Friday, 4 November 2016

Makalah Sejarah Pendidikan Pada Masa Dinasti Fathimiyah


DAFTAR ISI

Contents
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………………………………………………….21


KATA PENGANTAR


            Puji syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan kasih sayangnya kepada kita semua sehingga kita bisa menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam kita sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW mudah-mudahan kita akan mendapatkan syafaatnya amin.
            Dengan menyelesalesaikan tugas ini kami harapakan bisa menyempurnakan tugas yang diberikan. Walaupun tugas ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami mohon saran dan kritik yang membangun untuk tercapainya hasil yang lebih baik lagi.










 

 

 

 

 

 



BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Sebagaimana yang telah kit ketahui bahwa yang namanya sejarah adalah merupakan sesuatu yang  penting. Karena sejarah adalah sebuah kisah nyata yang terjadi di masa lalu atau masa yang sudah terlewat. Maka dari itu orang yang tidak tau sejarah akan cendrung kepada hidup seenaknya tanpa mengambil pelajaran dari yang sudah terjadi dan termasuk orang yang tidak mengenal dirinya karena tidak tau sejarah. Sejarah sebagai pelajaran bagi kita penerus sejarah agar kebaikan yang sudah ada atau sudah dilakukan pendahulu kita kita lanjutkan dan sesuatu kejelekan yang sudaah terjadi jangan sampai terulang atau kita ulangi dan kita lakukan karena kita jadikan sebagai pelajaran.
Terutama kita sebagai mahasiswa dan mahasiswi dari jurusann manajemen pendidikan islam alangkah baiknya kita mengetahui tentang sejarah pendidikan islam sebagi referensi, pelajaran kita dimasa yang akan datang karena memang kelak kita orientasinya menuju dalam bidang pendidikan terlebih lagi sebagai pemimpin sebuah lembaga pendidikan agar kita berusaha dan berdoa untuk yang terbaik bagi lembbaga pendidkan agar kita menuai hasil yang baik. Dalam hal ini kami menjelaskan tentang sejarah pendidikan pada masa dinasti fatimiyah.

B.       Masalah atau Topik Bahasan

a. Bagaimanakah sejarah berdirinya dinasti fatimiyah?
b. Bagaimanakah sejarah pendidikan dimasa dinasti fatimiyah?
c. Apa saja kemajuan dan kemunduran dari Dinasti Fatimiyah?

C.      Tujuan Penulisan Makalah

a. Menjelaskan sejarah pendidikan dimasa dinasti fatimiyah.
b. Menjelaskan proses pendidikan dimasa dinasti fatimiyah.
c. Untuk memenuhi tugas mata kuliyah.


 

 



