Sunday, 6 November 2016

MAKALAH FILSAFAT IMAM SUHRAWARDI AL – MAQTUL & ILLUMINASIONISME


KATA PENGANTAR
Bismillahir rahmanir rahim
Dengan penuh keikhlasan hati, puji dan syukur  Alhamdulillah kami haturkan kepada Ilahi Robbi, sang maha pencipta, sumber ilmu pengetahuan, Allah SWT. Berkat  keluasan  rahmat dan nikmatnya , sehingga kami dapat menyelesaikan  tugas mata kuliah Filsafat Islam mengenai Filsafat Imam Suhrawardi al – Maqtul dan Illuminasionisme, walaupun dengan keadaan makalah yang menurut kami masih jauh dari kata kesempurnaan.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan ke hadirat junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang diutus dengan membawa syariat yang mudah nan penuh dengan rahmat, dan membawa keselamatan kehidupan dunia dan akhirat.
Ungkapan terima kasih  saya sampaikan kepada dosen  pengampu  mata kuliah Filsafat Islam, Bp. M.Chabibi, Lc.M.Hum, yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Selanjutnya dalam  makalah  ini kami akan mengulas tentang filsafat Imam Suhrawardi al – Maqtul, yakni meliputi riwayat hidupnya, pemikirannya tentang alam, pemikirannya tentang manusia dan tuhan, pemikirannya tentang jiwa manusia dan ppemikirannya tentang tasawuf falsafi. Terakhir kalinya,  makalah ini masih jauh dari sempurna, karenanya penulis berharap atas kritik dan saran konstruktif demi kesempurnaan makalah ini, dengan segala keterbatasan penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri pada khususnya serta bagi semua pembaca pada umumnya.

Mojokerto, 21 Mei  2016


Penulis
Kelompok VI

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR    ……………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI      ...…………………………………………………………………………… ii
BAB I ( PENDAHULUAN )     ……………………………………………………………... 1
A. Latar Belakang          ……………………………………………………………... 1
B.  Rumusan Masalah     ……………………………………………………………... 1
C.  Tujuan Penulisan       ……………………………………………………………... 2     
BAB II ( PEMBAHASAN )      ……………………………………………………………... 3
A.    Riwayat Hidup Imam Suhrawardi al – Maqtul  ………………………………….. 3
B.     Pemikiran Filsafat Imam Suhrawardi ........ ....……………………….………... 5
C.     Pemikiran Imam Suhrawardi tentang kosmologi / alam   .. .……………………... 7
D.    Pemikiran Imam Suhrawardi tentang ketuhanan ......................................... ..........  9
E.     Pemikiran Imam Suhrawardi tentang jiwa manusia  .............................................. 10
F.      Ajaran Pokok Isyraqiyyat  ...................................................................................... 11
BAB III ( KESIMPULAN )  …………...………………………………………………........ 15
DAFTAR PUSTAKA    ......………………………………………………………………..... iii





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu menyebut mereka “kaum filosof Islam”, ada pula yang menamakan “para filosof beragama Islam”, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan “para hikmah Islam” (Falasifatul-Islam, atau Al-falasifatul Islamiyyin atau Hukama’ul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan Syahrastani, Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam bahwa para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan: “Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam dan berada di bawah pengayoman negara Islam”.[1]
 Usaha untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya didominasi oleh Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh para filosof lain dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di antara para filosof itu adalah Suhrawardî. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyrâqiyat) yang bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardî memperkenalkan diri sebagai penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai hikmat al-ladûnniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat al-’âtiqat (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles.[2]

B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimana riwayat hidup Imam Suhrawardi al – Maqtul ?
b.      Bagaimana pemikirannya tentang filsafat ?
c.       Bagaimana pemikirannya tentang kosmologi / alam ?
d.      Bagaimana penikirannya tentang ketuhanan ?
e.       Bagaimana pemikirannya tentang jiwa manusia ?
f.       Apa saja ajaran pokok isyraqiyyah / illuminasionisme ?

C.    Tujuan Penulisan
a.       Mengetahui riwayat hidup Imam Suhrawardi al – Maqtul.
b.      Mengetahui pemikirannya tentang filsafat.
c.       Mengetahui pemikirannya tentang kosmologi / alam.
d.      Mengetahui pemikirannya tentang ketuhanan..
e.       Mengetahui pemikirannya tentang jiwa manusia.
f.       Mengetahui apa saja ajaran pokok isyraqiyyah / illuminasionisme.






















