DAFTAR ISI
Contents
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………………………………………………….21
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kita
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan kasih sayangnya
kepada kita semua sehingga kita bisa menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam kita
sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW mudah-mudahan kita akan mendapatkan
syafaatnya amin.
Dengan menyelesalesaikan tugas ini kami harapakan bisa
menyempurnakan tugas yang diberikan. Walaupun tugas ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu kami mohon saran dan kritik yang membangun untuk
tercapainya hasil yang lebih baik lagi.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana
yang telah kit ketahui bahwa yang namanya sejarah adalah merupakan sesuatu
yang penting. Karena sejarah adalah
sebuah kisah nyata yang terjadi di masa lalu atau masa yang sudah terlewat.
Maka dari itu orang yang tidak tau sejarah akan cendrung kepada hidup seenaknya
tanpa mengambil pelajaran dari yang sudah terjadi dan termasuk orang yang tidak
mengenal dirinya karena tidak tau sejarah. Sejarah sebagai pelajaran bagi kita
penerus sejarah agar kebaikan yang sudah ada atau sudah dilakukan pendahulu
kita kita lanjutkan dan sesuatu kejelekan yang sudaah terjadi jangan sampai
terulang atau kita ulangi dan kita lakukan karena kita jadikan sebagai
pelajaran.
Terutama kita
sebagai mahasiswa dan mahasiswi dari jurusann manajemen pendidikan islam
alangkah baiknya kita mengetahui tentang sejarah pendidikan islam sebagi referensi,
pelajaran kita dimasa yang akan datang karena memang kelak kita orientasinya
menuju dalam bidang pendidikan terlebih lagi sebagai pemimpin sebuah lembaga
pendidikan agar kita berusaha dan berdoa untuk yang terbaik bagi lembbaga
pendidkan agar kita menuai hasil yang baik. Dalam hal ini kami menjelaskan
tentang sejarah pendidikan pada masa dinasti fatimiyah.
B. Masalah atau Topik Bahasan
a. Bagaimanakah sejarah
berdirinya dinasti fatimiyah?
b. Bagaimanakah sejarah
pendidikan dimasa dinasti fatimiyah?
c. Apa saja kemajuan dan
kemunduran dari Dinasti Fatimiyah?
C. Tujuan Penulisan Makalah
a. Menjelaskan sejarah
pendidikan dimasa dinasti fatimiyah.
b. Menjelaskan proses
pendidikan dimasa dinasti fatimiyah.
c. Untuk memenuhi tugas
mata kuliyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah
Fatimiyah
merupakan Dinasti Syi’ah Isma’iliyah yang pendirinya adalah Ubaidillah
al-Mahdi yang datang dari Syiria ke Afrika Utara yang menisbahkan nasabnya
sampai ke Fatimah putri Rasulullah dan isteri Khalifah keempat Ali bin Abi
Thalib. Karena itu menamakan Dinasti Fatimiyah (Hoeve, 1994: 8). Namun kalangan
Sunni mengatakan Ubaidiyun. Konsep yang digunakan adalah Syi’ah radikal
Isma’iliyah dengan doktrindoktrinnya yang berdimensi politik, agama,
filsafat, dan sosial. Serta para pengikutnya mengharapkan kemunculan al–Mahdy. Ubaidillah
dengan dukungan kaum Barbar, pertama dapat mengalahkan Gubernur-Gubernur
Aghlabiyah di Ifriqia, Rustinia Khoriji di Tahar dan menjadikan Idrisiyah Fez sebagai
bawahannya, saat pemerintah pertama kali ialah di al-Mahdiyah sekitar Qairawan yang
kemudian Fatimiyah mengembangkan sayapnya ke daerah sekitarnya serta menduduki
Mesir yang kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Kairo (al-Qohirah “yang
berjaya”) atas prakarsa jenderal Jauhar Atsaqoli (Mufrodi,1997: 116).
Dalam bersaing
dengan pemerintahan Abbasiyah, Fatimiyah memindahkan Ibu kotanya dari al-Mahdi
ke Kairo. Dan Juga memberi gelar kepada Khalifah-Khalifah Fatimiyah sebagai
Khalifah sejati. Begitu juga dia menyebarkan dai-dainya keluar Mesir yang
mereka itu lulusan dari Universitas al-Azhar. Pada masa pemerintahan Fatimiyah timbul
perang Salib dan muncul gerakan-gerakan Syi’ah yang ekstrim yang disebut Druze yang
dipimpin oleh Darazi (Bosworth, 1993: 71). Fathimiyyah adalah Dinasti syi’ah
yang dipimpin oleh 14 Khalifah atau imam di Afrika dan Mesir tahun 909–1171 M,
selama lebih kurang 262 tahun. Para kahlifah tersebut adalah :
1.
‘Ubaidillah al Mahdi (909-924 M)
2.
Al–Qa’im (924-946 M)
3.
Al–Manshur (946-953 M)
4.
Al–Mu’izz (953-975 M)
5.
Al–‘Aziz (975-996 M)
6.
Al–Hakim (996-1021 M)
7.
Azh–Zhahir (1021-1036 M)
8.
Al–Musthansir (1036-1094 M)
9.
Al Musta’li (1094-1101 M)
10.
Al–Amir (1101-1131 M)
11.
Al–Hafizh (1131-1149 M)
12.
Azh–Zhafir (1149-1154 M)
13.
Al–Faiz (1154-1160 M)
14.
Al–‘Adhid (1160–1171 M)
Namun sejak
tahun 1131 M, merupakan masa peralihan pemerintahan dari “Khalifah” ke “wali”.
Hal ini terjadi ketika Dinasti Fatimiyah diperintah oleh alHafizh (sebagai wali
bukan sebagai Khalifah). Pada tahun 1094 M, setelah al-Muntasir wafat, terjadi
perpecahan dalam gerakan Isma’iliyah, yaitu kelompok Nizar yang sangat ekstrim
dan Musta’ali yang lebih moderat. Dia mempertahankan kekhalifahan, namun basis
kespiritualan lebih banyak melemah. Berdirinya Dinasti ini bermula menjelang
abad ke-X, ketika kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan wilayah
kekuasaannya yang luas tidak terkordinir lagi. Kondisi seperti inilah yang
telah membuka peluang bagi munculnya
Dinasti-Dinasti
kecil di daerah-daerah, terutama di daerah yang Gubernur dan sultannya memiliki
tentara sendiri. Kondisi ini telah menyulut pemberontakan-pemberontakan dari kelompok-kelompok
yang selama ini merasa tertindas serta memberi kesempatan bagi kelompok Syi’ah,
Khawarij, dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan politik. Dinasti Fathimiyah
bukan hanya sebuah wilayah gubernuran yang independen, melainkan juga merupakan
sebuah rezim revolusioner yang mengklaim otoritas universal. Mereka
mendeklarasikan adanya konsep imamah yakni para pemimpin dari keturunan
Ali yang mengharuskan sebuah redefinisi mengenai pergantian sejarah Imam atau
mengenai siklus eskatologis sejarah.
