti bahwa
prinsip yang dipakainya adalah sama persis, sebab pada kenyataannya terdapat
perbedaaan yang menonjol antara penggunaan konsep terang dan gelap dalam ajaran
Zoroaster dan Imam Suhrawardi.[21]
Nur al Anwar
merupakan sumber semua gerak. Akan tetapi gerak cahaya disini bukan dalam arti
perpindahan tempat. Menurut Imam Suhrawardi,
gerakan itulah yang memiliki peran sentral bagi terbentuknya segala wujud yang
ada. Dalam hal ini Imam Suhrawardi
menegaskan bahwa semua pergerakan adalah atas kehendak - Nya dan
pergerakan tersebut juga sebagai pangkal bagi terciptanya alam semesta.[22]
Dalam pemikiran
falsafi Suhrawardi, unsur cinta merupakan modal dari kedinamisan gerak semua
makhluk. Semua wujud dan kelangsungan pergerakan makhluk tergantung dari proses
penyinaran dari Nur Al Anwar. Penyinaran adalah kunci sentral segala
pergerakan. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa setiap eksistensi alam semesta
menyandarkan wujudnya pada penerangan abadi - Nya.[23]
Proses
penyebaran cahaya yang dikemukakan oleh Suhrawardi tidaklah sama dengan teori
emanasi neo-platonis dan filusuf paripatetik. Menurutnya, pancaran yang
dihasilkan oleh sumber pertama tidak hanya terbatas hanya sepuluh, duapuluh,
seribu akan tetapi bisa mencapai jumlah yang banyak.[24]
Cahaya yang
dihasilkan oleh cahaya yang berada di atasnya melalaui deret tangga vertikal, yang semakin
jauh semakin berkurang. Seperti pada pancaran sinar matahari, semakin jauh
semakin redup. Jadi pancaran cahaya yang dihasilkan melalui Isyraqi sangat
tergantung pada intensitas sinar yang dipancarkan dari sumbernya.[25]
E.
Pemikiran Imam Suhrawardi
Tentang Jiwa Manusia
Konsep jiwa Imam Suhrawadi tidak jauh berbeda dengan
pandangan para filosof paripatetik. Ia lebih cenderung mengikuti konsep yang
telah disempurnakan oleh para filosof muslim. Seperti konsep jiwa Ibn Sina semakin
lengkap dan sempurna. Dia memberikan penjelasan tentang jiwa dan daya-daya yang
melekat padanya secara sistematis.[26]
Imam Suhrawardi menuangkan pemikirannya
tentang jiwa dalam magnum opusnya Hikmah Al Isyraq, misalnya tentang barzakh,
mimpi, ma’ad dan kenabian. Kedua dalam kitab Hayakil al Nur, misalnya
argument-argument yang membuktikan adanya jiwa, daya-daya jiwa,
karakter-karakternya, sumber-sumber jiwa dan nasib jiwa setelah terlepas dari
jasad.[27]
Sebagai bukti adanya jiwa adalah
kesadaran diri tiap manusia pada jati dirinya. Suhrawardi menekankan adanya jiwa
pada manusia berbeda dari jasad yang ditempati oleh jiwa. Disamping itu, jiwa
memiliki kemampuan untuk menyerap makna-makna yang terlepas dari badan.
Kemampuan jiwa tersebut menunjukkan bahwa jiwa memiliki karakter-karakter
khusus yang tak dimiliki oleh badan. Pada hakikatnya manusia akan tetap utuh
dan eksis apabila jiwa masih melekat pada badannya. Oleh karena itu, eksistensi
manusia terletak pada jiwanya.[28]
Jiwa manusia disebut juga dengan Al
Nafs an Nathiqah yang terbebas dari ikatan materi. Ia tunggal, esa dan tak
terbagi. Jiwa manusia merupakan unsur ruhani, karena itu ia dapat digerakkan
oleh cinta yang bersifat ruhani. Suhrawardi sependapat dengan Ibn Sina bahwa
jiwa memiliki daya pencerap dalam dan luar. Daya pencerap luar meliputi
pancaindra. Sedangkan daya pencerap dalam meliputi daya imajinasi, daya
berpikir, daya penjaga dan daya estimasi.[29]
Menurut suhrawardi, jiwa manusia
melimpah dari pemberinya dalam satu waktu yang bersamaan dengan jasad yang
menampungnya. Jika alam semesta merupakan hasil rentetan illuminasi dari Allah
dan emanasi dariNya, jiwa juga akan sampai pada kesempurnaan melalui
perantaraan illuminasi. Proses
naiknya jiwa menuju asalnya disebut remanasi.[30]
F.