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Riwayat Hidup Imam Suhrawardi al – Maqtul
Nama lengkapnya adalah Syihabuddin Yahya Ibn Amirak Abu al – Futuh Suhrawardi. Ia sangat terkenal dalam sejarah filsafat Islam sebagai guru illuminasi (syekh al – isyraq), suatu sebutan bagi posisinya yang lazim sebagai pendiri madzhab baru filsafat yang berbeda dengan madzhab peripatetik. Imam Suhrawardi lahir di kota kecil Suhraward di Persia Barat Laut pada 549 H/1154 M. Ia menemui kematian tragis melalui eksekusi di Aleppo pada 587 H/1191 M dan karena itulah, ia disebut sebagai “guru yang terbunuh” (Asy – Syaikh Al – Maqtul ).[3]
             Pendidikannya di mulai di Maraghah –sebuah kota yang kemudian menjadi terkenal karena munculnya Nasir al-Din al-Tusi (1201-1274 M) yang membangun observatorium Islam pertama—di bawah bimbingan Majdud al-Din al-Jilli, dalam bidang fiqh dan teologi. Selanjutnya, Suhrawardi  pergi ke Isfahan untuk lebih mendalami studinya pada Zahir al - Din Qari dan Fakhr al - Din al - Mardini (w. 1198 M), di mana orang yang disebut terakhir ini diduga sebagai guru Suhrawardi yang paling penting. Selain itu, ia juga belajar logika pada Zahir al-Farsi yang mengajarkan alBashâir al-Nashîriyah, kitab karya `Umar ibn Sahlan al-Sawi (w. 1183 M), ahli logika terkenal sekaligus salah satu pemikir illuminasi awal dalam Islam.[4]
             Setelah merasa cukup belajar secara resmi, Syekh al – Isyraq mengembara ke seluruh Persia. Di kota yang disinggahinya, ia mengunjungi guru tasawuf yang masyhur untuk mendalami ilmu ma`rifat. Ia memakai waktu luangnya untuk tafakur dan zuhud, serta memperbanyak ibadah dan `uzlah. Puas bergaul dengan para sufi, Syekh al – Isyraq melanjutkan pengembaraan ke Anatolia ( Asia Kecil ) dan Suriah. Pada 1183, seusai menulis kitab al – Hikmah al – Isyraq, ia melawat ke Aleppo, dan akhirnya ke Damsyik ( Damaskus ). Di Damsyik, ia diterima menjadi penasihat kerohanian di istana pangeran Malik Az- Zahir Ghazi, putra Sultan Slahuddin al – Ayyubi, yang lebih dikenal Sultan Saladin, pahlawan besar dalam peperangan melawan tentara salib.[5]
             Suhrawardi berhasil mengambil hati pangeran, menjadi pembimbingnya dan hidup di istana. Di situ, dalam pertemuan – pertemuan pribadinya yang berkembang luas, filsuf muda ini diriwayatkan telah menginformasikan kepada sang pangeran tentang filsafat barunya. Tak pelak lagi, kenaikan pesat Suhrawardi ke posisi istimewa bersinggungan dengan intrik dan kecemburuan istana yang lazim dijumpai dalam Abad Pertengahan. Para hakim, wazir, dan fuqoha` Aleppo yang tidak senang dengan status guru yang meroket dari tutor terkemuka itu mustahil dapat membantu meringankan perkaranya. Surat – surat kepada Saladin yang ditulis oleh hakim terkenal Qadhi al – Fadhil yang menuntut Suhrawardi dieksekusi untuk mengakhiri hidup pemikir muda itu. Sultan memerintahkan agar gurunya itu dibunuh.[6] Akhirnya, pemikir yang sangat brilian ini harus mati di tiang gantungan, tahun 1191 M, dalam usia yang relatif muda, 38 tahun, karena kedengkian sebagian ulama fiqh.[7]
             Para sejarawan Abad Pertengahan menuduh Suhrawardi sebagai “ zindiq” (anti agama ), “merusak agama” dan “menyesatkan pangeran muda, Al – Malik Az – Zahir”, namun, validitas tuduhan ini sangat kontroversial. Alasan eksekusi Suhrawardi yang lebih masuk akal tampaknya didasarkan atas doktrin politik sang filsuf yang terungkap dalam karya – karyanya tentang filsafat iluminasi. Hal itu terlihat dari situasi kejadian tahun eksekusi Suhrawardi yang terjadi bersamaan dengan gejolak konflik politik dan militer. Raja Inggris, Richard Hati Singa, mendarat di Acre, dan pertempuran – pertempuran besar berlangsung antara Muslim dan Kristen memperebutkan Tanah Suci. Sultan besar Saladin jelas memberikan perhatian lebih besar pada urusan ini daripada menghiraukan eksekusi sang mistikus pengembara yang tidak dianggap sebagai ancaman nyata bagi keamanan politik.[8]
             Meski perjalanan hidupnya tidak begitu lama, Suhrawardi meninggalkan banyak karya tulis. Menurut Husein Nasr, Imam Suhrawardi meninggalkan sekitar 50 judul buku yang ditulisnya dalam bahasa Arab dan Persia, meliputi berbagai bidang dan ditulis dengan metode yang berbeda. Kelimapuluh judul buku tersebut, secara umum, dapat dibagi dalam 5 bagian berikut :
1.      Buku empat besar tentang pengajaran dan doktrin yang ditulis dalam bahasa Arab. Kumpulan ini membentuk kelompok yang membahas filsafat paripatetik, yang terdiri atas al-Talwîhât, al-Muqâwimât, dan al-Muthârahât yang ketiganya berisi pembenaran filsafat Aristoteles. Terakhir Hikmah al-Isyraq (The Theosophy of the Orient of Light) yang berbicara sekitar konsep illuminasi.
2.      Risalah-risalah pendek yang masing-masing ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. Materi tulisan ini sebenarnya juga telah ada dalam kumpulan buku yang empat tetapi ditulis dalam bahasa yang lebih sederhana.
3.      Kisah-kisah sufisme yang melukiskan perjalanan ruhani dalam semesta yang mencari keunikan dan illuminasi. Hampir semua kisah ini ditulis dalam bahasa Persia.
4.      Nukilan-nukilan, terjemahan dan penjelasan terhadap buku filsafat lama, seperti terjemahan Risâlah al-Thair karya Ibn Sina (980-1037 M) dalam bahasa Persia, penjelasan al-Isyârat serta Risâlah fi Haqîqah al-Isyqi (On the Reality of Love) yang terpusat pada risâlah fi al-Isyqi karya Ibn Sina, dan tafsir sejumlah ayat serta hadis Nabi.
5.      Wirid-wirid dan doa-doa dalam bahasa Arab.