Dinasti
Fathimiyah berkuasa mulai (909–1173 M) atau kurang lebih 3 abad lamanya. Dinasti
ini mengaku keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Fatimah az-Zahro. Kelompok
Syi’ah berpendapat bahwa Ismail bin Ja’far as-Sadiq yang wafat (765 M), bukannya
Musa saudaranya Ismail, yang berperan sebagai imam ketujuh menggantikan ayah
mereka (imam Ja’far). Berdasarkan kepemimpinan Ismail inilah sebuah gerakan politik
keagamaan Ad da’wah Fatimiyah diorganisir. Gerakan ini berhasil merealisir pertama
kali pembentukan pemerintahan Syi’i yang eksklusif. Sedangkan kebanyakan kaum
sunni yang mengatakan bahwa Dinasti Fatimiyah keturunan dari Ubaidillah
al-Mahdi, disebut Dinasti Ubaydiun (Khalifah I Dinasti Fatimiyah) dan berasal
dari Yahudi.
Gerakan Syi’ah
Fatimiyah ini membuktikan pada Dunia, bahwa potensi doktrin mesianik dan sentralistik.
Walaupun Syi’ah menganggap Ismail sebagai Imam mereka, tetapi Isma’il tidak
berperan secara independen, karena ia mati muda, bahkan sebelum ayahnya (Imam
Ja’far). Kondisi inipun tidak menghalangi perkembangan doktrin Ismaili, dengan
dominasi dari bani Abbasiyah, karena dua golongan ini merasa bersaudara. Ini berangkat
dari Umul Fadhl pernah menyusui Husain anak Fatimah dan Ali, ketika melahirkan
Dotham. Jadi menurut mereka bani Abbasiyah dan Syi’ah Fatimiyah merupakan
saudara sesusuan.
Keberhasilan
menancapkan doktrin Ismaili, dalam perkembangannya mampu memberi perlindungan
imam-imam mereka di Salamiyah, Siria dan telah memudahkan pengorganisasian
dakwah Fatimiyah. Meskipun dakwah Fatimiyah ini dimulai sejak dini, namun baru
pada masa Abu Ubaidillah Husein, generasi keempat setelah Ismaili, baru mulai
berkembang pesat. Doktrin dakwah populer yang disebarkan pada saat itu ialah berhaknya
anak Ubaidillah atas posisi penyelamat (al-Mahdi). Doktrin ini menggunakan sistem
jaringan para agen (du’ah jamak dari da’i), sehingga sangat
efektif dan terorganisir secara rapi.
Ubaidillah yang
memimpin dakwahnya dari Salamiyah dan Siria ke Afrika Utara, dimana propaganda
Syi’ah telah berkembang dengan pesat. Ia memimpin dakwahnya dengan memenangkan
dukungan luas dari daerah-daerah yang kurang diperhatikan oleh Kholifah
Abbasiyah. Lewat da’i seperti Ali bin Fadl al-Yamani dan Ibnu al-Hawsyab
al-Kufy, Yaman, termasuk ibu kotanya, dapat direbut. Dengan dikuasainya Yaman, Dia
dapat menyebarkan para da’i ke berbagai daerah, termasuk Afrika Utara, belahan
timur antara Arabia dan India. Juga Afrika Barat dengan da’i Abu Abdullah
asy-Syi’i. Yang mengemukakan konsep akan datangnya Imam Mahdi , dari keturunan
Nabi. Para da’I tersebut akhirnya berhasil menjadikan kaum Barbar sebagai
pendukung kepemimpinan Ubaidillah al-Mahdi. Selanjutnya, atas dukungan besar
inilah, asy-Syi’i berhasil menduduki Roaqadah, pusat pemerintahan Dinasti
Aghlabiyah. Akhirnya al-Mahdi yang baru menggantikan ayahnya, datang ke Tunis
untuk dinobatkan sebagai Khalifah (909 M).
Karena tidak
menguasai daerah kekuasaannya, maka ia banyak menggantungkan pada da’i, seperti
asy-Syi’i. Namun karena yang disebut belakangan rupanya banyak memberikan
harapan dan konsesi terhadap penduduk lokal, maka ia dianggap kurang memenuhi
program al-Mahdi yang luas. Kemudian al-Mahdi membersihkan figur-figur yang dicurigai,
termasuk asy-Syi’i. Dalam masa pemerintahannya, untuk memperluas kekuasaannya,
yang bermaksud memberikan kompensasi pada kaum Barbar, ia mengadakan ekspedisi
wilayah laut tengah, seperti; Genoa, Sisilia, Mesir.
Keberhasilan
pemerintahan Fatimiyah ini ditandai dengan pindahnya pusat pemerintahan ke
Kairo. Hampir seluruh daerah Afrika Utara bagian Barat dapat dikuasai Fatimi,
terutama setelah menaklukan wilayah Maghrib yang dipimpin Jawhar asy-Siqilli (969
M) dan menaklukkan Dinasti terakhir di Fusthath Ikhsyidiyyah. Disana juga mulai
membangun ibu kota baru di Mesir, yaitu al-Qohirah (970 M) serta Masjid
al-Azhar sebagai pusat pendidikan para da’i dan Khalifah al Muizz pindah ke ibu
kota baru tahun (973 M). Dinasti Fatimiyah ini akhirnya makin berkembang dalam
berbagai aspek kehidupan, karena ditopang dengan kekuasaan yang luas dan mampu
membangkitkan berbagai macam aksi yang bersifat wacanis (keilmuan),
perdagangan, keagamaan, walaupun peralihan kekuasaan ke wilayah timur,
berlahan-lahan melenyapkan kekuasaan mereka dibagian Barat. Terbukti, wakil
mereka di Tunis, Bani Ziri (1041 M) menyatakan tak terikat dengan pemerintahan
Fatimiyah.
Pada masa
pemerintahan al-Mustanshir (1036-1094 M) Dinasti Fatimiyah mencapai puncak
kekuasaannya setelah terlibat konflik dengan Yunani tentang masalah Suriah.