Ajaran Pokok
Isyraqiyyah
1.
Gradasi essensi
Salah satu ajaran pokok Isyraqiyah
adalah gradasi essensi. Dengan konsep al-Isyrâq-nya, Suhrawardî menyatakan bahwa
seluruh alam semesta merupakan rentetan dari intensitas cahaya. Namun demikian,
menurutnya masing-masing cahaya tersebut berbeda tingkat intensitas
penampakannya, tergantung pada tingkat kedekatannya dengan cahaya segala cahaya
(Nur Al Anwar). Semakin dekat dengan Nur Al Anwar yang merupakan cahaya yang
paling sempurna, berarti semakin sempurnalah cahaya tersebut, begitu pula sebaliknya.[31]
Begitu pula yang terjadi pada
wujud-wujud, karena tingkatan-tingkatan cahaya ini berkaitan dengan tingkat
kesempurnaan wujud. Dengan demikian, realitas ini tersusun atas gradasi essensi
yang tidak lain merupkan bentuk-bentuk cahaya mulai dari yang paling lemah
sampai yang paling kuat.[32]
Proses cahaya
yang beragam tingkat intensitas penampakannya tersebut keluar seperti teori
emanasi pada umumnya, (1) gerak menurun dari yang ‘lebih tinggi’ ke yang ‘lebih
rendah’, yakni emanasi-diri Cahaya Segala Cahaya, (2) peniadaan penciptaan,
yakni semesta tidak diciptakan dari tiada apakah dalam massa tertentu atau
tidak sekaligus, tidak ada ‘pembuat’ dan tidak ada ‘kehendak’ Tuhan. (3) keabadian semesta, (4) hubungan
abadi antara wujud yang lebih tinggi dengan wujud yang lebih rendah.[33]
Namun gagasan emanasi Suhrawardi di
sini tidak hanya mengikuti teori kaum Neoplatonis, tetapi mengkombinasikan dua
proses sekaligus dan inilah yang membuatnya menjadi khas pemikiran Suhrawardi. Pertama,
adanya emanasi dari masing-masing cahaya yang berada di bawah Nur Al Anwar.
Cahaya-cahaya ini benar adanya dan diperoleh (yahshul) tetapi tidak berbeda
dengan Nur al Anwar kecuali pada tingkat intensitasnya yang menjadi ukuran
kesempurnaan. Cahaya-cahaya itu bercirikan :
a.
Ada sebagai cahaya Abstrak
b.
Mempunyai gerak
ganda ‘mencintai’(yuhibbuh) serta ‘melihat’(yusyahiduh) yang di atasnya dan
‘mengendalikan’ (yaqharu) serta ‘menyinari’ (asyraqah) apa yang di bawahnya.
c.
Mempunyai atau
mengambil sandaran ( zat) dan mempunyai kondisi (hay’ah), keduanya berperan
sebagai wadah bagi cahaya.
d.
Mempunyai
sesuatu semisal ‘kualitas’ atau sifat, yakni kaya dalam hubungannya dengan
cahaya di bawahnya dan miskin dalam kaitannya dengan cahaya di atasnya.