B.     Pemikiran Filsafat Imam Suhrawardi
Imam Suhrawardi memperkenalkan konsep baru yang disebut illuminasionsime (Isyraqiyah), yakni suatu pancaran cahaya yang berasal dari Nur al Anwar. Konsep ini belum ada filsuf muslim yang mengemukakannya.[9]
Kata isyrâq ( اشراق ) mempunyai banyak arti, antara lain, terbit dan bersinar, berseri-seri, terang karena disinari dan menerangi. Tegasnya, isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan hal lain yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita Illuminiation, dalam bahasa Inggris yang dijadikan padanan kata isyrâq juga berarti ini, cahaya atau penerangan.[10]
Dalam literatur lain, isyraqi juga dimaknakan sebagai Timur, sebagai sumber sesuatu yang memancar dan dunia keabadian.[11]
Dalam bahasa filsafat, illuminationism berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional kepada pencapaian tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraqi, apa yang disebut hikmah bukan sekedar teori yang diyakini melainkan perpindahan ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya yang bersifat akali yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dapat dicapai bersama-sama. Karena itu, menurut madzhab isyrâqi, sumber pengetahuan adalah penyinaran cahaya yang itu berupa semacam hads yang menghubungkan dengan substansi cahaya. Lebih jauh, cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyrâqi. Simbol cahaya digunakan untuk menetapkan satu faktor yang menentukan wujud, bentuk dan materi, hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat individual dan tingkat-tingkat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyrâqi.[12]
Selanjutnya, tentang sumber-sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran isyraqi Suhrawardi, terdiri atas lima aliran. Pertama, pemikiran-pemikiran sufisme, khususnya karya-karya al-Hallaj (858-913 M) dan al-Ghazali (1058-1111 M). Salah satu karya al-Ghazali, Misykat al-Anwâr, yang menjelaskan adanya hubungan antara nûr (cahaya) dengan iman mempunyai pengaruh langsung pada pemikiran illuminasi Suhrawardi. Kedua, pemikiran filsafat paripatetik Islam khususnya filsafat Ibn Sina. Meski Suhrawardi mengkritik sebagian pemikiran Ibn Sina tetapi ia memandangnya sebagai azas penting dalam memahami keyakinankeyakinan isyraqi. Ketiga, pemikiran filsafat sebelum Islam yakni aliran Pythagoras (580500 SM), Platonisme dan Hermenisme sebagaimana yang tumbuh di Alexanderia, kemudian dipelihara dan disebarkan di Timur Dekat oleh kaum Syabiah Harran, yang memandang kumpulan aliran Hermes sebagai kitab samawi mereka. Keempat, pemikiran-pemikiran (hikmah) Iran-Kuno. Di sini Suhrawardi mencoba membangkitkan kembali keyakinan-keyakinan baru dan memandang para pemikir Iran-kuno sebagai pewaris langsung hikmah yang turun sebelum datangnya bencana taufan yang menimpa kaum nabi Idris (Hermes). Kelima, bersandar pada ajaran Zoroaster dalam menggunakan lambang - lambang cahaya dan kegelapan, khususnya dalam ilmu malaikat yang kemudian ditambah dengan istilah-istilahnya sendiri. Meski demikian, secara tegas Suhrawardi menyatakan bahwa dirinya bukan penganut dualisme dan tidak menuduh mazhab Zahiriyah sebagai pengikut Zoroaster. Sebaliknya, ia mengklaim dirinya sebagai anggota jamaah hukama Iran, pemilik keyakinan-keyakinan ‘kebatinan’ yang berdasarkan prinsip kesatuan ketuhanan dan pemilik sunnah yang tersembunyi di lubuk masyarakat Zoroaster. Dengan demikian, pemikiran isyraqi Suhrawardi bersandar pada sumber-sumber yang beragam dan berbeda, tidak hanya Islam tetapi juga non-Islam, meski secara garis besar bisa dikelompokkan dalam dua bagian: pemikiran filsafat dan sufisme. Namun, yang harus menjadi perhatian, hal itu bukan berarti Suhrawardi melakukan pembersihan terhadap pemikiran - pemikiran sebelumnya. Ia justru mengklaim dirinya sebagai pemersatu antara apa yang disebut hikmah ladûniyah (genius) dan hikmah al-atiqah (antik). Menurutnya, hikmah yang total dan universal adalah hikmah (pemikiran) yang jelas tampak dalam berbagai ragam orang Hindu kuno, Persia kuno, Babilonia, Mesir dan Yunani sampai masa Aristoteles.[13]
Dengan perjalanan waktu yang panjang, setelah mengarungi berbagai filsafat sebelumnya, Suhrawardi sampai tingkat penemuan filsafat iluminasi. Dengan teori iluminasi yang diambil dari mistisme Yunani dan filsafat Persia, Suhrawardi mengambil kesimpulan bahwa tidak tepat baginya mengarungi dunia indrawi dan materi bersama orang – orang yang terjebak di dunia materi. Yang lebih tepat baginya adalah meninggalkan dunia materi menuju dunia penanggalan keinginan duniawi (tajarrudi) dan penyaksian langsung (syuhudi), kemudian naik ke maqam orang – orang yang bercahaya (nuraniyyun), bergaul bersama mereka, dan menyaksikan mereka dari dekat. Inilah titik kulminasi filsafat Suhrawardi.[14]

