Sunday, 6 November 2016

MAKALAH FILSAFAT IMAM AL - GHOZALI


KATA PENGANTAR
Bismillahir rahmanir rahim
Dengan penuh keikhlasan hati, puji dan syukur  Alhamdulillah kami haturkan kepada Ilahi Robbi, sang maha pencipta, sumber ilmu pengetahuan, Allah SWT. Berkat  keluasan  rahmat dan nikmatnya , sehingga kami dapat menyelesaikan  tugas mata kuliah Filsafat Islam mengenai Filsafat Imam  al - Ghazali, walaupun dengan keadaan makalah yang menurut kami masih jauh dari kata kesempurnaan.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan ke hadirat junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang diutus dengan membawa syariat yang mudah nan penuh dengan rahmat, dan membawa keselamatan kehidupan dunia dan akhirat.
Ungkapan terima kasih  saya sampaikan kepada dosen  pengampu  mata kuliah Filsafat Islam, Bp. M.Chabibi, Lc.M.Hum, yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Selanjutnya dalam  makalah  ini kami akan mengulas tentang filsafat Imam al – Ghazali, yakni meliputi riwayat hidup Imam al - Ghazali, pemikirannya tentang filsafat, teori pengetahuan / ilmu dan keimanan, filsafat jiwa dan akhlak serta kontribusi ilmiah dalam ilmu pengetahuan. Terakhir kalinya,  makalah ini masih jauh dari sempurna, karenanya penulis berharap atas kritik dan saran konstruktif demi kesempurnaan makalah ini, dengan segala keterbatasan penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri pada khususnya serta bagi semua pembaca pada umumnya.

Mojokerto, 18 April  2016


Penulis
Kelompok VI

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR    ……………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI      ...…………………………………………………………………………… ii
BAB I ( PENDAHULUAN )     ……………………………………………………………... 1
A. Latar Belakang          ……………………………………………………………... 1
B.  Rumusan Masalah     ……………………………………………………………... 1
C.  Tujuan Penulisan       ……………………………………………………………... 1     
BAB II ( PEMBAHASAN )      ……………………………………………………………... 2
A.    Riwayat Hidup Imam al - Ghazali         ………………………………………….. 2
B.     Pemikiran Filsafat Imam al – Ghazali               …………………………………... 6
C.     Teori Ilmu Pengetahuan dan Keimanan al -Ghazali    …………………………..  8
D.    Filsafat Jiwa dan Akhlak       ................................................................................  9
E.     Kontribusi Ilmiah dalam Ilmu Pengetahuan         ................................................ 11
BAB III ( KESIMPULAN )  ……………………………………………………………… 14
DAFTAR PUSTAKA         ………………………………………………………………... iii








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini, kami hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak,  mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat.
Dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai hal - hal yang berkaitan dengan riwayat hidup Imam al – Ghazali, pemikirannya tentang filsafat, teori pengetahuan dan keimanan menurut Imam al – Ghazali, filsafat jiwa dan akhlaq menurut Imam al – Ghazali serta kontribusi ilmiah dalam ilmu pengetahuan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup Imam al – Ghazali ?
2.      Bagaimana pemikiran Imam al – Ghazali tentang filsafat ?
3.      Bagaimana teori ilmu pengetahuan dan keimanan menurut Imam al – Ghazali ?
4.      Bagaimana filsafat jiwa dan akhlaq menurut Imam al – Ghazali ?
5.      Apa saja kontribusi ilmiah dalam ilmu pengetahuan ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui riwayat hidup Imam al – Ghazali
2.      Mengetahui pemikiran Imam al – Ghazali tentang filsafat
3.      Mengetahui teori ilmu pengetahuan dan keimanan menurut Imam al – Ghazali
4.      Mengetahui filsafat jiwa dan akhlaq menurut Imam al – Ghazali
5.      Mengetahui apa saja kontribusi ilmiah dalam ilmu pengetahuan