BAB II

PEMBAHASAN

A.       Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah

Fatimiyah merupakan Dinasti Syi’ah Isma’iliyah yang pendirinya adalah Ubaidillah al-Mahdi yang datang dari Syiria ke Afrika Utara yang menisbahkan nasabnya sampai ke Fatimah putri Rasulullah dan isteri Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib. Karena itu menamakan Dinasti Fatimiyah (Hoeve, 1994: 8). Namun kalangan Sunni mengatakan Ubaidiyun. Konsep yang digunakan adalah Syi’ah radikal Isma’iliyah dengan doktrin­doktrinnya yang berdimensi politik, agama, filsafat, dan sosial. Serta para pengikutnya mengharapkan kemunculan al–Mahdy. Ubaidillah dengan dukungan kaum Barbar, pertama dapat mengalahkan Gubernur-Gubernur Aghlabiyah di Ifriqia, Rustinia Khoriji di Tahar dan menjadikan Idrisiyah Fez sebagai bawahannya, saat pemerintah pertama kali ialah di al-Mahdiyah sekitar Qairawan yang kemudian Fatimiyah mengembangkan sayapnya ke daerah sekitarnya serta menduduki Mesir yang kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Kairo (al-Qohirah “yang berjaya”) atas prakarsa jenderal Jauhar Atsaqoli (Mufrodi,1997: 116).
Dalam bersaing dengan pemerintahan Abbasiyah, Fatimiyah memindahkan Ibu kotanya dari al-Mahdi ke Kairo. Dan Juga memberi gelar kepada Khalifah-Khalifah Fatimiyah sebagai Khalifah sejati. Begitu juga dia menyebarkan dai-dainya keluar Mesir yang mereka itu lulusan dari Universitas al-Azhar. Pada masa pemerintahan Fatimiyah timbul perang Salib dan muncul gerakan-gerakan Syi’ah yang ekstrim yang disebut Druze yang dipimpin oleh Darazi (Bosworth, 1993: 71). Fathimiyyah adalah Dinasti syi’ah yang dipimpin oleh 14 Khalifah atau imam di Afrika dan Mesir tahun 909–1171 M, selama lebih kurang 262 tahun. Para kahlifah tersebut adalah :
1. ‘Ubaidillah al Mahdi (909-924 M)
2. Al–Qa’im (924-946 M)
3. Al–Manshur (946-953 M)
4. Al–Mu’izz (953-975 M)
5. Al–‘Aziz (975-996 M)
6. Al–Hakim (996-1021 M)
7. Azh–Zhahir (1021-1036 M)
8. Al–Musthansir (1036-1094 M)
9. Al Musta’li (1094-1101 M)
10. Al–Amir (1101-1131 M)
11. Al–Hafizh (1131-1149 M)
12. Azh–Zhafir (1149-1154 M)
13. Al–Faiz (1154-1160 M)
14. Al–‘Adhid (1160–1171 M)
Namun sejak tahun 1131 M, merupakan masa peralihan pemerintahan dari “Khalifah” ke “wali”. Hal ini terjadi ketika Dinasti Fatimiyah diperintah oleh alHafizh (sebagai wali bukan sebagai Khalifah). Pada tahun 1094 M, setelah al-Muntasir wafat, terjadi perpecahan dalam gerakan Isma’iliyah, yaitu kelompok Nizar yang sangat ekstrim dan Musta’ali yang lebih moderat. Dia mempertahankan kekhalifahan, namun basis kespiritualan lebih banyak melemah. Berdirinya Dinasti ini bermula menjelang abad ke-X, ketika kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan wilayah kekuasaannya yang luas tidak terkordinir lagi. Kondisi seperti inilah yang telah membuka peluang bagi munculnya
Dinasti-Dinasti kecil di daerah-daerah, terutama di daerah yang Gubernur dan sultannya memiliki tentara sendiri. Kondisi ini telah menyulut pemberontakan-pemberontakan dari kelompok-kelompok yang selama ini merasa tertindas serta memberi kesempatan bagi kelompok Syi’ah, Khawarij, dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan politik. Dinasti Fathimiyah bukan hanya sebuah wilayah gubernuran yang independen, melainkan juga merupakan sebuah rezim revolusioner yang mengklaim otoritas universal. Mereka mendeklarasikan adanya konsep imamah yakni para pemimpin dari keturunan Ali yang mengharuskan sebuah redefinisi mengenai pergantian sejarah Imam atau mengenai siklus eskatologis sejarah.
Dinasti Fathimiyah berkuasa mulai (909–1173 M) atau kurang lebih 3 abad lamanya. Dinasti ini mengaku keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Fatimah az-Zahro. Kelompok Syi’ah berpendapat bahwa Ismail bin Ja’far as-Sadiq yang wafat (765 M), bukannya Musa saudaranya Ismail, yang berperan sebagai imam ketujuh menggantikan ayah mereka (imam Ja’far). Berdasarkan kepemimpinan Ismail inilah sebuah gerakan politik keagamaan Ad da’wah Fatimiyah diorganisir. Gerakan ini berhasil merealisir pertama kali pembentukan pemerintahan Syi’i yang eksklusif. Sedangkan kebanyakan kaum sunni yang mengatakan bahwa Dinasti Fatimiyah keturunan dari Ubaidillah al-Mahdi, disebut Dinasti Ubaydiun (Khalifah I Dinasti Fatimiyah) dan berasal dari Yahudi.
Gerakan Syi’ah Fatimiyah ini membuktikan pada Dunia, bahwa potensi         doktrin mesianik dan sentralistik. Walaupun Syi’ah menganggap Ismail sebagai Imam mereka, tetapi Isma’il tidak berperan secara independen, karena ia mati muda, bahkan sebelum ayahnya (Imam Ja’far). Kondisi inipun tidak menghalangi perkembangan doktrin Ismaili, dengan dominasi dari bani Abbasiyah, karena dua golongan ini merasa bersaudara. Ini berangkat dari Umul Fadhl pernah menyusui Husain anak Fatimah dan Ali, ketika melahirkan Dotham. Jadi menurut mereka bani Abbasiyah dan Syi’ah Fatimiyah merupakan saudara sesusuan.