Para Khalifah Fatimi umumnya membina hubungan damai dengan Byizantium, kemudian
bersatu karena ancaman-ancaman Petualang Seljuk dan Trukmen di Suriah dan
Anatholia pada abad II. Tetapi pada akhir abad 11 terjadi aksi Salib I yang
mengancam penguasa-penguasa Turki Suriah. Para Khalifah Fatimiyah, pada
pertengahan abad 12 bekerja sama dengan Dinasti Zangiyyah; Nuruddin dari Aleppo
dan Damasqus untuk melawan tentara Salib (The Crusaders II). Setelah Ascalon
jatuh ke tangan tentara Salib, Dinasti Fatimiyah mulai terpecah-belah. Para
Khalifah kehilangan kekuasaan dan para Wazirnya (Gubernur) memegang
kepemimpinan ekskutif dan militer. Dari sini Dinasti Fatimiyah di akhiri oleh serangan
Sahadin (Shalahudin), keponakan yang cakap sebagai pengganti Syirkuh yang menguasai
Mesir (1173 M) di bawah pemerintahan Nuruddin putra Zangi dari Dinasti Ayyubiyah.
Sekitar tahun
1171 M, Dinasti Fatimiyah ini berakhir. Dinasti ini banyak mencapai kemajuan
peradaban dan peningkatan ekonomi dan penyebab kemunduran dan kehancuran
Fatimiyah disebabkan karena perpecahan di antara para khalifahnya (Glasse,1996:43).
1. Perjalanan Pemerintahan
Menurut As’adi (2001:77), dalam
perjalanan pemerintahannya, Daulah Fathimiyyah melalui dua fase, yaitu :
a. Fase Konsolidasi (969-1021 M)
Pada fase ini
sempat terjadi perang saudara antara Turki dan Barbar, yang keduanya merupakan
kelompok yang turut mendirikan Dinasti Fathimiyyah. Barbar memberikan dukungan
sepenuhnya kepada Daulah Fathimiyyah karena awalnya Barbar-lah yang mengusai
anggota pemerintahan. Banyak diantara bangsa Barbar yang diangkat menjadi pemerintahan.
Keadaan ini berlangsung sampai masa pemerintahan Al – Muizz li Dinillah.
Sedangkan pada
masa pemerintahan Az Zahir dan Al – Munthasir Khalifah lebih dekat dengan
keturunan Turki. Sehingga muncullah dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar, sejak
saat itulah Barbar kehilangan kedudukan dalam pemerintahan. Untuk lebih
mengenal keadaan dalam fase ini, baik tentang pemimpin/Khalifah, roda pemerintahan,
kebijakan pemerintah, dan situasi yang dihadapinya, akan dijelaskan sebagai
berikut :
1) Al–Mahdi (909-924 M)
Ubaidillah
al–Mahdi adalah Khalifah pertama Dinasti Fathimiyyah. Dia datang dari Afrika
Utara, dimana propaganda Syi’i telah menciptakan kondisi yang baik bagi kedatangannya.
Dengan dukungan kaum Barbar Ketama, dan menumbangkan Gubernur- Gubernur
Aghlabiyah di Ifriqiyyah dan Rustamiyah Khariji di Tahari, dan menjadikan Idrisiyah
Fez sebagai penguasa bawahannya. Pada tahun 909 M, dialah yang memproklamasikan
berdirinya khilafah Fathimiyyah yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia
dibantu oleh Abdullah Asy-Syafi’i dalam mengkonsolidasikan khilafahannya di
Tunisia. Dalam proses tersebut, pada tahun 920 M, ia telah berhasil mendirikan
sebuah kota yang baru dan dijadikan sebagai ibukota, yaitu Mahdiah yang
terletak di pesisir pantai Tunisia.
Selama
menjalankan pemerintahannya, ia telah berhasil menghalau para pemberontak yang
dipimpin oleh Abu Abdullah al Husyain dan memperluas wilayahnya sampai propinsi
Fez di Maroko bahkan telah merebut Alexandria. Perlawanan juga datang dari
kelompok pendukung Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke Dinasti Umaiyah di Andalusia
maupun kelompok Khawarij dan Barbar (Hoeve, 1994:10).
2) Al–Qa’im ((924-946 M)
Setelah al–Mahdi meninggal, ia
diganti oleh putranya yang bernama Abdul Qasim dan bergelar Al–Qa’im. Ia
meneruskan kebijakan yang diambil ayahnya dengan mengirimkan armadanya dan
mampu menghancurkan pesisir selatan Perancis, Genoa dan sepanjang pesisir
Calabria tahun 934 M. Akan Tetapi ia tidak berhasil dalam memadamkan pemberontakan
oleh Abu Yazid yang berlangsung selama tujuh tahun. Abu Yazid yang berulangkali
menaklukan pasukan Al–Qa’im akhirnya berhasil mengepung Susa. Dengan wafatnya
Al–Qa’im pada tahun 946 M, maka berakhirlah kekuasaannya dan dilanjutkan oleh
putranya Al–Manshur.
3) Al–Manshur (946-953 M)
Perjuangan yang
dilakukan oleh ayahnya telah mencapai keberhasilan yang gemilang dibawah
kekuasaannya. Ia adalah seorang pemuda yang cerdik dan energik hingga ia berhasil
menghentikan pemberontakan Abu Yazid yang terjadi di masa pemerintahan ayahnya.
Ia berhasil menundukkan Abu Yazid dan pasukannya. Bahkan mereka turut membantu
ekspansi hingga ke seluruh Afrika, disanalah ia membuat kota yang diberi nama
al–Mashuriyah.
4) Al–Mu’iz (953-975 M)
Keberhasilan
yang telah dicapai Al–Manshur dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abu Tamim
Ma’ad dengan gelar al Mu’iz. Ia telah membuat pencerahan pada Dinasti Fathimiyyah,
dengan melaksanakan kebijaksanaan besar, yaitu :
a.Pembaharuan dalam bidang administrasi dengan mengangkat seorang wazir (menteri) untuk
melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.
b.Pembangunan ekonomi, dengan memberi gaji khusus pada tentara,
personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya.
c.Toleransi beragama (juga aliran) dengan mengadakan empat lembaga,
peradilan di Mesir, dua untuk madhab syi’ah dan untuk madhab sunni (Yatim,1993:
282).