C.    Pemikiran Imam Suhrawardi Tentang Kosmologi / Alam
Imam Suhrawardi memiliki pandangan dalam bidang kosmologi yang berbeda dengan apa yang dianggap oleh para ahli sebagai berasal dari para filsuf lain, menurut Imam Suhrawardi , hal itu adalah berasal dari pandangan dunia yang dibangun Avicenna. Ia menyatakan persetujuannya akan tetapi ia juga berusaha dengan mengutip Kitab Suci atau inti ajaran tasawuf. [15]
Alam semesta merupakan pancaran abadi dari sumber yang pertama. Dalam tambahan mengenai esensi yang bukan materi (cahaya), adalah hal yang tidak dapat ditentukan yang pernah kita lihat, merupakan sesuatu yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada materi yang secara langsung berasal dari Cahaya Utama atau secara tidak langsung dari sinaran Cahaya Tuhan.[16]
Segala yang “bukan cahaya” disebut sebagai “Kualitas Mutlak” atau “Materi Mutlak”. Ini merupakan aspek lain penegasan atas cahaya, dan bukan merupakan sebuah prinsip mandiri sebagaimana yang dianggap secara salah oleh pengikut Aristoteles. Fakta membuktikan bahwa unsur-unsur primer yang lain menjadi satu, merujuk kepada materi absolute, dasar yang mempunyai berbagai tingkat besarnya, membentuk berbagai macam lingkaran materi. Ada dua bagian landasan mutlak semua benda, yaitu: [17]
1.      Yang berada di luar ruang atom-atom atau substansi yang tidak terang (esensi-esensi menurut kelompok Asy’ari).
2.      Yang mesti di dalam ruang – bentuk-bentuk kegelapan, misalnya: berat, bau, rasa, dan sebagainya.
Semua yang bukan cahaya dibagi menjadi dua:
1.      Kekal abadi, misalnya: intelek, jiwa dari benda-benda angkasa, langit, unsur-unsur tunggal, waktu, dan gerak.
2.      Tergantung, misalnya: senyawa-senyawa dari berbagai unsur. Gerak langit itu adalah abadi, dan membuat berbagai siklus Alam Semesta. Ini disebabka[-n oleh kerinduan kuat jiwa langit untuk menerima penerangan dari sumber segala cahaya.
Dikatakan bahwa ada dua hal yang abadi yaitu Tuhan dan alam, akan tetapi Imam Suhrawardi tetap membedakannya. Alam semesta merupakan manifestasi kekuatan penerang yang membentuk pembawaan esensial Cahaya Pertama.
Imam Suhrawardi mengelompokkan alam menjadi empat:[18]
1.      Alam Akal-akal (‘Alam al-‘Uqul).
2.      Alam Jiwa-jiwa (‘Alam al-Nufus).
3.      Alam Bentuk (‘Alam al-Ajsam).
4.      Alam Mitsal, suatu alam kelepasan jiwa menuju kesempurnaan.
Tiga alam di atas sudah sering diperbincangkan oleh para filsuf sebelumnya, sedangkan alam ke empat ini merupakan inovasi baru yang ditemukan al-Suhrawardi dengan jalan mujahadah dan musyahadah secara berkelanjutan.[19]



