KATA PENGANTAR
Bismillahir
rahmanir rahim
Dengan penuh keikhlasan hati, puji dan syukur Alhamdulillah kami haturkan kepada Ilahi
Robbi, sang maha pencipta, sumber ilmu pengetahuan, Allah SWT. Berkat keluasan
rahmat dan nikmatnya , sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Filsafat Islam mengenai
Filsafat Imam
al - Ghazali, walaupun
dengan keadaan makalah yang menurut kami masih jauh dari kata kesempurnaan.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan ke hadirat junjungan
kita Nabi Muhammad SAW, yang diutus dengan membawa syariat yang mudah nan penuh dengan
rahmat, dan membawa keselamatan kehidupan dunia dan akhirat.
Ungkapan terima kasih saya
sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah Filsafat Islam,
Bp. M.Chabibi, Lc.M.Hum, yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan tugas
makalah ini.
Selanjutnya dalam makalah ini kami akan mengulas tentang filsafat Imam al – Ghazali, yakni meliputi
riwayat hidup Imam al - Ghazali, pemikirannya tentang filsafat, teori
pengetahuan / ilmu dan keimanan, filsafat jiwa dan akhlak serta kontribusi
ilmiah dalam ilmu pengetahuan. Terakhir
kalinya, makalah ini masih jauh dari
sempurna, karenanya penulis berharap atas kritik dan saran konstruktif
demi kesempurnaan makalah ini, dengan segala keterbatasan penulis berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri pada khususnya serta bagi
semua pembaca pada umumnya.
Mojokerto, 18 April 2016
Penulis
Kelompok VI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………
i
DAFTAR ISI ...……………………………………………………………………………
ii
BAB I ( PENDAHULUAN ) ……………………………………………………………...
1
A.
Latar
Belakang ……………………………………………………………...
1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………...
1
C.
Tujuan
Penulisan ……………………………………………………………...
1
BAB II ( PEMBAHASAN ) ……………………………………………………………... 2
A.
Riwayat Hidup Imam al - Ghazali ………………………………………….. 2
B.
Pemikiran Filsafat Imam al – Ghazali …………………………………... 6
C.
Teori Ilmu Pengetahuan dan Keimanan al
-Ghazali ………………………….. 8
D.
Filsafat Jiwa dan Akhlak ................................................................................ 9
E.
Kontribusi Ilmiah dalam Ilmu Pengetahuan ................................................
11
BAB III ( KESIMPULAN ) ………………………………………………………………
14
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………... iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ketika
filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang
disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu
Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa
dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat
islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam
dikembangkan.
Dalam makalah ini, kami hanya membatasi pemaparan mengenai
Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap
Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang
teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu
beragam dan banyak, mulai dari pikiran
beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat.
Dalam makalah
ini, kami akan membahas mengenai hal - hal yang berkaitan dengan riwayat hidup
Imam al – Ghazali, pemikirannya tentang filsafat, teori pengetahuan dan
keimanan menurut Imam al – Ghazali, filsafat jiwa dan akhlaq menurut Imam al –
Ghazali serta kontribusi ilmiah dalam ilmu pengetahuan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
riwayat hidup Imam al – Ghazali ?
2.
Bagaimana
pemikiran Imam al – Ghazali tentang filsafat ?
3.
Bagaimana teori ilmu
pengetahuan dan keimanan menurut Imam al – Ghazali ?
4.
Bagaimana
filsafat jiwa dan akhlaq menurut Imam al – Ghazali ?
5.
Apa saja
kontribusi ilmiah dalam ilmu pengetahuan ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
riwayat hidup Imam al – Ghazali
2.
Mengetahui
pemikiran Imam al – Ghazali tentang filsafat
3.
Mengetahui teori
ilmu pengetahuan dan keimanan menurut Imam al – Ghazali
4.
Mengetahui
filsafat jiwa dan akhlaq menurut Imam al – Ghazali
5.
Mengetahui apa
saja kontribusi ilmiah dalam ilmu pengetahuan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup
Imam al - Ghazali
Imam al
– Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al – Ghazali.