Keberhasilan menancapkan doktrin Ismaili, dalam perkembangannya mampu memberi perlindungan imam-imam mereka di Salamiyah, Siria dan telah memudahkan pengorganisasian dakwah Fatimiyah. Meskipun dakwah Fatimiyah ini dimulai sejak dini, namun baru pada masa Abu Ubaidillah Husein, generasi keempat setelah Ismaili, baru mulai berkembang pesat. Doktrin dakwah populer yang disebarkan pada saat itu ialah berhaknya anak Ubaidillah atas posisi penyelamat (al-Mahdi). Doktrin ini menggunakan sistem jaringan para agen (du’ah jamak dari da’i), sehingga sangat efektif dan terorganisir secara rapi.
Ubaidillah yang memimpin dakwahnya dari Salamiyah dan Siria ke Afrika Utara, dimana propaganda Syi’ah telah berkembang dengan pesat. Ia memimpin dakwahnya dengan memenangkan dukungan luas dari daerah-daerah yang kurang diperhatikan oleh Kholifah Abbasiyah. Lewat da’i seperti Ali bin Fadl al-Yamani dan Ibnu al-Hawsyab al-Kufy, Yaman, termasuk ibu kotanya, dapat direbut. Dengan dikuasainya Yaman, Dia dapat menyebarkan para da’i ke berbagai daerah, termasuk Afrika Utara, belahan timur antara Arabia dan India. Juga Afrika Barat dengan da’i Abu Abdullah asy-Syi’i. Yang mengemukakan konsep akan datangnya Imam Mahdi , dari keturunan Nabi. Para da’I tersebut akhirnya berhasil menjadikan kaum Barbar sebagai pendukung kepemimpinan Ubaidillah al-Mahdi. Selanjutnya, atas dukungan besar inilah, asy-Syi’i berhasil menduduki Roaqadah, pusat pemerintahan Dinasti Aghlabiyah. Akhirnya al-Mahdi yang baru menggantikan ayahnya, datang ke Tunis untuk dinobatkan sebagai Khalifah (909 M).
Karena tidak menguasai daerah kekuasaannya, maka ia banyak menggantungkan pada da’i, seperti asy-Syi’i. Namun karena yang disebut belakangan rupanya banyak memberikan harapan dan konsesi terhadap penduduk lokal, maka ia dianggap kurang memenuhi program al-Mahdi yang luas. Kemudian al-Mahdi membersihkan figur-figur yang dicurigai, termasuk asy-Syi’i. Dalam masa pemerintahannya, untuk memperluas kekuasaannya, yang bermaksud memberikan kompensasi pada kaum Barbar, ia mengadakan ekspedisi wilayah laut tengah, seperti; Genoa, Sisilia, Mesir.
Keberhasilan pemerintahan Fatimiyah ini ditandai dengan pindahnya pusat pemerintahan ke Kairo. Hampir seluruh daerah Afrika Utara bagian Barat dapat dikuasai Fatimi, terutama setelah menaklukan wilayah Maghrib yang dipimpin Jawhar asy-Siqilli (969 M) dan menaklukkan Dinasti terakhir di Fusthath Ikhsyidiyyah. Disana juga mulai membangun ibu kota baru di Mesir, yaitu al-Qohirah (970 M) serta Masjid al-Azhar sebagai pusat pendidikan para da’i dan Khalifah al Muizz pindah ke ibu kota baru tahun (973 M). Dinasti Fatimiyah ini akhirnya makin berkembang dalam berbagai aspek kehidupan, karena ditopang dengan kekuasaan yang luas dan mampu membangkitkan berbagai macam aksi yang bersifat wacanis (keilmuan), perdagangan, keagamaan, walaupun peralihan kekuasaan ke wilayah timur, berlahan-lahan melenyapkan kekuasaan mereka dibagian Barat. Terbukti, wakil mereka di Tunis, Bani Ziri (1041 M) menyatakan tak terikat dengan pemerintahan Fatimiyah.
Pada masa pemerintahan al-Mustanshir (1036-1094 M) Dinasti Fatimiyah mencapai puncak kekuasaannya setelah terlibat konflik dengan Yunani tentang masalah Suriah. Para Khalifah Fatimi umumnya membina hubungan damai dengan Byizantium, kemudian bersatu karena ancaman-ancaman Petualang Seljuk dan Trukmen di Suriah dan Anatholia pada abad II. Tetapi pada akhir abad 11 terjadi aksi Salib I yang mengancam penguasa-penguasa Turki Suriah. Para Khalifah Fatimiyah, pada pertengahan abad 12 bekerja sama dengan Dinasti Zangiyyah; Nuruddin dari Aleppo dan Damasqus untuk melawan tentara Salib (The Crusaders II). Setelah Ascalon jatuh ke tangan tentara Salib, Dinasti Fatimiyah mulai terpecah-belah. Para Khalifah kehilangan kekuasaan dan para Wazirnya (Gubernur) memegang kepemimpinan ekskutif dan militer. Dari sini Dinasti Fatimiyah di akhiri oleh serangan Sahadin (Shalahudin), keponakan yang cakap sebagai pengganti Syirkuh yang menguasai Mesir (1173 M) di bawah pemerintahan Nuruddin putra Zangi dari Dinasti Ayyubiyah.
Sekitar tahun 1171 M, Dinasti Fatimiyah ini berakhir. Dinasti ini banyak mencapai kemajuan peradaban dan peningkatan ekonomi dan penyebab kemunduran dan kehancuran Fatimiyah disebabkan karena perpecahan di antara para khalifahnya (Glasse,1996:43).