D.    Pemikiran Imam Suhrawardi Tentang Ketuhanan
Inti filsafat illuminasion adalah sifat dan penyebaran cahaya. Beberapa tokoh sufi menyebutkan Allah dengan cahaya, berdasarkan QS. Al Nur: 35. Sedangkan Suhrawardi menyebut Allah dengan Nur al Anwar. Cahaya merupakan esensi yang paling terang dan paling nyata, sehingga mustahil terdapat sesuatu yang lebih terang dan lebih jelas daripada cahaya. Oleh karena itu, cahaya pertama tidak memerlukan penyebab luar selain diriNya. Imam Suhrawardi mengikuti argument yang dikemukan oleh Ibn Sina dalam menjelaskan wajib al wujud.[20]
Konsep terang dan gelap Imam Suhrawardi diadopsi dari konsep Tuhan dalam ajaran Zoroaster, hal itu tidak berarti bahwa prinsip yang dipakainya adalah sama persis, sebab pada kenyataannya terdapat perbedaaan yang menonjol antara penggunaan konsep terang dan gelap dalam ajaran Zoroaster dan Imam Suhrawardi.[21]
Nur al Anwar merupakan sumber semua gerak. Akan tetapi gerak cahaya disini bukan dalam arti perpindahan tempat. Menurut Imam Suhrawardi, gerakan itulah yang memiliki peran sentral bagi terbentuknya segala wujud yang ada. Dalam hal ini Imam Suhrawardi menegaskan bahwa semua pergerakan adalah atas kehendak - Nya dan pergerakan tersebut juga sebagai pangkal bagi terciptanya alam semesta.[22]
Dalam pemikiran falsafi Suhrawardi, unsur cinta merupakan modal dari kedinamisan gerak semua makhluk. Semua wujud dan kelangsungan pergerakan makhluk tergantung dari proses penyinaran dari Nur Al Anwar. Penyinaran adalah kunci sentral segala pergerakan. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa setiap eksistensi alam semesta menyandarkan wujudnya pada penerangan abadi - Nya.[23]
Proses penyebaran cahaya yang dikemukakan oleh Suhrawardi tidaklah sama dengan teori emanasi neo-platonis dan filusuf paripatetik. Menurutnya, pancaran  yang dihasilkan oleh sumber pertama tidak hanya terbatas hanya sepuluh, duapuluh, seribu akan tetapi bisa mencapai jumlah yang banyak.[24]
Cahaya yang dihasilkan oleh cahaya yang berada di atasnya melalaui deret tangga vertikal, yang semakin jauh semakin berkurang. Seperti pada pancaran sinar matahari, semakin jauh semakin redup. Jadi pancaran cahaya yang dihasilkan melalui Isyraqi sangat tergantung pada intensitas sinar yang dipancarkan dari sumbernya.[25]