Beliau dilahirkan di Thus, salah satu kota di Khurasan (Persia) pada
pertengahan abad kelima hijriyah (450 H / 1058 M ). Beliau adalah salah seorang
pemikir besar Islam yang dianugerahi gelar hujjat al – Islam ( bukti
kebenaran agama Islam ) dan zayn ad – diin ( perhiasan agama ).[1]
Ayah al
– Ghazali adalah seorang wara` yang hanya makan dari usaha tangannya
sendiri. Pekerjaannya sebagai pemintal dan penjual wol. Pada waktu – waktu
senggangnya, menurut cerita, ia selalu mendatangi tokoh – tokoh agama dan para
ahli fiqih di berbagai majelis dan khalawat mereka untuk mendengarkan nasihat –
nasihatnya. Tampaknya tentang pribadi dan sifat – sifat ayah al – Ghazali ini
tidak banyak ditulis orang, kecuali sikap pengabdiannya yang mengagumkan
terhadap para tokoh agama dan ilmu pengetahuan.[2]
Sang
ayah wafat ketika al – Ghazali dan saudara kandungnya, Ahmad masih dalam usia
anak – anak. Ketika hendak wafat, sang ayah menitipkan al – Ghazali dan adiknya
kepada seorang sufi. Ayahnya menitipkan sedikit harta kepada sufi itu seraya
berkata dalam wasiatnya : “[ aku menyesal sekali karena aku tidak belajar
menulis, aku berharap mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu melalui dua
putraku ini].”[3]
Sang
sufi itu memegang kuat wasiat yang diamanatkan kepadanya. Dia begitu serius
memperhatikan kepentingan pendidikan dan moralitaskedua anak temannya ini,
sampai peninggalan harta dari ayahnya habis. Ketika sang sufi merasa tidak mampu
lagi membiayai kehidupan kedua anak itu, ia berkata kepada al –Ghazali dan
saudaranya, “ Ketahuilah bahwa saya telah membiayai kalian sesuai dengan harta
kalian berdua yang dititipkan pada saya. Kalian tahu bahwa saya adalah orang
miskin yang hidup mengasingkan diri hingga saya tidak mempunyai harta benda
yang bisa dipergunakan untuk membiayai kalian berdua. Untuk itu, saya sarankan
kalian berdua untuk pergi ke sekolah yang memyediakan beasiswa. Sebab, kalian
berdua adalah orang yang menuntut ilmu. Semoga kalian berdua dapat berhasil
sesuai dengan bekal yang kalian miliki.”[4]
Setelah
belajar dari teman ayahnya itu, al – Ghazali melanjutkan pendidikannya ke salah
satu sekolah agama di daerahnya, Thus. Disini, ia belajar ilmu fiqh pada salah
seorang ulama yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar – Razakani Ath – Thusy.
Setelah itu, ia melanjutkan sekolahnya ke Jurjan untuk belajar kepada Al – Imam
Al – Allamah Abu Nashr Al – Isma`ily.[5]
Di
Jurjan, al – Ghazali mulai menuliskan ilmu – ilmu yang diajarkan oleh gurunya.
Ia sendiri menulis suatu komentar tentang ilmu fiqh. Akan tetapi, menurut
sebuah cerita, di tempat ini, semua buku – buku catatan dan tulisannya dirampas
oleh para perampok, meskipun pada akhirnya barang – barang tersebut
dikembalikan setelah al – Ghazali berusaha keras untuk memintanya kembali.
Kejadian ini mendorongnya untuk menghafal semua pelajaran yang diterimanya.
Oleh karena itu, setelah sampai di Thus kembali, ia berkonsentrasi untuk
menghafal semua yang pernah dipelajarinya selama kurang lebih tiga tahun.
Sehingga menurutnya, apabila kelak dirampok lagi, dia tidak akan kehilangan
ilmu yang dimilikinya.[6]
Akan
tetapi, pengetahuan – pengetahuan yang ada di Thus, agaknya tidak cukup memadai
untuk membekali al – Ghazali. Untuk itu, ia kemudian memasuki sekolah tinggi
Nidhamiyah di Naisabur, dan di sinilah ia berguru pada Imam Haramain Abu al
Ma`ali al Juwaini, seorang ahli teologi Asy`ariyah paling terkenal padaasa itu
dan profesor terpandang di sekolah tersebut. Dari madrasah ini, ia menguasai ilmu
manthiq, ilmu kalam, fiqh – ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan retorika
perdebatan.[7]
Selama
berada di Naisabur, al – Ghazali tidak saja belajar kepada al – Juwaini, tetapi
juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori – teori tasawuf kepada Yusuf an
– Nasaj. Kemudian, ia melakukan latihan dan praktik tasawuf, meskipun hal itu
belum mendatangkan pengaruh yang berarti dalam langkah hidupnya.[8]
Ilmu –
ilmu yang ia dapatkan dari al – Juwaini benar – benar ia kuasai. Karena
kemahirannya inilah, al – Juwaini menjuluki al – Ghazali dengan sebutan “ Bahr
Mu`riq” [ lautan yang menghanyutkan ]. Kecerdasan dan keluasan wawasan
berfikir yang dimiliki oleh al – Ghazali membuatnya menjadi populer. Bahkan,
ada riwayat yang menyebutkan bahwa diam – diam di hati Imam Haramain timbul
rasa iri dan membuatnya sampai mengatakan :[9]
“ [Engkau telah
memudarkan ketenaranku padahal aku masih hidup, apakah aku mesti menahan diri
padahal ketenaranku telah mati]”.