1.        Perjalanan Pemerintahan

Menurut As’adi (2001:77), dalam perjalanan pemerintahannya, Daulah Fathimiyyah melalui dua fase, yaitu :

a.        Fase Konsolidasi (969-1021 M)

Pada fase ini sempat terjadi perang saudara antara Turki dan Barbar, yang keduanya merupakan kelompok yang turut mendirikan Dinasti Fathimiyyah. Barbar memberikan dukungan sepenuhnya kepada Daulah Fathimiyyah karena awalnya Barbar-lah yang mengusai anggota pemerintahan. Banyak diantara bangsa Barbar yang diangkat menjadi pemerintahan. Keadaan ini berlangsung sampai masa pemerintahan  Al – Muizz li Dinillah.
Sedangkan pada masa pemerintahan Az Zahir dan Al – Munthasir Khalifah lebih dekat dengan keturunan Turki. Sehingga muncullah dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar, sejak saat itulah Barbar kehilangan kedudukan dalam pemerintahan. Untuk lebih mengenal keadaan dalam fase ini, baik tentang pemimpin/Khalifah, roda pemerintahan, kebijakan pemerintah, dan situasi yang dihadapinya, akan dijelaskan sebagai berikut :

1)      Al–Mahdi (909-924 M)

Ubaidillah al–Mahdi adalah Khalifah pertama Dinasti Fathimiyyah. Dia datang dari Afrika Utara, dimana propaganda Syi’i telah menciptakan kondisi yang baik bagi kedatangannya. Dengan dukungan kaum Barbar Ketama, dan menumbangkan Gubernur- Gubernur Aghlabiyah di Ifriqiyyah dan Rustamiyah Khariji di Tahari, dan menjadikan Idrisiyah Fez sebagai penguasa bawahannya. Pada tahun 909 M, dialah yang memproklamasikan berdirinya khilafah Fathimiyyah yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia dibantu oleh Abdullah Asy-Syafi’i dalam mengkonsolidasikan khilafahannya di Tunisia. Dalam proses tersebut, pada tahun 920 M, ia telah berhasil mendirikan sebuah kota yang baru dan dijadikan sebagai ibukota, yaitu Mahdiah yang terletak di pesisir pantai Tunisia.
Selama menjalankan pemerintahannya, ia telah berhasil menghalau para pemberontak yang dipimpin oleh Abu Abdullah al Husyain dan memperluas wilayahnya sampai propinsi Fez di Maroko bahkan telah merebut Alexandria. Perlawanan juga datang dari kelompok pendukung Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke Dinasti Umaiyah di Andalusia maupun kelompok Khawarij dan Barbar (Hoeve, 1994:10).

2)      Al–Qa’im ((924-946 M)

Setelah al–Mahdi meninggal, ia diganti oleh putranya yang bernama Abdul Qasim dan bergelar Al–Qa’im. Ia meneruskan kebijakan yang diambil ayahnya dengan mengirimkan armadanya dan mampu menghancurkan pesisir selatan Perancis, Genoa dan sepanjang pesisir Calabria tahun 934 M. Akan Tetapi ia tidak berhasil dalam memadamkan pemberontakan oleh Abu Yazid yang berlangsung selama tujuh tahun. Abu Yazid yang berulangkali menaklukan pasukan Al–Qa’im akhirnya berhasil mengepung Susa. Dengan wafatnya Al–Qa’im pada tahun 946 M, maka berakhirlah kekuasaannya dan dilanjutkan oleh putranya Al–Manshur.

3)      Al–Manshur (946-953 M)

Perjuangan yang dilakukan oleh ayahnya telah mencapai keberhasilan yang gemilang dibawah kekuasaannya. Ia adalah seorang pemuda yang cerdik dan energik hingga ia berhasil menghentikan pemberontakan Abu Yazid yang terjadi di masa pemerintahan ayahnya. Ia berhasil menundukkan Abu Yazid dan pasukannya. Bahkan mereka turut membantu ekspansi hingga ke seluruh Afrika, disanalah ia membuat kota yang diberi nama al–Mashuriyah.