E.     Pemikiran Imam Suhrawardi Tentang Jiwa Manusia
Konsep jiwa Imam Suhrawadi tidak jauh berbeda dengan pandangan para filosof paripatetik. Ia lebih cenderung mengikuti konsep yang telah disempurnakan oleh para filosof muslim. Seperti konsep jiwa Ibn Sina semakin lengkap dan sempurna. Dia memberikan penjelasan tentang jiwa dan daya-daya yang melekat padanya secara sistematis.[26]
Imam Suhrawardi menuangkan pemikirannya tentang jiwa dalam magnum opusnya Hikmah Al Isyraq, misalnya tentang barzakh, mimpi, ma’ad dan kenabian. Kedua dalam kitab Hayakil al Nur, misalnya argument-argument yang membuktikan adanya jiwa, daya-daya jiwa, karakter-karakternya, sumber-sumber jiwa dan nasib jiwa setelah terlepas dari jasad.[27]
Sebagai bukti adanya jiwa adalah kesadaran diri tiap manusia pada jati dirinya. Suhrawardi menekankan adanya jiwa pada manusia berbeda dari jasad yang ditempati oleh jiwa. Disamping itu, jiwa memiliki kemampuan untuk menyerap makna-makna yang terlepas dari badan. Kemampuan jiwa tersebut menunjukkan bahwa jiwa memiliki karakter-karakter khusus yang tak dimiliki oleh badan. Pada hakikatnya manusia akan tetap utuh dan eksis apabila jiwa masih melekat pada badannya. Oleh karena itu, eksistensi manusia terletak pada jiwanya.[28]
Jiwa manusia disebut juga dengan Al Nafs an Nathiqah yang terbebas dari ikatan materi. Ia tunggal, esa dan tak terbagi. Jiwa manusia merupakan unsur ruhani, karena itu ia dapat digerakkan oleh cinta yang bersifat ruhani. Suhrawardi sependapat dengan Ibn Sina bahwa jiwa memiliki daya pencerap dalam dan luar. Daya pencerap luar meliputi pancaindra. Sedangkan daya pencerap dalam meliputi daya imajinasi, daya berpikir, daya penjaga dan daya estimasi.[29]
Menurut suhrawardi, jiwa manusia melimpah dari pemberinya dalam satu waktu yang bersamaan dengan jasad yang menampungnya. Jika alam semesta merupakan hasil rentetan illuminasi dari Allah dan emanasi dariNya, jiwa juga akan sampai pada kesempurnaan melalui perantaraan illuminasi. Proses naiknya jiwa menuju asalnya disebut remanasi.[30]

F.     Ajaran Pokok Isyraqiyyah
1.      Gradasi essensi
Salah satu ajaran pokok Isyraqiyah adalah gradasi essensi. Dengan konsep al-Isyrâq-nya, Suhrawardî menyatakan bahwa seluruh alam semesta merupakan rentetan dari intensitas cahaya. Namun demikian, menurutnya masing-masing cahaya tersebut berbeda tingkat intensitas penampakannya, tergantung pada tingkat kedekatannya dengan cahaya segala cahaya (Nur Al Anwar). Semakin dekat dengan Nur Al Anwar yang merupakan cahaya yang paling sempurna, berarti semakin sempurnalah cahaya tersebut, begitu pula sebaliknya.[31]
Begitu pula yang terjadi pada wujud-wujud, karena tingkatan-tingkatan cahaya ini berkaitan dengan tingkat kesempurnaan wujud. Dengan demikian, realitas ini tersusun atas gradasi essensi yang tidak lain merupkan bentuk-bentuk cahaya mulai dari yang paling lemah sampai yang paling kuat.[32]
Proses cahaya yang beragam tingkat intensitas penampakannya tersebut keluar seperti teori emanasi pada umumnya, (1) gerak menurun dari yang ‘lebih tinggi’ ke yang ‘lebih rendah’, yakni emanasi-diri Cahaya Segala Cahaya, (2) peniadaan penciptaan, yakni semesta tidak diciptakan dari tiada apakah dalam massa tertentu atau tidak sekaligus, tidak ada ‘pembuat’ dan tidak ada ‘kehendak’ Tuhan. (3) keabadian semesta, (4) hubungan abadi antara wujud yang lebih tinggi dengan wujud yang lebih rendah.[33]
Namun gagasan emanasi Suhrawardi di sini tidak hanya mengikuti teori kaum Neoplatonis, tetapi mengkombinasikan dua proses sekaligus dan inilah yang membuatnya menjadi khas pemikiran Suhrawardi. Pertama, adanya emanasi dari masing-masing cahaya yang berada di bawah Nur Al Anwar. Cahaya-cahaya ini benar adanya dan diperoleh (yahshul) tetapi tidak berbeda dengan Nur al Anwar kecuali pada tingkat intensitasnya yang menjadi ukuran kesempurnaan. Cahaya-cahaya itu bercirikan :
a.       Ada sebagai cahaya Abstrak
b.      Mempunyai gerak ganda ‘mencintai’(yuhibbuh) serta ‘melihat’(yusyahiduh) yang di atasnya dan ‘mengendalikan’ (yaqharu) serta ‘menyinari’ (asyraqah) apa yang di bawahnya.
c.       Mempunyai atau mengambil sandaran ( zat) dan mempunyai kondisi (hay’ah), keduanya berperan sebagai wadah bagi cahaya.
d.      Mempunyai sesuatu semisal ‘kualitas’ atau sifat, yakni kaya dalam hubungannya dengan cahaya di bawahnya dan miskin dalam kaitannya dengan cahaya di atasnya.
Kedua, proses ganda illuminasi dan visi (penglihatan). Ketika cahaya pertama muncul, ia mempunyai visi langsung pada Nur al Anwar tanpa durasi dan pada ‘momen’ tersendiri Nur al Anwar menyinarinya sehingga ‘menyalakan’ cahaya kedua dan zat serta kondisi yang dihubungkan dengan cahaya pertama. Cahaya kedua ini, pada prosesnya, menerima tiga cahaya, dari Nur al Anwar secara langsung, dari cahaya pertama dan dari Nur al Anwar yang tembus lewat cahaya pertama. Proses ini terus berlanjut dengan jumlah cahaya meningkat sesuai dengan urutan 2n-1 dari cahaya pertama.[34]