Setelah Imam al – Haramain wafat, al
– Ghazali meninggalkan Naisabur menuju Mu`askar untuk menghadiri pertemuan atau
majelis yang diadakan oleh Nidham al- Muluk, Perdana Menteri daulah Bani
Saljuk. Di majelis tersebut, karena banyak berkumpul di dalamnya para ulama`
dan fuqaha`.al – Ghazali ingin berdiskusi dengan mereka. Disana, ia dapat
melebihi kemampuan lawan – lawannya dalam berdiskusi dan berargumentasi. Karena
kemampuannya mengalahkan para ulama` setempat dalam muhadharah, al – Ghazali
diterima dengan penuh kehormatan oleh Nidham al – Muluk. Bahkan Nidham al – Muluk
pun memberikan kepercayaan kepada al – Ghazali untuk mengelola madrasah
Nidhamiyah di Baghdad.[10]
Kemudian al - Ghazali pergi ke Baghdad untuk mengajar di
madrasah Nidhamiyah itu pada tahun 484 H / 1090 M. Disana, ia melaksanakan
tugasnya dengan baik, sehingga banyak penuntut ilmu yang memadati halaqah nya.
Namanya kemudian menjadi terkenal di kawasan itu karena berbagai fatwa tentang
masalah agama yang dikeluarkannya. Di samping mengajar, ia juga mulai menulis
beberapa buku, diantaranya tentangfiqh dan ilmu kalam, serta kitab – kitab yang
berisi sanggahan terhadap aliran Bathiniyyah ( salah satu aliran dari sekte
Syi`ah ), aliran Syi`ah Isma`iliyyah dan falsafah.[11]
Setelah satu tahun berada di kota
Baghdad, nama al – Ghazali menjadi terkenal sampai ke istana khalifah
Abbasiyah. Khalifah Muqtadi bi Amrillah pada masa pemerintahannya begitu
tertarik kepadanya, sehingga pada tahun 485 H, ia mengutus al – Ghazali untuk
menemui permaisuri Raja Malik Syah dari bani Saljuk, yakni Terkanu Khatun, yang
pada saat itu memegang kendali pemerintahan di belakang layar untuk mengadakan
pertemuan tingkat tinggi.[12]
Di Baghdad inilah, al- Ghazali
menikmati pangkat, kehormatan, harta, dan kedudukan yang ia dambakan. Akan
tetapi, kemuliaan dan kedudukan yang ia peroleh di Baghdad tidak berlangsung
lama akibat adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik
pemerintahan pusat maupun pemerintahan daulah bani Saljuk, diantaranya adalah :[13]
1.
Pada tahun 484
H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan al – Ghazali dengan permaisuri raja bani
Saljuk, suaminya, Raja Malik Syah yang terkenal adil dan bijaksana meninggal
dunia.
2.
Pada tahun yang
sama ( 485 H/1092 M ), Perdana Menteri Nidham al – Muluk yang menjadi sahabat
karib al – Ghazali mati dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran di daerah dekat
Nahawand, Persi.
3.
Dua tahun
kemudian, pada tahun 487 H / 1094 M, wafat pula khalifah Abbasiyah, Muqtadi bi
Amrillah.