Setelah basis
kekuasaan di Tunis kuat, Khalifah Fathimiyyah dapat menguasai Mesir pada tahun
969 M. Penguasaan ini diawali dengan diutusnya panglima Jauhar al–Katib as– Siqili
dengan perlengkapan dan kekayaan yang diperoleh dari basis mereka di Ifriqiyah sebagai
persiapan ke arah Timur. Jauhar berhasil memasuki Fustat dan menyingkirkan Dinasti
Ikhsidiyyah. Setelah Mesir dapat dikuasai, ia membangun sebuah ibukota baru di Mesir
yaitu Kairo Baru (al–Qahirah,artinya yang berjaya) (Bosworth, 1993: 71). Kairo
dibangun dengan sejumlah istana kebesaran dan masjid-masjid agung yang merupakan
sebuah kota kerajaan yang dirancang sebagai wujud bagi kebesaran kerajaan (Lapidus,
1999: 536). Masjid itu adalah masjid
Al Azhar yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan selanjutnya masjid ini menjadi sebuah akademik dan pada kurun
waktu itu Al Azhar menjadi Universitas yang sangat terkenal dikalangan akademik
(As’adi, 2001:115). Selama 23 tahun, masa kepemimpinan al-Mu’iz,
pemerintahannya berjalan gemilang. Ia meninggal pada tahun 975 M. Dialah
Khalifah termashur dalam kekhalifahan Fathimiyyah di Mesir. Ia mempunyai
kelebihan–kelebihan baik di bidang seni, satra dan pengajaran ditambah dengan
pengetahuannya yang luas, maka tidak heran jika pada masa Al–Muiz inilah awal
kemajuan Fathimiyyah.
5) Al–‘Aziz (975-996 M)
Al–Aziz putra Al–Muiz dengan sifat
pemberani, bijaksana, penyayang, ramah dan pendamai membuatnya berhasil
mengadakan ekspansi wilayah secara besar-besaran. Seluruh Syiria sebagian
Mesopotamia, dan dari pesisir Eupharates sampai Atlantik telah berhasil
dikuasainya, bahkan saat itu Fathimiyyah menjadi rival yang berat bagi
Abbasiyah di Baghdad. Rupanya ia mewarisi keahlian ayahnya dibidang seni. Ini
tampak pada arsitektur Golde Palace (tempat yang sangat indah), The Perl
Pavilion (Paviliun yang luasannya banyak terbuat dari mutiara) dan masjid
ayahnya di kuburan Karava. Pada masa inilah Dinasti Fathimiyyah mencapai puncak
kejayaannya.
6) Al-Hakim (996-1021 M)
Al–Hakim adalah seorang penguasa
yang sangat kejam, ia membunuh sejumlah tokoh kerajaan tanpa alasan. Ini
disebabkan karena usianya yang masih muda (11 tahun) ketika menjadi penguasa menggantikan
ayahnya pada tahun 996 M, sehingga dengan mudah gubernurnya yang tak bermoral
yang bernama Barjawan dapat menguasainya dengan penuh. Pada awal
pemerintahannya, tidak ada kestabilan. Secara komparatif kaum Kristen dan
Yahudi diperlakukan dengan baik. Bahkan sebagian dari mereka menduduki jabatan yang
tinggi dalam negara. Selama pemerintahan Al–Hakimlah gerakan religius Syi’i
yang ekstrem, yaitu Druze muncul di Suriah Selatan dan Lebanon, karena Al–Hakim
memberikan semangat pada pendirinya, yaitu da’i Al–Darazi, maka Druze memandang
Khalifah Al–Hakim sebagai titisan Tuhan (Bosworth, 1993:72). Meskipun kekejaman
mewarnai kekhalifahannya, ia berhasil membangun banyak masjid, dan bangunan
yang paling terkenal sampai sekarang yaitu Dar al-Hikmah yang dibangun
tahun 1306 M, tempat bertemunya berbagai pujangga dan mempromosikan pendidikan
dan Syiah.
b. Fase Parlementer
Setelah melalui
fase konsolidasi, selanjutnya Dinasti Fathimiyyah memasuki fase parlementer.
Suatu fase dimana banyak sekali muncul permasalahan–permasalahan yang rumit
sebagai suatu kelanjutan dari kekuasaan/kejayaan yang dicapai pada fase konsolidasi.
Masa ini disebut juga dengan “Ahdu Mufuzil Awzara” atau masa pengaruh menteri-menteri
mulai dari Az Zahir, sampai dengan Al ‘Adhid. Pada fase ini memperlihatkan
kemunduran tatanan politik, yakni periode peperangan antar fraksi-fraksi
militer dan pembagian negeri ini menjadi sejumlah iqta’ yang dikuasai oleh
pejabat-pejabat-pejabat militer yang berpengaruh (Lapidus, 1999: 538). Sebuah peperangan telah terjadi
dalam fase ini yakni perang Salib. Perang yang terjadi di awal kekuasaan
al-Munthasir ini diawali dengan ekspansi yang dilakukan Fathimiyyah dari Mesir
sampai ke Palestina dan Syiria. Perang Salib semula terbentuk dari serangan
balik bangsa Eropa yang bersifat umum terhadap kekuatan Muslim di wilayah Laut
Tengah. Terjadinya aksi Salib (Crusade) pertama pada akhir abad kelima,
dan ini lebih mengancam penguasa-penguasa Turki di Syiria daripada Fathimiyyah,
karena sebetulnya saat itu Fathimiyyah tidak menguasai wilayah di Utara Asealon
di Palestina. Melalui jalur laut dan darat pasukan Eropa bergerak ke arah
timur. Antara 1099-1109 M mereka menaklukan Edessa, Antioch, dan Tripoli, dan
mendirikan sebuah kerajaan Latin di Yerussalem. Dewan pendeta Latin menguasai
pemerintahan Kristen di kota suci ini, tetapi sekte-sekte Kristen timur tidak
disisihkan begitu saja.
Respon Muslim
terhadap perang Salib ini cukup lamban, bahkan respon tersebut cenderung pada
upaya pengaturan Mesir dan Syiria kedalam sebuah imperium Muslim. Daerah-daerah
yang merasa tidak mampu menghadapi ancaman perang Salib membuka pintu untuk
mengadakan kerjasama militer dengan negara-negara Islam lainnya. Namun secara
bertahap serangan balik Muslim semakin gencar yang dapat digambarkan melalui
tiga fase (Lapidus, 1999:542). Fase pertama terjadi sebelum Fathimiyyah
ditaklukan oleh Ayyubiyah. Sedangkan pada fase kedua dan ketiga Nur Al Din sudah
mulai berkuasa.