4)      Al–Mu’iz (953-975 M)

Keberhasilan yang telah dicapai Al–Manshur dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abu Tamim Ma’ad dengan gelar al Mu’iz. Ia telah membuat pencerahan pada Dinasti Fathimiyyah, dengan melaksanakan kebijaksanaan besar, yaitu :
a.Pembaharuan dalam bidang administrasi dengan                         mengangkat seorang wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.
b.Pembangunan ekonomi, dengan memberi gaji khusus pada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya.
c.Toleransi beragama (juga aliran) dengan mengadakan empat lembaga, peradilan di Mesir, dua untuk madhab syi’ah dan untuk madhab sunni (Yatim,1993: 282).
Setelah basis kekuasaan di Tunis kuat, Khalifah Fathimiyyah dapat menguasai Mesir pada tahun 969 M. Penguasaan ini diawali dengan diutusnya panglima Jauhar al–Katib as– Siqili dengan perlengkapan dan kekayaan yang diperoleh dari basis mereka di Ifriqiyah sebagai persiapan ke arah Timur. Jauhar berhasil memasuki Fustat dan menyingkirkan Dinasti Ikhsidiyyah. Setelah Mesir dapat dikuasai, ia membangun sebuah ibukota baru di Mesir yaitu Kairo Baru (al–Qahirah,artinya yang berjaya) (Bosworth, 1993: 71). Kairo dibangun dengan sejumlah istana kebesaran dan masjid-masjid agung yang merupakan sebuah kota kerajaan yang dirancang sebagai wujud bagi kebesaran kerajaan (Lapidus, 1999: 536).       Masjid itu adalah masjid Al Azhar yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pengembangan ilmu pengetahuan dan selanjutnya masjid ini menjadi sebuah akademik dan pada kurun waktu itu Al Azhar menjadi Universitas yang sangat terkenal dikalangan akademik (As’adi, 2001:115). Selama 23 tahun, masa kepemimpinan al-Mu’iz, pemerintahannya berjalan gemilang. Ia meninggal pada tahun 975 M. Dialah Khalifah termashur dalam kekhalifahan Fathimiyyah di Mesir. Ia mempunyai kelebihan–kelebihan baik di bidang seni, satra dan pengajaran ditambah dengan pengetahuannya yang luas, maka tidak heran jika pada masa Al–Muiz inilah awal kemajuan Fathimiyyah.

5)      Al–‘Aziz (975-996 M)

Al–Aziz putra Al–Muiz dengan sifat pemberani, bijaksana, penyayang, ramah dan pendamai membuatnya berhasil mengadakan ekspansi wilayah secara besar-besaran. Seluruh Syiria sebagian Mesopotamia, dan dari pesisir Eupharates sampai Atlantik telah berhasil dikuasainya, bahkan saat itu Fathimiyyah menjadi rival yang berat bagi Abbasiyah di Baghdad. Rupanya ia mewarisi keahlian ayahnya dibidang seni. Ini tampak pada arsitektur Golde Palace (tempat yang sangat indah), The Perl Pavilion (Paviliun yang luasannya banyak terbuat dari mutiara) dan masjid ayahnya di kuburan Karava. Pada masa inilah Dinasti Fathimiyyah mencapai puncak kejayaannya.

6)      Al-Hakim (996-1021 M)

Al–Hakim adalah seorang penguasa yang sangat kejam, ia membunuh sejumlah tokoh kerajaan tanpa alasan. Ini disebabkan karena usianya yang masih muda (11 tahun) ketika menjadi penguasa menggantikan ayahnya pada tahun 996 M, sehingga dengan mudah gubernurnya yang tak bermoral yang bernama Barjawan dapat menguasainya dengan penuh. Pada awal pemerintahannya, tidak ada kestabilan. Secara komparatif kaum Kristen dan Yahudi diperlakukan dengan baik. Bahkan sebagian dari mereka menduduki jabatan yang tinggi dalam negara. Selama pemerintahan Al–Hakimlah gerakan religius Syi’i yang ekstrem, yaitu Druze muncul di Suriah Selatan dan Lebanon, karena Al–Hakim memberikan semangat pada pendirinya, yaitu da’i Al–Darazi, maka Druze memandang Khalifah Al–Hakim sebagai titisan Tuhan (Bosworth, 1993:72). Meskipun kekejaman mewarnai kekhalifahannya, ia berhasil membangun banyak masjid, dan bangunan yang paling terkenal sampai sekarang yaitu Dar al-Hikmah yang dibangun tahun 1306 M, tempat bertemunya berbagai pujangga dan mempromosikan pendidikan dan Syiah.

b.       Fase Parlementer

Setelah melalui fase konsolidasi, selanjutnya Dinasti Fathimiyyah memasuki fase parlementer. Suatu fase dimana banyak sekali muncul permasalahan–permasalahan yang rumit sebagai suatu kelanjutan dari kekuasaan/kejayaan yang dicapai pada fase konsolidasi. Masa ini disebut juga dengan “Ahdu Mufuzil Awzara” atau masa pengaruh menteri-menteri mulai dari Az Zahir, sampai dengan Al ‘Adhid. Pada fase ini memperlihatkan kemunduran tatanan politik, yakni periode peperangan antar fraksi-fraksi militer dan pembagian negeri ini menjadi sejumlah iqta’ yang dikuasai oleh pejabat-pejabat-pejabat militer yang berpengaruh (Lapidus, 1999: 538).            Sebuah peperangan telah terjadi dalam fase ini yakni perang Salib. Perang yang terjadi di awal kekuasaan al-Munthasir ini diawali dengan ekspansi yang dilakukan Fathimiyyah dari Mesir sampai ke Palestina dan Syiria. Perang Salib semula terbentuk dari serangan balik bangsa Eropa yang bersifat umum terhadap kekuatan Muslim di wilayah Laut Tengah. Terjadinya aksi Salib (Crusade) pertama pada akhir abad kelima, dan ini lebih mengancam penguasa-penguasa Turki di Syiria daripada Fathimiyyah, karena sebetulnya saat itu Fathimiyyah tidak menguasai wilayah di Utara Asealon di Palestina. Melalui jalur laut dan darat pasukan Eropa bergerak ke arah timur. Antara 1099-1109 M mereka menaklukan Edessa, Antioch, dan Tripoli, dan mendirikan sebuah kerajaan Latin di Yerussalem. Dewan pendeta Latin menguasai pemerintahan Kristen di kota suci ini, tetapi sekte-sekte Kristen timur tidak disisihkan begitu saja.
Respon Muslim terhadap perang Salib ini cukup lamban, bahkan respon tersebut cenderung pada upaya pengaturan Mesir dan Syiria kedalam sebuah imperium Muslim. Daerah-daerah yang merasa tidak mampu menghadapi ancaman perang Salib membuka pintu untuk mengadakan kerjasama militer dengan negara-negara Islam lainnya. Namun secara bertahap serangan balik Muslim semakin gencar yang dapat digambarkan melalui tiga fase (Lapidus, 1999:542). Fase pertama terjadi sebelum Fathimiyyah ditaklukan oleh Ayyubiyah. Sedangkan pada fase kedua dan ketiga Nur Al Din sudah mulai berkuasa.