Ketiga
orang tersebut di atas, bagi al – Ghazali, merupakan orang – orang yang selama
ini dianggapnya banyak memberi peran kepada al –Ghazali, bahkan sampai
menjadikannya sebagai ulama` yang terkenal.[14]
Dalam hal itu, mengingat ketiga
orang tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemerintahan bani Abbas
yang pada saat itu dikendalikan oleh daulah bani Saljuk, meninggalnya ketiga
orang tersebut sangat mengguncangkan kestabilan pemerintahan. Pemerintahan
menjadi sangat lemah untuk menangani kemelut yang terjadi dimana-mana terutama
dalam menghadapi teror aliran Bathiniyyah yang menjadi penggerak dalam
pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri Nidham al –Muluk. Dalam
suasana kritis itulah, penguasa tinggi Abbasiyah Khalifah Mustadhdhir Billah
memintakepada al – Ghazali untuk terjundalam gelanggang politik dengan
menggunakan penanya. Tapi, betapa pun kuatnya al – Ghazali mendesak khalifah
Mustadhdhir supaya menggerakkan seluruh kekuatan negara untuk membasmi aksi –
aksi teror itu, ia tetap terbentur oleh kelemahan pemerintah dimana – mana.
Hingga akhirnya, al –Ghazali mulai merasakan bahwa aksi teror itu sudah
ditujukan kepada dirinya karena karangannya yang menentang aliran Bathiniyyah
itu.[15]
Sejalan dengan situasi politik
tersebut, pada tahun 488 H / 1095 M, al – Ghazali merasakan krisis rohani,
yakni munculnya keraguan di dalam dirinya yang meliputi masalah akidah dan
semua jenis ilmu pengetahuan, baik yang empiris maupun rasional. Krisis
tersebut berlangsung tidak lebih dari dua bulan. Setelah itu, ia memperdalam
studinya tentang sekte – sekte teologi, ilmu kalam, dan falsafah, serta menulis
beberapa buku – buku dalam berbagai disiplin ilmu seperti falsafah, fiqh, dan
lain – lain.[16]
Pergolakan
dalam diri Imam al – Ghazali yang menyebabkan ketidak puasan batinnya membuat
ia memutuskan untuk melepaskan jabatan dan pengaruhnya untuk meninggalkan
Baghdad menuju Syiria, Palestina, dan kemudian ke Makkah untuk mencari
kebenaran. Setelah memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama
kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember
1111 M, atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 H, dengan meninggalkan
banyak karya tulisnya.[17]
Karya –
karya tulis yang ditinggalkan oleh Imam al – Ghazali menunjukkan
keistimewaannya sebagai seorang pengarang yang produktif. Dalam seluruh masa
hidupnya, baik sebagai penasihat kerajaan maupun sebagai guru besar di Baghdad,
baik sewaktu mulai dalam skeptis di Naisabur maupun setelah berada dalam
keyakinan yang mantap, ia tetap aktif mengarang.[18]
B.
Pemikiran
Filsafat Imam al – Ghazali
Sering
orang memahami filsafat al – Ghazali dengan anggapan bahwa al – Ghazali tabu dengan filsafat, bahkan menentang
filsafat. Para ilmuwan bahkan juga berpendapat bahwa ia bukanlah seorang
filosof karena ia menentang dan
memerangi filsafat serta membuangnya. Tudingan ini perlu dikaji secara
mendetail apa yang sebenarnya yang dimaksud filsafat oleh al – Ghazali dan
filsafat apa yang boleh dan yang tidak boleh. Kajian ini perlu diungkap supaya mudah memetakan al –
Ghazali sebagai filsuf, sufi dan juga fuqaha`.[19]
Tentangan pada filsafat yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin
dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :
”...sumber kekufuran manusia pada saat itu
adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus,
Plato, Aristoteles dan lain-lainnya, mereka
mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan
intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di
bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi, mereka mendengar bahwa para
filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada
dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah
ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...”[20]
Filsafat menurut al -
Ghazali terbagi atas enam bagian,
yaitu : ilmu pasti, ilmu logika, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu politik, dan
ilmu akhlak. Di samping itu, pada dasarnya al – Ghazali tidak menyerang semua
cabang filsafat tersebut, kecuali filsafat ketuhanan, dimana para filsuf amat
mengagungkan peranan akal yang mengalahkan agama dan syariat sebagaimana yang
dijelaskan dalam kutipan di atas. [21]
Menurut al – Ghazali, secara teoretis, akal dan syara`
tidak bertentangan secara hakiki, karena semuanya adalah cahaya petunjuk dari
Allah SWT. Demikian juga ditinjau dari segi praktis, tidak ada hakikat agama
yang bertentangan dengan hakikat ilmiah. Al – Ghazali melihat bahwa satu sama
lainnya saling mendukung dan membenarkan.[22]
Menurut al – Ghazali, “ Akal bagaikan penglihatan sehat,