2.            Kesadaran diri
Pemikiran Suhrawardi tentang kesadaran diri berkaitan konsepnya tentang pengetahuan. Bagi Suhrawardi, agar sesuatu dapat diketahui sesuatu tersebut harus terlihat seperti apa adanya (kama huwa). Sedemikian, sehingga pengetahuan yang diperoleh memungkinkannya tidak butuh definisi (istighna ‘an al-ta’rif). Misalnya, warna hitam. Warna hitam hanya bisa diketahui jika terlihat seperti apa adanya, dan sama sekali tidak bisa didefinisikan oleh dan untuk orang yang tidak pernah melihat sebagaimana adanya (la yumkin ta’rifuhu liman la yusyabiduh kama huwa). [35]
Dalam hal ini, Suhrawardi menuntut bahwa subjek yang mengetahui harus berada dan memahami objek yang dilihat secara langsung tanpa penghalang apapun. Jenis hubungan illuminasi inilah yang merupakan ciri utama pandangan Suhrawardi mengenai dasar pengetahuan, dan konsep ini memberikan perubahan antara apa yang disebut pendekatan mental terhadap pengetahuan dan pendekatan visi langsung terhadap objek yang menegaskan kevalidan sebuah pengetahuan terjadi jika objek-objeknya ‘dirasakan’.[36]
Menurutnya, kesadaran diri ( idrak al-ana’iyah ) adalah sama dengan pengetahuan langsung tentang dirinya sendiri (idrak ma huwa huwa), seperti kesadaran akan rasa sakit adalah sama dengan pengetahuan akan sakit dialami. Ini adalah kebenaran semua wujud yang menyadari essensi mereka sendiri, dan sesuatu yang tidak bisa dibantah. Jadi, kesadaran diri sama dengan manifestasi (penampakan) wujud atau sesuatu yang tampak (dzahir) yang diidentifikasi dengan ‘cahaya murni’. Dari sini kemudian dinyatakan, bahwa setiap orang yang memahami essensinya sendiri adalah cahaya murni dan setiap cahaya murni adalah manifestasi dari essensinya sendiri.[37]