2.        Kemunduran Dinasti Fatimiyah

Sesudah berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz, pamor Dinasti Fatimiyyah mulai menurun. Kalaupun pada masa al-Munthasir sempat mengalami kejayaan, itu tidaklah seperti apa yang telah dicapai oleh al-Aziz. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Dinasti Fathimiyah adalah :
              a.Para penguasa yang selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah.
b.Adanya pemaksaan ideologi Syi’ah kepada masyarakat yang mayoritas Sunni.
              c.Terjadinya persaingan perebutan wazir.
              d.Kondisi al-‘Adhid (dalam keadaan sakit) yang dimanfaatkan oleh Nur  ad-Din.
                                    Dalam kondisi khilafah yang sedang lemah, konflik kepentingan yang berkepanjangan diantara pejabat dan militer. Merasa tidak sanggup, akhirnya al-Zafir meminta bantuan kepada Nur al-Din dengan pasukan yang dipimpin oleh Salah al-Din Al-Ayyubi. Mula-mula dia berhasil membendung invasi tentara Salib ke Mesir. Akan tetapi kedatangan Salah al Din untuk yang kedua kalinya tidak hanya memerangi pasukan Salib, tetapi untuk menguasai Mesir.
Dengan dikalahkannya tentara Salib sekaligus dikuasainya Mesir, maka berakhirlah riwayat Dinasti Fatimiyah di Mesir pada tahun 1171 M yang telah bertahan selama 262 tahun.

3.        Kemajuan-Kemajuan Dinasti Fatimiyah

Selama kurun waktu 262 tahun, Fatimiyah telah mencapai kemajuan yang pesat terutama pada masa Al-Muiz, Al-Aziz dan Al-hakim. Kemajuan-kemajuan itu mencakup berbagai bidang, yaitu :
a.Kemajuan dalam hubungan perdagangan dengan Dunia non Islam, termasuk India dan negeri-negeri Mediteramia yang Kristen.
b.Kemajuan di bidang seni, dapat dilihat pada sejumlah dekorasi dan arsitektur istana.
c.Dalam bidang pengetahuan dengan dibangunnya Universitas Al–Azhar.
d.Di bidang ekonomi, baik sektor pertanian, perdagangan maupun industri.
e.Di bidang keamanan.      

4.    Peninggalan Bersejarah Dinasti Fatimiyah

Di antara peninggalan Dinasti Fatimiyah, ada dua bangunan yang amat bersejarah dan keberadaannya hingga kini masih bisa dirasakan, bahkan mengalami perkembangan pesat. Peninggalan-peninggalan itu adalah :
a.Universitas Al–Azhar yang semula adalah masjid sebagai pusat kajian. Masjid ini didirikan oleh al-Saqili pada tanggal 17 Ramadlan (970 M). Nama Al–Azhar diambil dari al-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi SAW dan istri Ali bin Abi Thalib, imam pertama Syi’ah.
b.Dar al-Hikmah (Hall of Science), yang terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan Al Makmun di Baghdad.

B.   Sejarah Pendidikan Masa Dinasti Fatimiyah

Pada masa-masa awal, proses pendidikan Islam berlangsung di tempat-tempat yang merupakan pusat ibadah (masjid). Namun karena banyaknya umat Islam yang berminat untuk belajar sedangkan kapasitas masjid tidak lagi mencukupi, juga meng-ganggu kegiatan orang-orang yang beribadah, institusi pendidikan mulai mengada-kan pembenahan-pembenahan.[1]
Ibnu Killis adalah salah seorang tokoh dan pelopor perkembangan pendidikan pada kekhalifahan Fatimiyah di Mesir. Ia mendirikan sebuah universitas dan meng-habiskan ribuan dinar per bulan untuk membiayainya. Di bawah kekuasaannya, ter-sebutlah seorang dokter yang sangat terkenal bernama Muhammad al-Tamim, yang lahir di Yerussalem dan pindah ke Mesir sekitar tahun 970 M.11 Salah satu fondasi ter-penting yang dibangun pada masa Fatimiyah adalah pembangunan Dar al-Hikmah (rumah kebijaksanaan) atau Dar al-‘Ilm (rumah ilmu) yang didirikan oleh al-Hakim pada tahun 1005 sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran ajaran Syi’ah ekstrim.[2]
Perpustakaan Dar al-Hikmah di Kairo ini didirikan oleh al-Hakim Biamrillah. Perpustakaan ini dibuka pada tanggal 10 Jumadil Akhir tahun 395 H, setelah dileng-kapi perabotan dan hiasan. Pada semua pintu dan lorongnya dipasangi tirai. Di per-pustakaan tersebut ditempatkan para penanggung jawab, karyawan, dan petugas. Di-himpun pula buku-buku yang belum pernah dihimpun oleh seorang raja pun. Per-pustakaan itu mempunyai 40 lemari. Salah satu lemari memuat 18.000 buku tentang ilmu-ilmu kuno. Semua orang boleh masuk ke situ. Di antara mereka ada yang da-tang untuk membaca buku, menyalin, atau belajar. Di tempat tersebut terdapat segala sesuatu yang diperlukan oleh pengunjung (tinta, pena, kertas, dan tempat tinta).[3]
Untuk mengembangkan institusi ini, al-Hakim mengeluarkan dana sebesar 257 dinar di antaranya digunakan untuk menyalin berbagai naskah, memperbaiki buku, dan pemeliharaan umum lainnya. Gedung ini dibangun berdekatan dengan istana ke-rajaan yang di dalamnya terdapat sebuah perpustakaan dan ruang-ruang pertemuan. Kurikulumnya meliputi kajian tentang ilmu-ilmu keislaman, astronomi, dan kedok-teran.
Pada masa al-Mustanshir, kegagalan atau kemunduran kerajaan yang meng-akibatkan berkurangnya harta kekayaan, pada gilirannya menyebabkan kemunduran lebih besar dengan banyaknya buku-buku yang hilang dari perpustakaan kerajaan. Perpustakaan itu sendiri mulai didirikan pada masa al-‘Aziz, ketika itu memiliki ku-rang lebih 200.000 buku dan 2.400 eksemplar al-Quran yang dihiasi ornamen-or-namen indah. Salah satu koleksi langka perpustakaan ini adalah naskah-naskah hasil karya Ibn Muqlah dan ahli-ahli kaligrafi lainnya. Di perpustakaan ini pula al-‘Aziz menyimpan salinan tulisan tangan untuk buku sejarah karya al-Thabari. Pengganti al-Mustanshir membangun kembali sebuah perpustakaan. Ketika satu abad kemudian Shalah-al-Din menguasai istana kerajaan, perpustakaan istana itu masih menyimpan sekitar 100.000 jilid buku, sebagian dari buku-buku itu disertai harta rampasan lain-nya dibagikan kepada bawahannya. Bangunan tua yang masih bertahan hingga kini adalah masjid al-Azhar yang didirikan oleh Jauhar as-Siqili. Meskipun sudah pernah dipugar, keaslian bagian te-ngahnya yang merupakan pusat bangunan ini tetap dipertahankan. Bagian ini diba-ngun dari batu bata, mengikuti model masjid Ibnu Thulun, yang memiliki sudut mih-rab, dan secara umum berbeda jauh dengan gaya Persia. Menara masjid ini berbentuk bundar konvensional.
Seni penjilidan buku di dunia Islam yang paling pertama dikenal datang dari Mesir sekitar abad ke-8 atau 9.[4] Teknik dan dekorasi yang mereka miliki bersanding indah dengan daya tarik seni penjilidan koptik yang lebih dulu muncul, dan yang nyata-yata menjadi patokan keahlian menjilid. Setelah mazhab Mesir dalam seni pen-jilidan berkembang, teknik menghiasi sampul buku dengan alat dan stempel menjadi teknik yang banyak dipakai oleh para perajin yang menggunakan kulit.