sedangkan al – Qur`an bagaikan matahari yang menebarkan sinarnya. Satu sama
lainnya saling membutuhkan, kecuali orang – orang bodoh, yakni orang yang
mengabaikan akal dan mencukupkan diri dengan al – Qur`an. Mereka bagaikan orang
yang melihat matahari dengan menutup kelopak mata. Tidak ada bedanya antara
orang seperti ini dengan orang buta. Dengan demikian, menurut al – Ghazali,
akal tidak mungkin menetapkan suatu kebenaran yang dinafikan syara` dan syara`
tidak akan membawa suatu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal.[23]
Dari berbagai uraian tersebut, tampak bahwa ilmu logika (
akal ), menurut al – Ghazali, merupakan instrumen untuk memahami dalil –dalil
syari`at. Akan tetapi, akal atau berfilsafat yang tahu akan batasnya dan tidak
menghalangi dirinya untuk mendapat nur
yang lebih besar, yaitu nur wahyu ilahi. Dengan kata lain, akal atau
berfilsafat membenarkan hukum secara pasti, atau paling tidak, berfilsafat
adalah berfikir secara mendalam tentang sesuatu; mengetahui apa ( mahiyah ),
bagaimana dan nilai – nilai dari sesuatu itu.[24]
C. Teori Ilmu Pengetahuan dan Keimanan al – Ghazali
Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi setiap
manusia, karena tanpa ilmu manusia akan bodoh dan tidak mengetahui arah hidup
dalam prikehidupan. Sebagai seorang ilmuwan besar, Al-Ghazali berupaya membuat
sebuah karya-karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang untuk selalu
menggali ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Di dalam karyanya al-Ghazali
yang berjudul Ihya` Ulum Ad
Din yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini merupakan sebuah karya al - Ghazali yang banyak dipakai oleh para
ulama-ulama kalam sebagai bahan kajian untuk amalan-amalan baik manusia. Karena
di dalam buku itu
banyak menjelaskan tentang ilmu - ilmu keagamaan Islam, ke-Esaan Allah, dan
ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan syariat.[25]
Pada karyanya yang lain, dan juga terkenal di
tengah masyarakat yang berjudul Al Munqidz min Ad
Dhalal al-Ghazali berpendapat bahwa :[26]
” Ilmu hati
merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni
alam lahir
dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan
analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu
bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu inderawi dan sufi
(lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah
panca indera, sedang metoda untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus
kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud,
dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi berbagai
realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran.
Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf. Al-Ghazali menentang
kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori Al Ijtihad) karena bertentangan
dengan ajaran agama.”
Di lain karyanya yang berjudul The Juwels of
the Qur’an (mutiara al-Qur’an) dan Mizan Al - Amal ( timbangan
amal ), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi
empat bagian :[27]
a) Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan
praktis.
b)
Pembagian
pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang
dicapai (hushuli).
c)
Pembagian
atas ilmu-ilmu religius (syar’iyyah)
dan intelektual (aqliyah).
d) Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’in
(wajib atas setiap individu) dan fardhu kifayah (wajib atas umat).
Di antara empat hal dari klasifikasi ilmu di
atas yang telah diuraikannya, yang paling luas di bahas olehnya dalam melakukan
pengajaran/diskusi adalah pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu intelektual dan
religius. Namun menurutnya, yang jelas keempat sistem klasifikasi di atas
sangat absah, dan mempunyai derajat yang sama.Kalau dilihat pemikiran dari
al-Ghazali, maka akan terlihat pendapatnya yang banyak menentang aliran-aliran
filsafat. Menurutnya banyak orang-orang yang menyimpang dari ajaran agama saat
mempelajari filsafat, karena kebanyakan manusia di saat mempelajari filsafat
tanpa sebuah pegangan yang kuat atau dasar yang kuat.[28]
Filsafat menurutnya lebih banyak mengedepankan
akal daripada dalil untuk mencari sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, al-Ghazali
banyak dikenal oleh para masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak
melibatkan dirinya kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf
inkarnasi dan tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh
al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air
yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil argumen-argumen
ilmu kalam.[29]
D.