3.      Metode mendapatkan pengetahuan
Pengetahuan isyraqi, karena objeknya bersifat immanen dan bersifat swaobjektivitas yang melibatkan kesadaran, maka cara perolehannya harus melalui tahapan-tahapan tertentu. [38]
Pertama, tahap persiapan untuk menerima pengetahuan iluminatif. Tahap ini diawali dengan aktivitas-aktivitas spiritual seperti mengasingkan diri selama paling tidak 40 hari, berhenti makan daging, berkonsentrasi untuk menerima nur Ilahi dan seterusnya, yang hampir sama dengan laku asketik dan sufistik, kecuali bahwa di sini tidak ada konsep ahwâl (keadaan-keadaan) dan maqâmât (tingkatan-tingkatan) seperti dalam sufi. Melalui aktivitas-aktivitas seperti ini, dengan kekuatan intuitif dalam dirinya yang oleh Suhrawardi disebut sebagai bagian dari ‘cahaya Tuhan’ (al-bâriq al-ilâhi), seseorang akan dapat menerima realitas keberadaannya dan mengakui kebenaran intuisinya melalui ilham dan penyingkapan diri (musyâhadah wa mukâsyafah). Dengan demikian, dalam tahap ini terdiri atas tiga hal; (1) suatu aktivitas tertentu, (2) suatu kondisi tertentu di mana seseorang menyadari kemampuan intuisinya sendiri sampai mendapatkan kilatan cahaya ketuhanan, (3) ilham.[39]
Kedua, tahap penerimaan, di mana Cahaya Tuhan memasuki diri manusia. Cahaya ini mengambil bentuk sebagai serangkaian ‘cahaya penyingkap’ (al-anwâr al-sânihah), di mana lewat ‘cahaya-cahaya penyingkap’ tersebut pengetahuan yang berperan sebagai pengetahuan yang sebenarnya (al-ulûm al-haqîqah) dapat diperoleh. Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang valid (al-ilm al-shâhih) dengan menggunakan analisis diskursif. Di sini pengalaman diuji dan dibuktikan dengan sistem berpikir yang digariskan dalam Posterior Analytics Aristoteles sehingga dari situ bisa dibentuk suatu sistem di mana suatu pengalaman dapat didudukan dan diuji validitasnya, meski pengalamannya itu sendiri sudah berakhir. Hal yang sama juga diterapkan pada data-data yang didapat dari penangkapan inderawi, jika berkaitan dengan pengetahuan illuminatif. Keempat, tahap pelukisan atau dokumentasi dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya, dan inilah yang bisa diakses oleh orang lain.[40]
Dengan demikian, perolehan pengetahuan dalam isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif melainkan juga kekuatan rasio. Ia bahkan menggabungkan keduanya, metode intuitif dan diskursif. Metode intuitif digunakan untuk meraih segala sesuatu yang tidak tergapai oleh kekuatan rasio sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang tertinggi dan terpercaya, sedang kekuatan rasio digunakan untuk menjelaskan secara logis pengalaman-pengalaman spiritual yang dijalani dalam proses penerimaan limpahan pengetahuan dan kesadaran diri.[41]
Selanjutnya, berdasarkan atas perbedaan metode untuk menghasilkan tingkat validitas keilmuan ini, Suhrawardi membagi para pencari ilmu dalam empat tingkatan: (1) Para pencari ilmu yang mulai merasakan kehausan ma`rifat, yang pada putaran berikutnya memajukan diri untuk membahas filsafat; (2) para pencari yang telah memperoleh ilmu secara formal dan telah sempurna mempelajari filsafat pembuktian (burhâni) tetapi masih asing dengan pengetahuan yang sesungguhnya, seperti al-Farabi dan Ibn Sina; (3) para pencari yang belum merasa puas dengan bentuk-bentuk ma`rifat secara mutlak tetapi telah membersihkan diri sehingga mencapai derajat perkiraan akal dan illuminasi batin, seperti al-Hallaj, Yazid Bustami dan Tustari; (4) para pencari yang telah menamatkan filsafat pembuktian sebagaimana mereka mengetahui tahapan illuminasi atau pengetahuan. Pada tahap terakhir ini, pengetahuan dan kualitas individu meningkat pada posisi yang dinamakan sebagai kelompok ‘Ahli Hikmah Ketuhanan’ seperti pada Pyithagoras dan Plato. Suhrawardi sendiri masuk dalam tingkatan ini.[42]

BAB III
KESIMPULAN
                       
Syihab al-Din Suhrawardi dilahirkan di sebuah desa kecil, Suhraward dekat kota Zinjan, di Persia Barat tahun 549/1153 M. Al-Suhrawardi dihukum gantung saat umurnya 38 tahun pada tahun 587/1192 M, dan karena itulah terkadang disebut Guru yang terbunuh ( Asy- Syaikh Al-Maqtul ). Selama hidupnya, Suhrawardi menulis beberapa karya yang  ditulis dalam bahasa Persia dan Arab. Karya-karya tersebuth lebih dari 50 buah.
Suhrawardi memperkenalkan konsep baru yang disebut illuminasionsime (Isyraqiyah), yakni suatu pancaran cahaya yang berasal dari Nur al Anwar. Konsep ini belum ada filsuf muslim yang mengemukakanya. Filsafat Suhrawardi ini adalah perpaduan antara filsafat peripatetik dengan mistisisme Islam.
Adapun ajaran-ajaran pokok Isyraqinya adalah tentang Gradasi essensi, kesadaran diri, Metode mendapatkan pengetahuan.




















DAFTAR PUSTAKA

Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung : CV Pustaka Setia.
A.    Khuhori Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi.pdf











[2] ibid
[3] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 176
[4] A. Khuhori Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi.pdf
[5]  Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 177
[6] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 177
[7] A. Khuhori Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi.pdf
[8] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 178
[10] A. Khuhori Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi.pdf
[11] ibid
[12]  A. Khuhori Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi.pdf
[13] A. Khuhori Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi.pdf
[14]  Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 183
[16]  ibid
[18]  ibid
[19]  ibid
[21]  ibid
[22] ibid
[23] ibid
[24] ibid
[26]  ibid
[27]  ibid
[28]  ibid
[29]  ibid
[31]  ibid
[32]  Ibid
[33]  ibid
[35]  ibid
[37]  ibid
[38]  A. Khuhori Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi.pdf
[39]  ibid
[40]  A. Khudhori Soleh, Filsafat Isyraqi Suhrawardi.pdf
[42] ibid

No comments:

Post a Comment

RANGKUMAN MATERI TEKNIK PENULISAN KARYA ILMIAH LENGKAP

A.    Konsep Karya Ilmiah Karya ilmiah terbentuk dari kata “karya” dan “ilmiah”. Karya berarti kerja dan hasil kerja dan ilmiah berari ...