1.      Sejarah Lahirnya al-Azhar

Dari sekian universitas di dunia Islam, dua yang tertua dan hingga kini masih     ada, adalah Universitas al-Karaouiyinne di Fez, Maroko dan al-Azhar di Kairo. Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan bertaraf internasional yang berpusat di Kairo, Mesir. Kemampuannya menghadapi perubahan dan menjawab tantangan telah ter-bukti. Al-Azhar mula-mula didirikan sebagai masjid oleh panglima Fatimiyah,19 Jen-deral Jauhar as-Siqili pada tanggal 24 Jumadil Ula 359 H dan selesai pembangunan-nya pada bulan Ramadhan 361 H,[5] setelah Mesir pada tahun 969 (354 H) secara penuh dikuasainya. Menurut sumber yang dikutip Van Houve dalam Ensiklopedi Islam menyebutkan bahwa al-Azhar berdiri pada tahun 359 H/970 M. Mahmud Yunus da-lam bukunya Sejarah Pendidikan Islam mengutip berdirinya al-Azhar pada Tahun 358 H. Adapun waktu pembangunan al- Azhar hingga selesai tidak ada perbedaan yaitu setahun.
Nama masjid al-Azhar merupakan nama yang dinisbatkan kepada putri Nabi Muhammad Saw. Fatimah al-Zahrah. Sebelumnya nama masjid tersebut adalah al-Qahirah yang berarti sama dengan nama kota, yaitu Cairo, dan dikaitkan dengan ka-ta-kata al-Qohirah al-Zahirah yang berarti kota yang cemerlang.23 Baru setelah 26 bulan berlalu, al-Azhar dibuka untuk umum, tepatnya pada bulan Ramadhan 361 H dengan diawali kuliah agama perdana oleh al-Qodi Abu Hasan al-Qoirowani pada masa pe-merintahan Malik al-Nasir.
Masjid al-Azhar adalah pusat ilmu pengetahuan, tempat diskusi bahasa dan ju-ga mendengarkan kisah dari orang yang ahli bercerita. Masjid ini sebenarnya diper-untukkan bagi Dinasti Fatimiyah yang sedang bersaing dengan kekhalifahan di Bagh-dad. Usaha yang dilakukannya ialah dengan mengajarkan mazhab Syi’ah kepada ka-der-kader mubaligh yang bertugas meyakinkan masyarakat akan kebenaran mazhab yang dianutnya. Dia merupakan lembaga Fatimiyah sebagai pusat latihan kader penyebar ideologi Syi’ah yang mengancam otoritas Abbasiyah Sunni. Maka dinasti Saljuk Abbasiyah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan teologi ortodoks sebagai upaya mengimbangi upaya al-Azhar. Sebagai sebuah gerakan politik dan keagamaan, Khalifah Fatimiyah menaruh perhatian khusus atas penyebaran doktrin-doktrin tertentu (dakwah Fathimiyah) melalui para “kader” (dai). Program yang dilontarkan kaum Fathimiyyin meliputi dua tahap: tahap pertama, pelaksanaan pengajaran serta pemben-tukan undang-undang; tahap kedua, dakwah secara rahasia.
Untuk memenuhi kebutuhan terhadap tenaga para dai inilah al-Azhar kemudi-an ditingkatkan peranannya bukan hanya sebagai masjid melainkan juga sebagai lembaga pendidikan yang terorganisir di bawah pengawasan khalifah. Al-Azhar pada masa Dinasti Fathimiyah merupakan lembaga pendidikan yang menjadi corong dan alat untuk propaganda kekuasaan kekhalifahan, sekaligus sebagai alat penyeba-ran doktrin ajaran syi’ah.
Al-Azhar tampak berbeda dengan madrasah sebelumnya. Pada lembaga ini su-dah dilengkapi dengan asrama untuk guru-guru dan para mahasiswa, juga aula besar (iwan) yang dipergunakan untuk kuliah umum. Iwan merupakan bagian yang sangat penting bagi al-Azhar. Pelaksanaan proses belajar mengajar di al-Azhar mengacu kepa-da aturan-aturan yang ditetapkan oleh pengelola madrasah. Peranan al-Azhar seba-gai madrasah yang menyelenggarakan pendidikan tingkat tinggi, menurut Philip K. Hitti merupakan lembaga pendidikan tingkat tinggi (institution of higher education) atau college (akademi menurut perbandingan pendidikan sekarang).
Al-Azhar pada masa Dinasti Fathimiyah merupakan lembaga pendidikan yang menjadi corong dan alat untuk propaganda kekuasaan kekhalifahan, sekaligus sebagai alat penyebaran doktrin ajaran syi’ah. Pada masa itu, sistem pengajaran terbagi menjadi empat kelas, yaitu: Pertama, kelas umum diperuntukkan bagi orang yang datang ke al-Azhar untuk mempelajari al-Quran dan penafsirannya; Kedua, kelas para mahasiswa Universitas al-Azhar kuliah dengan para dosen yang ditandai dengan mengajukan pertanyaan dan mengkaji jawabannya; Ketiga, Kelas Darul Hikam, kuliah formal ini diberikan oleh para mubaligh seminggu sekali pada hari Senin yang dibuka untuk umum dan pada hari Kamis dibuka khusus untuk mahasiswa pilihan. Keempat, kelas nonformal, yaitu kelas untuk pelajar wanita.[6]
Pada mulanya pengajaran di Universitas al-Azhar sama dengan institusi pen-didikan yang lain, yaitu sistem halaqah (melingkar). Seorang pelajar bebas memilih guru dan pindah sesuai dengan kemauannya. Umumnya guru atau syaikh yang mengajar itu duduk bersama para pelajar, tetapi guru kadang-kadang duduk di kursi ketika menerangkan kitab yang diajarkannya. Di samping itu, metode diskusi sangat dikembangkan sebagai metode dalam proses pembelajaran antarpelajar. Seorang guru hanya berperan sebagai fasilitator dan memberikan penajaman dari materi yang didiskusikan.
Pada masa khalifah al-Aziz Billah, 387 H/988 M dengan usaha wazirnya, Yakub Ibn Kills, al-Azhar dijadikan sebagai Universitas Islam yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, ilmu akal (logika) dan ilmu umum lainnya. Untuk menunjang kegiatan pen-didikan dan pengajaran, al-Azhar dilengkapi dengan asrama untuk para fuqaha (do-sen, tenaga pendidik) serta semua urusan dan kebutuhannya ditanggung oleh khali-fah.
Al-Azhar mempunyai peranan penting dalam perkembangan pendidikan di Eropa. Pemakaian seragam sekolah, pengembangan tradisi pembantahan, penjurusan dua buah fakultas. Fakultas graduate dan undergraduate berasal dari tradisi al-Azhar dan menunjukkan pengaruh kuat lembaga al-Azhar.
Perubahan orientasi al-Azhar terjadi menyusul ambruknya kekhalifahan Fati-miyah di Kairo. Setelah hampir 200 tahun digunakan Bani Fatimiyah sebagai basis pendidikan dan penyebaran doktrin-doktrin Syi’ah, al-Azhar diambil alih Salahuddin al-Ayyubi untuk dijadikan madrasah-masjid yang berorientasi Sunni. Berlainan de-ngan Bani Fatimiyah yang menekankan pengajaran filosofis dan teologis, Dinasti Ay-yubi, sebagaimana penguasa dan pemuka Sunni yang lain, lebih mementingkan pengajaran fikih dalam madrasah yang mereka kelola, termasuk al-Azhar. Pengam-bilalihan ini, sebenarnya telah mereduksi posisi al-Azhar yang berorientasi supralokal menjadi lembaga yang berwawasan sempit dikarenakan lingkup politik Dinasti Ay-yubiyah yang bercorak lokal. Hanya karena peranan Kairo yang strategis dalam per-jalanan sejarah Islam akhirnya bisa diperoleh kembali dan dipertahankan, khususnya pada zaman modern. Setelah al-Ayyub menaklukkan Mesir tahun 1171 M selama hampir satu abad dari tahun 1171-1267 M, al-Azhar dikosongkan. Pada abad kekosongan itu salat Jum-at di masjid al-Azhar pun dilarang dan pindah ke masjid al-Hakim, karena mereka berpemahaman tidak boleh ada dua khutbah di dalam satu kota. Semenjak itulah Di-nasti Fatimiyah berakhir sehingga al-Azhar berubah menjadi universitas Sunni. Ia te-lah mencapai prestasi yang gemilang dan reputasi sebagai otoritas bidang keagamaan sampai sekarang tetap berlangsung. Tidak diketahui respons negatif dari masyarakat sekitar al-Azhar tapi penulis berpendapat sekecil apapun respons negatif itu pasti ada. Adapun respon positif telah diketahui dengan semakin banyaknya umat Islam yang menuntut ilmu di al-Az-har, bukan saja dari Mesir, melainkan dari seluruh dunia.