Kedua, proses ganda illuminasi dan visi
(penglihatan). Ketika cahaya pertama muncul, ia mempunyai visi langsung pada
Nur al Anwar tanpa durasi dan pada ‘momen’ tersendiri Nur al Anwar menyinarinya
sehingga ‘menyalakan’ cahaya kedua dan zat serta kondisi yang dihubungkan
dengan cahaya pertama. Cahaya kedua ini, pada prosesnya, menerima tiga cahaya,
dari Nur al Anwar secara langsung, dari cahaya pertama dan dari Nur al Anwar
yang tembus lewat cahaya pertama. Proses ini terus berlanjut dengan jumlah
cahaya meningkat sesuai dengan urutan 2n-1 dari cahaya pertama.[34]
2. Kesadaran diri
Pemikiran Suhrawardi tentang
kesadaran diri berkaitan konsepnya tentang pengetahuan. Bagi Suhrawardi, agar
sesuatu dapat diketahui sesuatu tersebut harus terlihat seperti apa adanya
(kama huwa). Sedemikian, sehingga pengetahuan yang diperoleh memungkinkannya
tidak butuh definisi (istighna ‘an al-ta’rif). Misalnya, warna hitam. Warna
hitam hanya bisa diketahui jika terlihat seperti apa adanya, dan sama sekali
tidak bisa didefinisikan oleh dan untuk orang yang tidak pernah melihat sebagaimana
adanya (la yumkin ta’rifuhu liman la yusyabiduh kama huwa). [35]
Dalam hal ini, Suhrawardi menuntut
bahwa subjek yang mengetahui harus berada dan memahami objek yang dilihat
secara langsung tanpa penghalang apapun. Jenis hubungan illuminasi inilah yang
merupakan ciri utama pandangan Suhrawardi mengenai dasar pengetahuan, dan
konsep ini memberikan perubahan antara apa yang disebut pendekatan mental
terhadap pengetahuan dan pendekatan visi langsung terhadap objek yang
menegaskan kevalidan sebuah pengetahuan terjadi jika objek-objeknya
‘dirasakan’.[36]
Menurutnya,
kesadaran diri ( idrak al-ana’iyah ) adalah sama dengan pengetahuan langsung
tentang dirinya sendiri (idrak ma huwa huwa), seperti kesadaran akan rasa sakit
adalah sama dengan pengetahuan akan sakit dialami. Ini adalah kebenaran semua wujud
yang menyadari essensi mereka sendiri, dan sesuatu yang tidak bisa dibantah.
Jadi, kesadaran diri sama dengan manifestasi (penampakan) wujud atau sesuatu
yang tampak (dzahir) yang diidentifikasi dengan ‘cahaya murni’. Dari sini
kemudian dinyatakan, bahwa setiap orang yang memahami essensinya sendiri adalah
cahaya murni dan setiap cahaya murni adalah manifestasi dari essensinya
sendiri.[37]
3.
Metode mendapatkan pengetahuan
Pengetahuan
isyraqi, karena objeknya bersifat immanen dan bersifat swaobjektivitas yang
melibatkan kesadaran, maka cara perolehannya harus melalui tahapan-tahapan
tertentu. [38]
Pertama, tahap
persiapan untuk menerima pengetahuan iluminatif. Tahap ini diawali dengan
aktivitas-aktivitas spiritual seperti mengasingkan diri selama paling tidak 40
hari, berhenti makan daging, berkonsentrasi untuk menerima nur Ilahi dan
seterusnya, yang hampir sama dengan laku asketik dan sufistik, kecuali bahwa di
sini tidak ada konsep ahwâl (keadaan-keadaan) dan maqâmât (tingkatan-tingkatan)
seperti dalam sufi. Melalui aktivitas-aktivitas seperti ini, dengan kekuatan
intuitif dalam dirinya yang oleh Suhrawardi disebut sebagai bagian dari ‘cahaya
Tuhan’ (al-bâriq al-ilâhi), seseorang akan dapat menerima realitas keberadaannya
dan mengakui kebenaran intuisinya melalui ilham dan penyingkapan diri
(musyâhadah wa mukâsyafah). Dengan demikian, dalam tahap ini terdiri atas tiga
hal; (1) suatu aktivitas tertentu, (2) suatu kondisi tertentu di mana seseorang
menyadari kemampuan intuisinya sendiri sampai mendapatkan kilatan cahaya
ketuhanan, (3) ilham.[39]
Kedua, tahap penerimaan, di mana
Cahaya Tuhan memasuki diri manusia. Cahaya ini mengambil bentuk sebagai
serangkaian ‘cahaya penyingkap’ (al-anwâr al-sânihah), di mana lewat ‘cahaya-cahaya
penyingkap’ tersebut pengetahuan yang berperan sebagai pengetahuan yang
sebenarnya (al-ulûm al-haqîqah) dapat diperoleh. Ketiga, tahap pembangunan
pengetahuan yang valid (al-ilm al-shâhih) dengan menggunakan analisis
diskursif. Di sini pengalaman diuji dan dibuktikan dengan sistem berpikir yang
digariskan dalam Posterior Analytics Aristoteles sehingga dari situ bisa
dibentuk suatu sistem di mana suatu pengalaman dapat didudukan dan diuji