Filsafat Jiwa dan
Akhlak
Manusia menurut al – Ghazali diciptakan
Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa, yang menjadi inti
hakikat manusia adalah makhluk spiritual rabbani yang sangat halus ( Lathifah
rabbaniyyah ). Istilah – istilah yang digunakan al – Ghazali untuk itu
adalah qalb, ruh, nafs, dan `aql.[30]
Jiwa
bagi al – Ghazali adalah suatu zat ( jauhar ) dan bukan suatu keadaan
atau aksiden (`ardh ), sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasadlah
yang adanya bergantung pada jiwa dan bukan sebalikna. Jiwa, berada di alam
spiritual, sedangkan jasad di alam materi. Jiwa, bagi al – Ghazali, berasal
sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya illahiyah. Ia tak pre – eksisten, tidak
berawal dengan waktu, seperti menurut Plato dan filsuf lainnya. Tiap jiwa
pribadidiciptakan Allah di alam atas ( alam al – arwah ) pada saat benih
manusia memasuki rahim, dan jiwa lalu dihubungkan dengan jasad. Setelah
kematian, jasad musnah, tetapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan
kematian tersebut, kecuali kehilangan wadahnya.[31]
Bagi al
– Ghazali, jiwa yang berasal dari Ilahi mempunyai potensi kodrat, yaitu
kecenderungannya pada kebaikan dan keengganan pada kekejian. Pada waktu lahir,
a merupakan zat yang bersih dan murni dengan esensi malaikat ( alam al –
malakut ), sedangkan jasad berasal dari alam al – khalaq. Oleh
karena itu, kecenderungan jiwa, pada kejahatan ( yang timbul setelah lahirnya
nafsu ) bertentangan dengan tabiat aslinya. Oleh karena itu, jiwa rindu akan
alam atas dan ingin mendampingi para malaikat, namun kerap diredam keinginan
duniawi.[32]
Mengenai
perihal kekekalan jiwa yang problematik itu, al – Ghazali menegaskan bahwa
Tuhan sesungguhnya dapat menghancurkan jiwa, tetapi Dia tidak melakukannya. Disini,
al – Ghazali berada di persimpangan pandangan sebagai mutakallimi (kemungkinan
munculnya jiwa apabila dikehendaki Tuhan ), dan pandangan sebagai filsuf ( jiwa
mempunyai sifat substansi kekal ). Dengan demikian, bantahan al – Ghazali
terhadap filsuf dalam bukunya, tahafut al – falasifah, bukan ditekankan
pada kekekalan jiwa; yang dibantahnya adalah dalil – dali rasional yang
digunakan para filsuf untuk membuktikan kekekalan jiwa itu. Menurutnya,hanya
jiwa syara` yang bisa menjelaskan persoalan al ma`ad ( kehidupan di akhirat ).[33]
Adapun
hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah setiap jiwa diberi jasad,
sehingga dengan bantuannya, jiwa bisa mendapatkan bekal. Jiwa merupakan inti hakiki manusia dan jasad hanyalah alat baginya untuk mencari bekal dan
kesempurnaan; karena jasad sangat diperlukan oleh jiwa maka ia harus dirawat
baik – baik.[34]
Mengenai filsafat akhlak,
al - Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat akhlak al -Ghazali
adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari akhlak al - Ghazali
kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “At - Takhalluq
Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al - Basyariyah, atau Al - Ishaf Bi
Shifat al - Rahman
‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya
meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan
sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.[35]
Sesuai dengan prinsip
Islam, al - Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang
sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda
dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai
kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri
dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam,
mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi.
Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan
berlebihan.