2. Kemunduran Dinasti Fatimiyah
Sesudah berakhirnya masa pemerintahan
Al-Aziz, pamor Dinasti Fatimiyyah mulai menurun. Kalaupun pada masa
al-Munthasir sempat mengalami kejayaan, itu tidaklah seperti apa yang telah
dicapai oleh al-Aziz. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Dinasti
Fathimiyah adalah :
a.Para penguasa yang selalu tenggelam dalam
kehidupan yang mewah.
b.Adanya pemaksaan ideologi Syi’ah kepada masyarakat yang mayoritas
Sunni.
c.Terjadinya
persaingan perebutan wazir.
d.Kondisi
al-‘Adhid (dalam keadaan sakit) yang dimanfaatkan oleh Nur ad-Din.
Dalam kondisi khilafah
yang sedang lemah, konflik kepentingan yang berkepanjangan diantara pejabat dan
militer. Merasa tidak sanggup, akhirnya al-Zafir meminta bantuan kepada Nur
al-Din dengan pasukan yang dipimpin oleh Salah al-Din Al-Ayyubi. Mula-mula dia
berhasil membendung invasi tentara Salib ke Mesir. Akan tetapi kedatangan Salah
al Din untuk yang kedua kalinya tidak hanya memerangi pasukan Salib, tetapi
untuk menguasai Mesir.
Dengan dikalahkannya tentara Salib
sekaligus dikuasainya Mesir, maka berakhirlah riwayat Dinasti Fatimiyah di
Mesir pada tahun 1171 M yang telah bertahan selama 262 tahun.
3. Kemajuan-Kemajuan Dinasti Fatimiyah
Selama kurun
waktu 262 tahun, Fatimiyah telah mencapai kemajuan yang pesat terutama pada
masa Al-Muiz, Al-Aziz dan Al-hakim. Kemajuan-kemajuan itu mencakup berbagai
bidang, yaitu :
a.Kemajuan dalam hubungan perdagangan dengan Dunia non Islam,
termasuk India dan negeri-negeri Mediteramia yang Kristen.
b.Kemajuan di bidang seni, dapat dilihat pada sejumlah dekorasi dan
arsitektur istana.
c.Dalam bidang pengetahuan dengan dibangunnya Universitas Al–Azhar.
d.Di bidang ekonomi, baik sektor pertanian, perdagangan maupun
industri.
e.Di bidang
keamanan.
4. Peninggalan Bersejarah Dinasti Fatimiyah
Di antara peninggalan Dinasti Fatimiyah, ada dua bangunan yang amat
bersejarah dan keberadaannya hingga kini masih bisa dirasakan, bahkan mengalami
perkembangan pesat. Peninggalan-peninggalan itu adalah :
a.Universitas
Al–Azhar yang semula adalah masjid sebagai pusat kajian. Masjid ini didirikan
oleh al-Saqili pada tanggal 17 Ramadlan (970 M). Nama Al–Azhar diambil dari al-Zahra,
julukan Fatimah, putri Nabi SAW dan istri Ali bin Abi Thalib, imam pertama Syi’ah.
b.Dar
al-Hikmah (Hall of Science), yang terinspirasi dari lembaga yang sama yang
didirikan Al Makmun di Baghdad.
B. Sejarah Pendidikan Masa Dinasti Fatimiyah
Pada masa-masa awal, proses pendidikan Islam berlangsung di
tempat-tempat yang merupakan pusat ibadah (masjid). Namun karena banyaknya umat
Islam yang berminat untuk belajar sedangkan kapasitas masjid tidak lagi
mencukupi, juga meng-ganggu kegiatan orang-orang yang beribadah, institusi
pendidikan mulai mengada-kan pembenahan-pembenahan.[1]
Ibnu Killis adalah salah seorang tokoh dan pelopor perkembangan
pendidikan pada kekhalifahan Fatimiyah di Mesir. Ia mendirikan sebuah
universitas dan meng-habiskan ribuan dinar per bulan untuk membiayainya. Di
bawah kekuasaannya, ter-sebutlah seorang dokter yang sangat terkenal bernama
Muhammad al-Tamim, yang lahir di Yerussalem dan pindah ke Mesir sekitar tahun
970 M.11 Salah satu fondasi ter-penting yang dibangun pada masa Fatimiyah
adalah pembangunan Dar al-Hikmah (rumah kebijaksanaan) atau Dar
al-‘Ilm (rumah ilmu) yang didirikan oleh al-Hakim pada tahun 1005 sebagai
pusat pembelajaran dan penyebaran ajaran Syi’ah ekstrim.[2]
Perpustakaan Dar al-Hikmah di Kairo ini didirikan oleh
al-Hakim Biamrillah. Perpustakaan ini dibuka pada tanggal 10 Jumadil Akhir
tahun 395 H, setelah dileng-kapi perabotan dan hiasan. Pada semua pintu dan
lorongnya dipasangi tirai. Di per-pustakaan tersebut ditempatkan para
penanggung jawab, karyawan, dan petugas. Di-himpun pula buku-buku yang belum
pernah dihimpun oleh seorang raja pun. Per-pustakaan itu mempunyai 40 lemari.
Salah satu lemari memuat 18.000 buku tentang ilmu-ilmu kuno. Semua orang boleh
masuk ke situ. Di antara mereka ada yang da-tang untuk membaca buku, menyalin,
atau belajar. Di tempat tersebut terdapat segala sesuatu yang diperlukan oleh
pengunjung (tinta, pena, kertas, dan tempat tinta).[3]
Untuk mengembangkan institusi ini, al-Hakim mengeluarkan dana
sebesar 257 dinar di antaranya digunakan untuk menyalin berbagai naskah, memperbaiki
buku, dan pemeliharaan umum lainnya. Gedung ini dibangun berdekatan dengan
istana ke-rajaan yang di dalamnya terdapat sebuah perpustakaan dan ruang-ruang
pertemuan. Kurikulumnya meliputi kajian tentang ilmu-ilmu keislaman, astronomi,
dan kedok-teran.
Pada masa al-Mustanshir, kegagalan atau kemunduran kerajaan yang
meng-akibatkan berkurangnya harta kekayaan, pada gilirannya menyebabkan
kemunduran lebih besar dengan banyaknya buku-buku yang hilang dari perpustakaan
kerajaan. Perpustakaan itu sendiri mulai didirikan pada masa al-‘Aziz, ketika
itu memiliki ku-rang lebih 200.000 buku dan 2.400 eksemplar al-Quran yang
dihiasi ornamen-or-namen indah. Salah satu koleksi langka perpustakaan ini
adalah naskah-naskah hasil karya Ibn Muqlah dan ahli-ahli kaligrafi lainnya. Di
perpustakaan ini pula al-‘Aziz menyimpan salinan tulisan tangan untuk buku
sejarah karya al-Thabari. Pengganti al-Mustanshir membangun kembali sebuah
perpustakaan. Ketika satu abad kemudian Shalah-al-Din menguasai istana
kerajaan, perpustakaan istana itu masih menyimpan sekitar 100.000 jilid buku,
sebagian dari buku-buku itu disertai harta rampasan lain-nya dibagikan kepada
bawahannya. Bangunan tua yang masih bertahan hingga kini
adalah masjid al-Azhar yang didirikan oleh Jauhar as-Siqili. Meskipun sudah
pernah dipugar, keaslian bagian te-ngahnya yang merupakan pusat bangunan ini
tetap dipertahankan. Bagian ini diba-ngun dari batu bata, mengikuti model
masjid Ibnu Thulun, yang memiliki sudut mih-rab, dan secara umum berbeda jauh
dengan gaya Persia. Menara masjid ini berbentuk bundar konvensional.