validitasnya, meski pengalamannya itu sendiri sudah berakhir. Hal yang sama
juga diterapkan pada data-data yang didapat dari penangkapan inderawi, jika
berkaitan dengan pengetahuan illuminatif. Keempat, tahap pelukisan atau
dokumentasi dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang dibangun
dari tahap-tahap sebelumnya, dan inilah yang bisa diakses oleh orang lain.[40]
Dengan demikian, perolehan
pengetahuan dalam isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif melainkan
juga kekuatan rasio. Ia bahkan menggabungkan keduanya, metode intuitif dan
diskursif. Metode intuitif digunakan untuk meraih segala sesuatu yang tidak
tergapai oleh kekuatan rasio sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang
tertinggi dan terpercaya, sedang
kekuatan rasio digunakan untuk menjelaskan secara logis pengalaman-pengalaman
spiritual yang dijalani dalam proses penerimaan limpahan pengetahuan dan
kesadaran diri.[41]
Selanjutnya,
berdasarkan atas perbedaan metode untuk menghasilkan tingkat validitas keilmuan
ini, Suhrawardi membagi para pencari ilmu dalam empat tingkatan: (1) Para
pencari ilmu yang mulai merasakan kehausan ma`rifat, yang pada putaran
berikutnya memajukan diri untuk membahas filsafat; (2) para pencari yang telah
memperoleh ilmu secara formal dan telah sempurna mempelajari filsafat
pembuktian (burhâni) tetapi masih asing dengan pengetahuan yang sesungguhnya,
seperti al-Farabi dan Ibn Sina; (3) para pencari yang belum merasa puas dengan
bentuk-bentuk ma`rifat secara mutlak tetapi telah membersihkan diri sehingga
mencapai derajat perkiraan akal dan illuminasi batin, seperti al-Hallaj, Yazid
Bustami dan Tustari; (4) para pencari yang telah menamatkan filsafat pembuktian
sebagaimana mereka mengetahui tahapan illuminasi atau pengetahuan. Pada tahap terakhir ini, pengetahuan
dan kualitas individu meningkat pada posisi yang dinamakan sebagai kelompok
‘Ahli Hikmah Ketuhanan’ seperti pada Pyithagoras dan Plato. Suhrawardi sendiri
masuk dalam tingkatan ini.[42]
BAB III
KESIMPULAN
Syihab al-Din Suhrawardi dilahirkan di sebuah desa kecil, Suhraward dekat
kota Zinjan, di Persia Barat tahun 549/1153 M. Al-Suhrawardi dihukum gantung
saat umurnya 38 tahun pada tahun 587/1192 M, dan karena itulah terkadang
disebut Guru yang terbunuh ( Asy- Syaikh Al-Maqtul ). Selama
hidupnya, Suhrawardi menulis beberapa karya yang ditulis dalam bahasa Persia dan Arab.
Karya-karya tersebuth lebih dari 50 buah.
Suhrawardi
memperkenalkan konsep baru yang disebut illuminasionsime (Isyraqiyah), yakni
suatu pancaran cahaya yang berasal dari Nur al Anwar. Konsep ini belum ada
filsuf muslim yang mengemukakanya. Filsafat Suhrawardi ini adalah perpaduan
antara filsafat peripatetik dengan mistisisme Islam.
Adapun
ajaran-ajaran pokok Isyraqinya adalah tentang Gradasi essensi, kesadaran diri,
Metode mendapatkan pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Supriyadi,
Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung : CV Pustaka Setia.
A.
Khuhori Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi.pdf
[2]
ibid
[3]
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia,
2009), hlm. 176
[4]
A. Khuhori Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi.pdf
[6]
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia,
2009), hlm. 177
[7]
A. Khuhori Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi.pdf
[8]
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia,
2009), hlm. 178
[10]
A. Khuhori Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi.pdf
[11]
ibid
[12]
A. Khuhori Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi.pdf
[13]
A. Khuhori Soleh, Filsafat Isyraqi
Suhrawardi.pdf
[16]
ibid
[18]
ibid
[19]
ibid
[21]
ibid
[22]
ibid
[23]
ibid
[24]
ibid
[26]
ibid
[27]
ibid
[28]
ibid
[29]
ibid
[31]
ibid
[32]
Ibid
[33]
ibid
[35]
ibid
[37]
ibid
[38]
A. Khuhori Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi.pdf
[39]
ibid
[40]
A. Khudhori Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi.pdf
[41] ibid
DAFTAR PUSTAKA
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2009.
A.Khuhori
Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi.pdf
[42]
ibid
No comments:
Post a Comment