E. Kontribusi Ilmiah dalam Ilmu Pengetahuan
Al – Ghazali adalah salah
seorang ulama` dan pemikir dalam dunia islam yang sangat produktif dalam
menulis. Dalam masa hidupnya, baik ketika menjadi pembesar negaradi Mu`askar
maupun ketika sebagai profesor di Baghdad, baik sewaktu skeptis di Naisabur
maupun setelah berada dalam perjalanannya mencari kebenaran dari apa yang
dimilikinya, dan sampai akhir hayatnya, al – Ghazali terus berusaha menulis dan
mengarang.[36]
Menurut catatan Sulaiman
Dunya, karangan al – Ghazali mencapai 300 buah. Ia mulai mengarang pada usia 25
tahun. Waktu yang ia gunakan untuk mengarang terhitung selama 30 tahun. Dengan
perhitungan ini, setiap tahun ia menghasilkan karya tidak kurang dari 10 buah
kitab besar dan kecil, meliputi beberapa kajian ilmu pengetahuan, antara lain :
filsafat dan ilmu kalam, fiqh – ushul fiqh, tafsir, tasawuf, dan akhlak.[37]
Dalam sumber lain dijelaskan
bahwa jumlah kitab yang ditulisal – Ghazali sampai sekarang belum disepakati
secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy, penelitian
paling akhir tentang jumlah buku yang dikarang oleh al – Ghazali adalah yang
dilaukan oleh Abdurrahman al – Badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalam satu
buku yang berjudul Muallafat al – Ghazali. Dalam buku tersebut,
Abdurrahman mengklasifikasikan kitab – kitab yang ada hubungannya dengan karya
Imam al – ghazali dalam tiga kelompok.[38]
Menurut Badawi, ia
mengatakan bahwa jumlah karangan al –
Ghazali ada 47 buah. Nama – nama buku tersebut adalah :[39]
ü Ihya` `ulum ad – Diin
ü Tahafut al – Falasifah
ü Al – Iqtishad al – I`tiqad
ü Al – Munqidz min adh – Dhalal
ü Faishal at – Tafriq Baina al – Islam wa al – Zindiqah
ü Al – Mustadhhiry
ü Hujjat al – Haq
ü Mufahil al – Khilaf fi Ushul ad – Diin
ü Kimiya as – Sa`adah
ü Ad – Darar al – Fakhirah fi Kasyfi `Ulum al – Akhirah
ü Al – Anis fi al – Wahdah
ü Al – Qurbah ila Allah `Azza wa Jalla
ü Akhlaq al – Abrar
ü Bidayat al – Hidayah
ü Al – Arba`in fi Ushul ad – Diin
ü Adz – Dzari`ah ila Mahakim Asy – Syari`ah
ü Al – Mabadi wa al – Ghayat
ü Talbisu Iblis
ü Al - `Amali
ü Isbat an – Nadhar
ü Al – Ma`akhidz
ü Al – Qaul al – Jamil fi ar – Raddi `ala Man Ghayyara al –
Injil
ü Ar Risalah al – Qudsiyyah
ü Jawahir al – Qur`an
ü Mizan al - `Amal
ü Al – Maqashid al – Asna fi Maani Asmaillah al – Husna
ü Al – Qishash al – Mustaqim
ü Al – Basith
ü Al – Wasith
ü Al – Wajiz
ü Al – Khulashah al – Mukhtasharah
ü Yaqut at– ta`wil fi Tafsir at – Tanzil
ü Al – Mustasfa
ü Al – Mankhul
ü Al – Muntaha fi `Ilmi al – Jadal
ü Mi`yar al - `Ilmi
ü Al – Maqashid
ü Al– Madnun bihi `ala Ghairi Ahlihi
ü Misykat al Anwar
ü Mahku an – Nadhar
ü Asraru `Ilmi ad – Diin
ü Minhaj al - `Abidiin
ü Nashihat al – Muluk
ü Syifa`u al - `Alil fi al – Qiyas wa at – Talil
ü Iljam al – Awwam `an `ilmi al – Kalam
ü Al – Intishar lima fi al – Ajnas min al – Asrar
ü Al - `Ulum al – Laduniyyah
Karya –
karya tersebut membuat al – Ghazali tidak mungkin diingkari sebagai seorang
pemikir kelas jagad yang amat berpengaruh. Kalangan Islam pun banyak yang
menilai bahwa dalam hal ajaran, ia adalah orang kedua yang paling berpengaruh
setelah Rasulullah SAW. Mungkin pernyataan tersebut dinilai berlebihan, tetapi
banyak unsur yang mendukung kebenaran penilaian tersebut. Uniknya lagi,
pemikiran keagamaannya tidak hanya berpengaruh di kalangan Islam, tetapi juga
di kalangan agama Yahudi dan Kristen.[40]
BAB III
KESIMPULAN
Imam al -
Ghazali merupakan seorang ulama besar yang pemikirannya sangat
berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Ia memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al – Ghazali. Ia dilahirkan di Thus, salah satu kota di Khurasan
(Persia) pada pertengahan abad kelima hijriyah (450 H / 1058 M ). Ia adalah
salah seorang pemikir besar Islam yang dianugerahi gelar hujjat al – Islam (
bukti kebenaran agama Islam ) dan zayn ad – diin ( perhiasan agama ).