Seni penjilidan buku di dunia Islam yang paling
pertama dikenal datang dari Mesir sekitar abad ke-8 atau 9.[4]
Teknik dan dekorasi yang mereka miliki bersanding indah dengan daya tarik seni
penjilidan koptik yang lebih dulu muncul, dan yang nyata-yata menjadi patokan
keahlian menjilid. Setelah mazhab Mesir dalam seni pen-jilidan berkembang,
teknik menghiasi sampul buku dengan alat dan stempel menjadi teknik yang banyak
dipakai oleh para perajin yang menggunakan kulit.
1. Sejarah Lahirnya al-Azhar
Dari sekian universitas di dunia Islam, dua yang
tertua dan hingga kini masih ada,
adalah Universitas al-Karaouiyinne di Fez, Maroko dan al-Azhar di Kairo. Al-Azhar
merupakan lembaga pendidikan bertaraf internasional yang berpusat di Kairo,
Mesir. Kemampuannya menghadapi perubahan dan menjawab tantangan telah
ter-bukti. Al-Azhar mula-mula didirikan sebagai masjid oleh panglima
Fatimiyah,19 Jen-deral Jauhar as-Siqili pada tanggal 24 Jumadil Ula 359 H dan selesai
pembangunan-nya pada bulan Ramadhan 361 H,[5]
setelah Mesir pada tahun 969 (354 H) secara penuh dikuasainya. Menurut sumber
yang dikutip Van Houve dalam Ensiklopedi Islam menyebutkan bahwa
al-Azhar berdiri pada tahun 359 H/970 M. Mahmud Yunus da-lam bukunya Sejarah
Pendidikan Islam mengutip berdirinya al-Azhar pada Tahun 358 H. Adapun
waktu pembangunan al- Azhar hingga selesai tidak ada perbedaan yaitu setahun.
Nama masjid al-Azhar merupakan nama yang
dinisbatkan kepada putri Nabi Muhammad Saw. Fatimah al-Zahrah. Sebelumnya nama
masjid tersebut adalah al-Qahirah yang berarti sama dengan nama kota, yaitu
Cairo, dan dikaitkan dengan ka-ta-kata al-Qohirah al-Zahirah yang
berarti kota yang cemerlang.23 Baru setelah 26 bulan berlalu, al-Azhar dibuka
untuk umum, tepatnya pada bulan Ramadhan 361 H dengan diawali kuliah agama
perdana oleh al-Qodi Abu Hasan al-Qoirowani pada masa pe-merintahan Malik
al-Nasir.
Masjid al-Azhar adalah pusat ilmu pengetahuan,
tempat diskusi bahasa dan ju-ga mendengarkan kisah dari orang yang ahli
bercerita. Masjid ini sebenarnya diper-untukkan bagi Dinasti Fatimiyah yang
sedang bersaing dengan kekhalifahan di Bagh-dad. Usaha yang dilakukannya ialah
dengan mengajarkan mazhab Syi’ah kepada ka-der-kader mubaligh yang bertugas
meyakinkan masyarakat akan kebenaran mazhab yang dianutnya. Dia merupakan
lembaga Fatimiyah sebagai pusat latihan kader penyebar ideologi Syi’ah yang
mengancam otoritas Abbasiyah Sunni. Maka dinasti Saljuk Abbasiyah mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan teologi ortodoks sebagai upaya mengimbangi upaya
al-Azhar. Sebagai sebuah gerakan politik dan keagamaan, Khalifah Fatimiyah
menaruh perhatian khusus atas penyebaran doktrin-doktrin tertentu (dakwah
Fathimiyah) melalui para “kader” (dai). Program yang dilontarkan
kaum Fathimiyyin meliputi dua tahap: tahap pertama, pelaksanaan
pengajaran serta pemben-tukan undang-undang; tahap kedua, dakwah secara
rahasia.
Untuk memenuhi kebutuhan terhadap tenaga para dai
inilah al-Azhar kemudi-an ditingkatkan peranannya bukan hanya sebagai masjid
melainkan juga sebagai lembaga pendidikan yang terorganisir di bawah pengawasan
khalifah. Al-Azhar pada masa Dinasti Fathimiyah merupakan lembaga pendidikan
yang menjadi corong dan alat untuk propaganda kekuasaan kekhalifahan, sekaligus
sebagai alat penyeba-ran doktrin ajaran syi’ah.
Al-Azhar tampak berbeda dengan madrasah
sebelumnya. Pada lembaga ini su-dah dilengkapi dengan asrama untuk guru-guru
dan para mahasiswa, juga aula besar (iwan) yang dipergunakan untuk
kuliah umum. Iwan merupakan bagian yang sangat penting bagi al-Azhar.
Pelaksanaan proses belajar mengajar di al-Azhar mengacu kepa-da
aturan-aturan yang ditetapkan oleh pengelola madrasah. Peranan al-Azhar
seba-gai madrasah yang menyelenggarakan pendidikan tingkat tinggi, menurut
Philip K. Hitti merupakan lembaga pendidikan tingkat tinggi (institution of
higher education) atau college (akademi menurut perbandingan
pendidikan sekarang).
Al-Azhar pada masa Dinasti Fathimiyah merupakan
lembaga pendidikan yang menjadi corong dan alat untuk propaganda kekuasaan
kekhalifahan, sekaligus sebagai alat penyebaran doktrin ajaran syi’ah. Pada
masa itu, sistem pengajaran terbagi menjadi empat kelas, yaitu: Pertama,
kelas umum diperuntukkan bagi orang yang datang ke al-Azhar untuk mempelajari
al-Quran dan penafsirannya; Kedua, kelas para mahasiswa Universitas
al-Azhar kuliah dengan para dosen yang ditandai dengan mengajukan pertanyaan
dan mengkaji jawabannya; Ketiga, Kelas Darul Hikam, kuliah formal
ini diberikan oleh para mubaligh seminggu sekali pada hari Senin yang dibuka
untuk umum dan pada hari Kamis dibuka khusus untuk mahasiswa pilihan. Keempat,
kelas nonformal, yaitu kelas untuk pelajar wanita.[6]
Pada mulanya pengajaran di Universitas al-Azhar
sama dengan institusi pen-didikan yang lain, yaitu sistem halaqah (melingkar).