2.      Tokoh Tokoh Pendidikan

Pada masa Daulah Fatimiyah, seiring dengan lahir dan berkembangnya Univer-sitas al-Azhar, muncul pula tokoh-tokoh pendidikan yang memegang peranan pen-ting pada masa itu, di antaranya.
Syaikh Imam Ibrahim al-Barmawi
Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Syihabuddin bin Khalid al-Barmawi ketika belajar di al-Azhar mendalami bidang ilmu syariah dan bahasa. Kemudian setelah lu-lus dari al-Azhar, ia langsung menjadi tenaga pengajar di almamaternya. Kariernya berkembang cukup pesat sehingga beliau pernah menjabat sebagai syaikh al-Azhar pada tahun 1694.
Syaikh Muhammad Abbasi al-Mahdi al-Hanafi
Syaikh Muhammad Abbasi al-Mahdi al-Hanafi adalah rektor Al-Azhar ke-21. Dia bermazhab Hanafi pertama yang memegang jabatan rektor. Di antara pembaruan yang dilakukannya adalah pada bulan Februari 1872 M memasukkan sistem ujian untuk mendapatkan ijazah al-Azhar. Calon alim harus berhadapan dengan suatu tim beranggotakan 6 orang syaikh yang ditunjuk oleh syaikh al-Azhar, untuk menguji bi-dang studi usul, fikih, tauhid, hadis,tafsir, dan ilmu-ilmu bahasa seperti nahu, saraf (il-mu tentang pembentukan kata), ma’ani, bayan, badi’, dan mantik. Kandidat yang ber-hasil lulus berhak mendapatkan asy-syahadah al-‘alamiyah (ijazah kesarjanaan). Pada bulan Maret 1885 M, keluar undang-undang mengenai pengaturan tenaga pengajar setelah ia dapat menyelesaikan buku-buku induk dalam 12 bidang studi. Kandidat yang lulus dalam ujian ini mendapat al-darajah al-‘ulya (tingkat pertama), al-darajah al-saniyah (tingkat dua), al-darajah al-tsalisah (tingkat ketiga).38 Lulusan nilai pertama da-pat bekerja sebagai pengajar untuk buku-buku tingkatan tinggi, nilai kedua untuk bu-ku-buku tingkatan menengah, dan nilai ketiga untuk buku-buku tingkatan dasar.
Syaikh Muhammad Abduh
Muhammad Abduh39 termasuk pembaharu agama dan sosial di Mesir pada za-man modern. Dialah penganjur yang sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk me-nyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern.40 Pada tahun 1877 M ia telah me-nyelesaikan studinya di al-Azhar dengan meraih gelar alim. Setelah itu, ia mulai mengajar, mulanya di Al-Azhar sendiri, kemudian di Daral-Ulum.41 Pada mulanya to-koh pembaharu ini mendapat tantangan dari ulama konservatif, tetapi setelah al-Az-har dipegang oleh Syaikh al-Nawawi (teman akrabnya), ia mendapat kesempatan mengadakan sedikit pembaruan.42 Menurut Muhammad Abduh, pendidikan memer-lukan pembaruan. Pelajar-pelajar madrasah harus mempelajari ilmu pengetahuan modern, sehingga mereka bisa membantu muslim memasuki dunia baru dalam kon-teks Islam yang akan sangat berarti bagi mereka semua. Dia yakin bahwa apabila al-Azhar ingin diperbaiki, pembenahan administrasi dan pendidikan di dalamnya pun harus dibenahi, kurikulumnya diperluas, mencakup sebagian ilmu-ilmu modern, se-hingga al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan universitas-universitas lain di Eropa ser-ta menjadi mercusuar dan pelita bagi kaum muslim pada zaman modern. Menurut-nya, ada dua pilihan untuk al-Azhar: maju atau hancur sama sekali. Ketika Abbas Hilmi naik ke pentas kekuasaan, dia mengeluarkan keputusan untuk membentuk se-buah panitia yang mengatur al-Azhar. Dalam kepanitiaan itu, Muhammad Abduh mewakili pemerintah dan menjadi pemrakarsanya. Panitia itu berhasil menaikkan ga-ji para guru-guru yang miskin, memperhatikan tempat tinggal dan kesehatan orang-orang yang tinggal di sekitarnya, serta memperbaiki kondisi perpustakaannya yang sangat menyedihkan. Hal yang paling penting adalah menambahkan mata pelajaran, yaitu berhitung, al-jabar, sejarah Islam, bahasa dan sastra, dan prinsip-prinsip geo-metri dan geografi.
Secara berangsur-angsur, ia mulai melakukan pengaturan libur yang lebih pen-dek dan masa belajar yang lebih diusahakan untuk dihilangkan. Sementara itu, ia ju-ga memasukkan kurikulum modern, seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah ke al-Azhar. Di samping masjid, didirikan Dewan Administrasi al-Azhar (ida-rah al-Azhar) dan diangkat beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran tu-gas Syaikh al-Azhar. Bersamaan dengan ini, juga dibangun oleh Rauq al-Azhar yang dapat memenuhi kebutuhan pemondokan bagi guru-guru dan mahasiswa-mahasiswinya.
Syaikh Mahmud Syaltut
Syaikh Mahmud Syaltut, adalah rektor al-Azhar ke-4146 yang membentuk orga-nisasi  untuk mengatur “pemeliharaan al-Qur’an” dan membentuk fakultas-fakultas baru antara lain: Fakultas Kedokteran, Fakultas Pertanian, dan Fakultas Teknik.
Syaikh Imam Muhammad Al-Maraghi
Syaikh Imam Muhammad al-Maraghi belajar di al-Azhar dari seorang ulama yang terkemuka, yaitu Syaikh Muhammad Abduh. Setelah lulus dari al-Azhar beliau langsung mengabdikan diri pada almamaternya. Al-Maraghi menjabat sebagai syaikh al-Azhar selama dua kali, yaitu pada tahun 1928 M dan pada tahun 1935 M sampai ta-hun 1945 M. Dia diangkat kembali sebagai syaikh al-Azhar untuk kedua kalinya. Ketika Al-Maraghi belajar di al-Azhar, sistem dan metode pembelajaran yang berlaku masih bersifat tradisional, yaitu dengan sistem halaqah, kemudian begitu beliau men-jabat sebagai syaikh al-Azhar langsung mengadakan pembaruan dan restrukturisasi berupa peraturan undang-undang tentang sistem pembelajaran di al-Azhar.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Pada masa-masa awal, proses pendidikan Islam berlangsung di tempat-tempat yang merupakan pusat ibadah (masjid). Namun karena banyaknya umat Islam yang berminat untuk belajar sedangkan kapasitas masjid tidak lagi mencukupi, juga mengganggu kegiatan orang-orang yang beribadah, institusi pendidikan mulai mengadakan pembenahan-pembenahan.
2. Pada awalnya al-Azhar bukan sebagai perguruan tinggi, tetapi al-Azhar merupa-kan     sebuah masjid yang oleh Khalifah Fatimiyah dijadikan sebagai pusat untuk menyebarkan dakwah mereka.
3.  Adapun tokoh-tokoh pada masa Dinasti Fatimiyah di antaranya: Syaikh Imam Ibrahim al-Barmawi (syaikh al-Azhar pada tahun 1694), Syaikh Muhammad Abbasi al-Mahdi al-Hanafi (rektor al-Azhar ke-21), Syaikh Muhammad Abduh (1849-19-05), dan Syaikh Mahmud Syaltur (rektor al-Azhar ke-41), Syaikh Imam Muhammad Al-Maraghi (syaikh al-Azhar selama dua kali, yaitu pada tahun 1928 M dan pada tahun 1935 sampai tahun 1945 M).

 

 

 

 

 

 



 


DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam pada Periode klasik dan Pertengahan. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Hitti, Philip K. History of The Arabs, Terjemahan R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi dgn judul: Sejarah Arab. Cet. I; Jakarta: Pt. Serambi Ilmu Semesta, 2008.

Siba’i, Mustafa Husni. Min Rawaa’i Hadaraatina. Terjemahan Abdullah Zakiy al-Kaaf dengan judul: Khazanah Peradaban Islam. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002.

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.


[1] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode klasik dan Pertengahan, (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 87.
[2] Philip K Hitti, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), 800.
[3] Mustafa Husni al-siba’i, Min Rawaa’i Hadaraatina, di terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf dg jdul, Khazanah Peradaban Islam, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002), 207.
[4] Philip K.Hitti, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,2008), 806.
[5] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode klasik dan Pertengahan, (Cet. I; Jakarta: PT. Raja   Grafindo Persada, 2004), 88.
[6] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Cet. I; Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), 174.

No comments:

Post a Comment

RANGKUMAN MATERI TEKNIK PENULISAN KARYA ILMIAH LENGKAP

A.    Konsep Karya Ilmiah Karya ilmiah terbentuk dari kata “karya” dan “ilmiah”. Karya berarti kerja dan hasil kerja dan ilmiah berari ...