Kebanyakan
orang menilai Imam al – Ghazali tabu dengan filsafat dikarenakan adanya
tentangannya terhadap argumen – argumen para filosof. Padahal, pada dasarnya al
– Ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat, kecuali filsafat ketuhanan,
dimana para filsuf amat mengagungkan peranan akal yang mengalahkan agama dan
syariat. Menurut al – Ghazali, antara akal dan syari`at itu tidak dapat
terpisahkan karena keduanya saling melengkapi.
Dalam
teori pengetahuan, al-Ghazali
mengklasifikasikan ilmu menjadi empat bagian. Yang mana dari empat klasifikasi
ilmu tersebut, yang paling luas di bahas olehnya dalam melakukan
pengajaran/diskusi adalah pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu intelektual dan
religius. Namun menurutnya, yang jelas keempat sistem
klasifikasi ilmu tersebut sangat
absah, dan mempunyai derajat yang sama.
Filsafat
jiwa al – Ghazali menjelaskan bahwa manusia menurutnya diciptakan Allah sebagai
makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa, yang menjadi inti hakikat
manusia adalah makhluk spiritual rabbani yang sangat halus ( Lathifah
rabbaniyyah ). Sedangkan mengenai filsafat akhlak, al - Ghazali secara sekaligus dapat
kita lihat pada teori tasawufnya dalam
kitab Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat akhlak al -Ghazali
adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari akhlak al - Ghazali yaitu agar manusia sejauh kesanggupannya meniru
perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat
yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Semasa hidupnya, Imam al –
Ghazali sangat produktif dalam membuat karya. Karya – karya
tersebut membuat al – Ghazali tidak mungkin diingkari sebagai seorang pemikir
kelas jagad yang amat berpengaruh. Pemikiran keagamaannya tidak hanya
berpengaruh di kalangan Islam, tetapi juga di kalangan agama Yahudi dan Kristen
[1]
Dedi Supriyadi, Pengantar
Filsafat Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu, hlm. 143
[3]
M.Sholihin ;Rosihon Anwar, Ilmu
Tasawuf, ( Bandung:CV.Pustaka Setia, 2008 ), cetakan kesatu, hlm.135 -136
[4]
Dedi Supriyadi, Pengantar
Filsafat Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu, hlm. 144 -
145
[5] Ibid, hlm.
145
[6] Ibid.
[7] M.Sholihin ;Rosihon Anwar, Ilmu
Tasawuf, ( Bandung:CV.Pustaka Setia, 2008 ), cetakan kesatu, hlm.136
[8]
M.Sholihin ;Rosihon Anwar, Ibid.,
hlm. 136
[9]
M.Sholihin ;Rosihon Anwar, Ilmu
Tasawuf, ( Bandung:CV.Pustaka Setia, 2008 ), cetakan kesatu, hlm. 136- 137
[10]
Dedi Supriyadi, Pengantar
Filsafat Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu, hlm. 146
[13]
Dedi Supriyadi, Pengantar
Filsafat Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu, hlm. 147
[16]
Dedi Supriyadi, Pengantar
Filsafat Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu, hlm. 148 -
149
[17]
M.Sholihin ;Rosihon Anwar, Ilmu
Tasawuf, ( Bandung:CV.Pustaka Setia, 2008 ), cetakan kesatu, hlm. 137-138
[18] Ibid, M.Sholihin
;Rosihon Anwar, hlm. 138
[20]
Dedi Supriyadi, Pengantar
Filsafat Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu, hlm.155
[24]
Dedi Supriyadi, Pengantar
Filsafat Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu, hlm.158
[28]
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat
Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu,Ibid, hlm.175
[30] Dedi Supriyadi, ibid, hlm. 174
[31]
Ibid
[32]
Ibid
[36]
Dedi Supriyadi, Pengantar
Filsafat Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu, hlm. 151
[37]
M.Sholihin ;Rosihon Anwar, Ilmu
Tasawuf, ( Bandung:CV.Pustaka Setia, 2008 ), cetakan kesatu, hlm.138
[38]
Dedi Supriyadi, Ibid, hlm.
152
[40]
M.Sholihin ;Rosihon Anwar, Ilmu
Tasawuf, ( Bandung:CV.Pustaka Setia, 2008 ), cetakan kesatu, hlm. 139
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud, Abdul Halim, Tasawuf di Dunia Islam, CV. Pustaka Setia,
Bandung,-.
Solihin, M dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf,
CV. Pustaka Setia, Bandung, 2008.
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2009.
No comments:
Post a Comment