Seorang pelajar bebas memilih guru dan pindah sesuai dengan kemauannya. Umumnya
guru atau syaikh yang mengajar itu duduk bersama para pelajar, tetapi guru
kadang-kadang duduk di kursi ketika menerangkan kitab yang diajarkannya. Di
samping itu, metode diskusi sangat dikembangkan sebagai metode dalam proses
pembelajaran antarpelajar. Seorang guru hanya berperan sebagai fasilitator dan
memberikan penajaman dari materi yang didiskusikan.
Pada masa khalifah al-Aziz Billah, 387 H/988 M
dengan usaha wazirnya, Yakub Ibn Kills, al-Azhar dijadikan sebagai Universitas
Islam yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, ilmu akal (logika) dan ilmu umum
lainnya. Untuk menunjang kegiatan pen-didikan dan pengajaran, al-Azhar
dilengkapi dengan asrama untuk para fuqaha (do-sen, tenaga pendidik) serta
semua urusan dan kebutuhannya ditanggung oleh khali-fah.
Al-Azhar mempunyai peranan penting dalam
perkembangan pendidikan di Eropa. Pemakaian seragam sekolah, pengembangan
tradisi pembantahan, penjurusan dua buah fakultas. Fakultas graduate dan
undergraduate berasal dari tradisi al-Azhar dan menunjukkan pengaruh
kuat lembaga al-Azhar.
Perubahan orientasi al-Azhar terjadi menyusul
ambruknya kekhalifahan Fati-miyah di Kairo. Setelah hampir 200 tahun digunakan
Bani Fatimiyah sebagai basis pendidikan dan penyebaran doktrin-doktrin Syi’ah,
al-Azhar diambil alih Salahuddin al-Ayyubi untuk dijadikan madrasah-masjid yang
berorientasi Sunni. Berlainan de-ngan Bani Fatimiyah yang menekankan pengajaran
filosofis dan teologis, Dinasti Ay-yubi, sebagaimana penguasa dan pemuka Sunni
yang lain, lebih mementingkan pengajaran fikih dalam madrasah yang mereka
kelola, termasuk al-Azhar. Pengam-bilalihan ini, sebenarnya telah mereduksi
posisi al-Azhar yang berorientasi supralokal menjadi lembaga yang berwawasan
sempit dikarenakan lingkup politik Dinasti Ay-yubiyah yang bercorak lokal. Hanya
karena peranan Kairo yang strategis dalam per-jalanan sejarah Islam akhirnya
bisa diperoleh kembali dan dipertahankan, khususnya pada zaman modern. Setelah
al-Ayyub menaklukkan Mesir tahun 1171 M selama hampir satu abad dari tahun
1171-1267 M, al-Azhar dikosongkan. Pada abad kekosongan itu salat Jum-at di
masjid al-Azhar pun dilarang dan pindah ke masjid al-Hakim, karena mereka
berpemahaman tidak boleh ada dua khutbah di dalam satu kota. Semenjak itulah
Di-nasti Fatimiyah berakhir sehingga al-Azhar berubah menjadi universitas
Sunni. Ia te-lah mencapai prestasi yang gemilang dan reputasi sebagai otoritas
bidang keagamaan sampai sekarang tetap berlangsung. Tidak diketahui respons
negatif dari masyarakat sekitar al-Azhar tapi penulis berpendapat sekecil apapun
respons negatif itu pasti ada. Adapun respon positif telah diketahui dengan
semakin banyaknya umat Islam yang menuntut ilmu di al-Az-har, bukan saja dari
Mesir, melainkan dari seluruh dunia.
2. Tokoh Tokoh Pendidikan
Pada masa Daulah Fatimiyah, seiring dengan lahir
dan berkembangnya Univer-sitas al-Azhar, muncul pula tokoh-tokoh pendidikan
yang memegang peranan pen-ting pada masa itu, di antaranya.
Syaikh Imam Ibrahim al-Barmawi
Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Syihabuddin bin
Khalid al-Barmawi ketika belajar di al-Azhar mendalami bidang ilmu syariah dan
bahasa. Kemudian setelah lu-lus dari al-Azhar, ia langsung menjadi tenaga
pengajar di almamaternya. Kariernya berkembang cukup pesat sehingga beliau
pernah menjabat sebagai syaikh al-Azhar pada tahun 1694.
Syaikh
Muhammad Abbasi al-Mahdi al-Hanafi
Syaikh Muhammad Abbasi al-Mahdi al-Hanafi adalah
rektor Al-Azhar ke-21. Dia bermazhab Hanafi pertama yang memegang jabatan
rektor. Di antara pembaruan yang dilakukannya adalah pada bulan Februari 1872 M
memasukkan sistem ujian untuk mendapatkan ijazah al-Azhar. Calon alim harus
berhadapan dengan suatu tim beranggotakan 6 orang syaikh yang ditunjuk oleh
syaikh al-Azhar, untuk menguji bi-dang studi usul, fikih, tauhid, hadis,tafsir,
dan ilmu-ilmu bahasa seperti nahu, saraf (il-mu tentang
pembentukan kata), ma’ani, bayan, badi’, dan mantik. Kandidat
yang ber-hasil lulus berhak mendapatkan asy-syahadah al-‘alamiyah (ijazah
kesarjanaan). Pada bulan Maret 1885 M, keluar undang-undang mengenai pengaturan
tenaga pengajar setelah ia dapat menyelesaikan buku-buku induk dalam 12 bidang
studi. Kandidat yang lulus dalam ujian ini mendapat al-darajah al-‘ulya (tingkat
pertama), al-darajah al-saniyah (tingkat dua), al-darajah al-tsalisah
(tingkat ketiga).38 Lulusan nilai pertama da-pat bekerja sebagai pengajar
untuk buku-buku tingkatan tinggi, nilai kedua untuk bu-ku-buku tingkatan
menengah, dan nilai ketiga untuk buku-buku tingkatan dasar.
Syaikh
Muhammad Abduh
Muhammad Abduh39 termasuk pembaharu agama dan
sosial di Mesir pada za-man modern. Dialah penganjur yang sukses dalam membuka
pintu ijtihad untuk me-nyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern.40 Pada
tahun 1877 M ia telah me-nyelesaikan studinya di al-Azhar dengan meraih gelar alim.
Setelah itu, ia mulai mengajar, mulanya di Al-Azhar sendiri, kemudian di Daral-Ulum.41
Pada mulanya to-koh pembaharu ini mendapat tantangan dari ulama konservatif,
tetapi setelah al-Az-har dipegang oleh Syaikh al-Nawawi (teman akrabnya), ia
mendapat kesempatan mengadakan sedikit pembaruan.42 Menurut Muhammad Abduh,
pendidikan memer-lukan pembaruan. Pelajar-pelajar madrasah harus mempelajari
ilmu pengetahuan modern, sehingga mereka bisa membantu muslim memasuki dunia
baru dalam kon-teks Islam yang akan sangat berarti bagi mereka semua. Dia yakin
bahwa apabila al-Azhar ingin diperbaiki, pembenahan administrasi dan pendidikan
di dalamnya pun harus dibenahi, kurikulumnya diperluas, mencakup sebagian
ilmu-ilmu modern, se-hingga al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan
universitas-universitas lain di Eropa ser-ta menjadi mercusuar dan pelita bagi kaum
muslim pada zaman modern. Menurut-nya, ada dua pilihan untuk al-Azhar: maju
atau hancur sama sekali. Ketika Abbas Hilmi naik ke pentas kekuasaan, dia
mengeluarkan keputusan untuk membentuk se-buah panitia yang mengatur al-Azhar.
Dalam kepanitiaan itu, Muhammad Abduh mewakili pemerintah dan menjadi
pemrakarsanya. Panitia itu berhasil menaikkan ga-ji para guru-guru yang miskin,
memperhatikan tempat tinggal dan kesehatan orang-orang yang tinggal di
sekitarnya, serta memperbaiki kondisi perpustakaannya yang sangat menyedihkan.
Hal yang paling penting adalah menambahkan mata pelajaran, yaitu berhitung,
al-jabar, sejarah Islam, bahasa dan sastra, dan prinsip-prinsip geo-metri dan
geografi.
Secara berangsur-angsur, ia mulai melakukan
pengaturan libur yang lebih pen-dek dan masa belajar yang lebih diusahakan
untuk dihilangkan. Sementara itu, ia ju-ga memasukkan kurikulum modern, seperti
fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah ke al-Azhar. Di samping
masjid, didirikan Dewan Administrasi al-Azhar (ida-rah al-Azhar) dan
diangkat beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran tu-gas Syaikh
al-Azhar. Bersamaan dengan ini, juga dibangun oleh Rauq al-Azhar yang dapat
memenuhi kebutuhan pemondokan bagi guru-guru dan mahasiswa-mahasiswinya.
Syaikh
Mahmud Syaltut
Syaikh Mahmud Syaltut, adalah rektor al-Azhar
ke-4146 yang membentuk orga-nisasi untuk
mengatur “pemeliharaan al-Qur’an” dan membentuk fakultas-fakultas baru antara
lain: Fakultas Kedokteran, Fakultas Pertanian, dan Fakultas Teknik.
Syaikh
Imam Muhammad Al-Maraghi
Syaikh Imam Muhammad al-Maraghi belajar di
al-Azhar dari seorang ulama yang terkemuka, yaitu Syaikh Muhammad Abduh.
Setelah lulus dari al-Azhar beliau langsung mengabdikan diri pada almamaternya.
Al-Maraghi menjabat sebagai syaikh al-Azhar selama dua kali, yaitu pada tahun
1928 M dan pada tahun 1935 M sampai ta-hun 1945 M. Dia diangkat kembali sebagai
syaikh al-Azhar untuk kedua kalinya. Ketika Al-Maraghi belajar di al-Azhar,
sistem dan metode pembelajaran yang berlaku masih bersifat tradisional, yaitu
dengan sistem halaqah, kemudian begitu beliau men-jabat sebagai syaikh
al-Azhar langsung mengadakan pembaruan dan restrukturisasi berupa peraturan
undang-undang tentang sistem pembelajaran di al-Azhar.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan
di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Pada masa-masa awal, proses pendidikan Islam berlangsung di
tempat-tempat yang merupakan pusat ibadah (masjid). Namun karena banyaknya umat
Islam yang berminat untuk belajar sedangkan kapasitas masjid tidak lagi
mencukupi, juga mengganggu kegiatan orang-orang yang beribadah, institusi
pendidikan mulai mengadakan pembenahan-pembenahan.
2. Pada awalnya al-Azhar bukan sebagai perguruan tinggi, tetapi
al-Azhar merupa-kan sebuah masjid
yang oleh Khalifah Fatimiyah dijadikan sebagai pusat untuk menyebarkan dakwah
mereka.
3. Adapun tokoh-tokoh pada masa Dinasti Fatimiyah
di antaranya: Syaikh Imam Ibrahim al-Barmawi (syaikh al-Azhar pada tahun 1694),
Syaikh Muhammad Abbasi al-Mahdi al-Hanafi (rektor al-Azhar ke-21), Syaikh
Muhammad Abduh (1849-19-05), dan Syaikh Mahmud Syaltur (rektor al-Azhar ke-41),
Syaikh Imam Muhammad Al-Maraghi (syaikh al-Azhar selama dua kali, yaitu pada
tahun 1928 M dan pada tahun 1935 sampai tahun 1945 M).
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam pada Periode klasik dan
Pertengahan. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Hitti, Philip K. History of The Arabs, Terjemahan R. Cecep
Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi dgn judul: Sejarah Arab. Cet. I;
Jakarta: Pt. Serambi Ilmu Semesta, 2008.
Siba’i, Mustafa Husni. Min Rawaa’i Hadaraatina. Terjemahan
Abdullah Zakiy al-Kaaf dengan judul: Khazanah Peradaban Islam. Cet. I;
Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta:
Hidakarya Agung, 1990.
[1]
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode klasik dan Pertengahan,
(Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 87.
[2]
Philip K Hitti, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), 800.
[3]
Mustafa Husni al-siba’i, Min Rawaa’i Hadaraatina, di terj. Abdullah
Zakiy al-Kaaf dg jdul, Khazanah Peradaban Islam, (Cet. I; Bandung:
Pustaka Setia, 2002), 207.
[4]
Philip K.Hitti, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,2008), 806.
[5]
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode klasik dan Pertengahan,
(Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), 88.
[6]
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Cet. I; Jakarta: Hidakarya
Agung, 1990), 174.
No comments:
Post a Comment