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Riwayat Hidup Imam al  - Ghazali
Imam al – Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al – Ghazali. Beliau dilahirkan di Thus, salah satu kota di Khurasan (Persia) pada pertengahan abad kelima hijriyah (450 H / 1058 M ). Beliau adalah salah seorang pemikir besar Islam yang dianugerahi gelar hujjat al – Islam ( bukti kebenaran agama Islam ) dan zayn ad – diin ( perhiasan agama ).[1]
Ayah al – Ghazali adalah seorang wara` yang hanya makan dari usaha tangannya sendiri. Pekerjaannya sebagai pemintal dan penjual wol. Pada waktu – waktu senggangnya, menurut cerita, ia selalu mendatangi tokoh – tokoh agama dan para ahli fiqih di berbagai majelis dan khalawat mereka untuk mendengarkan nasihat – nasihatnya. Tampaknya tentang pribadi dan sifat – sifat ayah al – Ghazali ini tidak banyak ditulis orang, kecuali sikap pengabdiannya yang mengagumkan terhadap para tokoh agama dan ilmu pengetahuan.[2]
Sang ayah wafat ketika al – Ghazali dan saudara kandungnya, Ahmad masih dalam usia anak – anak. Ketika hendak wafat, sang ayah menitipkan al – Ghazali dan adiknya kepada seorang sufi. Ayahnya menitipkan sedikit harta kepada sufi itu seraya berkata dalam wasiatnya : “[ aku menyesal sekali karena aku tidak belajar menulis, aku berharap mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu melalui dua putraku ini].”[3]
Sang sufi itu memegang kuat wasiat yang diamanatkan kepadanya. Dia begitu serius memperhatikan kepentingan pendidikan dan moralitaskedua anak temannya ini, sampai peninggalan harta dari ayahnya habis. Ketika sang sufi merasa tidak mampu lagi membiayai kehidupan kedua anak itu, ia berkata kepada al –Ghazali dan saudaranya, “ Ketahuilah bahwa saya telah membiayai kalian sesuai dengan harta kalian berdua yang dititipkan pada saya. Kalian tahu bahwa saya adalah orang miskin yang hidup mengasingkan diri hingga saya tidak mempunyai harta benda yang bisa dipergunakan untuk membiayai kalian berdua. Untuk itu, saya sarankan kalian berdua untuk pergi ke sekolah yang memyediakan beasiswa. Sebab, kalian berdua adalah orang yang menuntut ilmu. Semoga kalian berdua dapat berhasil sesuai dengan bekal yang kalian miliki.”[4]
Setelah belajar dari teman ayahnya itu, al – Ghazali melanjutkan pendidikannya ke salah satu sekolah agama di daerahnya, Thus. Disini, ia belajar ilmu fiqh pada salah seorang ulama yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar – Razakani Ath – Thusy. Setelah itu, ia melanjutkan sekolahnya ke Jurjan untuk belajar kepada Al – Imam Al – Allamah Abu Nashr Al – Isma`ily.[5]
Di Jurjan, al – Ghazali mulai menuliskan ilmu – ilmu yang diajarkan oleh gurunya. Ia sendiri menulis suatu komentar tentang ilmu fiqh. Akan tetapi, menurut sebuah cerita, di tempat ini, semua buku – buku catatan dan tulisannya dirampas oleh para perampok, meskipun pada akhirnya barang – barang tersebut dikembalikan setelah al – Ghazali berusaha keras untuk memintanya kembali. Kejadian ini mendorongnya untuk menghafal semua pelajaran yang diterimanya. Oleh karena itu, setelah sampai di Thus kembali, ia berkonsentrasi untuk menghafal semua yang pernah dipelajarinya selama kurang lebih tiga tahun. Sehingga menurutnya, apabila kelak dirampok lagi, dia tidak akan kehilangan ilmu yang dimilikinya.[6]
Akan tetapi, pengetahuan – pengetahuan yang ada di Thus, agaknya tidak cukup memadai untuk membekali al – Ghazali. Untuk itu, ia kemudian memasuki sekolah tinggi Nidhamiyah di Naisabur, dan di sinilah ia berguru pada Imam Haramain Abu al Ma`ali al Juwaini, seorang ahli teologi Asy`ariyah paling terkenal padaasa itu dan profesor terpandang di sekolah tersebut. Dari madrasah ini, ia menguasai ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh – ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan retorika perdebatan.[7]
Selama berada di Naisabur, al – Ghazali tidak saja belajar kepada al – Juwaini, tetapi juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori – teori tasawuf kepada Yusuf an – Nasaj. Kemudian, ia melakukan latihan dan praktik tasawuf, meskipun hal itu belum mendatangkan pengaruh yang berarti dalam langkah hidupnya.[8]
Ilmu – ilmu yang ia dapatkan dari al – Juwaini benar – benar ia kuasai. Karena kemahirannya inilah, al – Juwaini menjuluki al – Ghazali dengan sebutan “ Bahr Mu`riq” [ lautan yang menghanyutkan ]. Kecerdasan dan keluasan wawasan berfikir yang dimiliki oleh al – Ghazali membuatnya menjadi populer. Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa diam – diam di hati Imam Haramain timbul rasa iri dan membuatnya sampai mengatakan :[9]
“ [Engkau telah memudarkan ketenaranku padahal aku masih hidup, apakah aku mesti menahan diri padahal ketenaranku telah mati]”.
            Setelah Imam al – Haramain wafat, al – Ghazali meninggalkan Naisabur menuju Mu`askar untuk menghadiri pertemuan atau majelis yang diadakan oleh Nidham al- Muluk, Perdana Menteri daulah Bani Saljuk. Di majelis tersebut, karena banyak berkumpul di dalamnya para ulama` dan fuqaha`.al – Ghazali ingin berdiskusi dengan mereka. Disana, ia dapat melebihi kemampuan lawan – lawannya dalam berdiskusi dan berargumentasi. Karena kemampuannya mengalahkan para ulama` setempat dalam muhadharah, al – Ghazali diterima dengan penuh kehormatan oleh Nidham al – Muluk. Bahkan Nidham al – Muluk pun memberikan kepercayaan kepada al – Ghazali untuk mengelola madrasah Nidhamiyah di Baghdad.[10]
            Kemudian al -  Ghazali pergi ke Baghdad untuk mengajar di madrasah Nidhamiyah itu pada tahun 484 H / 1090 M. Disana, ia melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga banyak penuntut ilmu yang memadati halaqah nya. Namanya kemudian menjadi terkenal di kawasan itu karena berbagai fatwa tentang masalah agama yang dikeluarkannya. Di samping mengajar, ia juga mulai menulis beberapa buku, diantaranya tentangfiqh dan ilmu kalam, serta kitab – kitab yang berisi sanggahan terhadap aliran Bathiniyyah ( salah satu aliran dari sekte Syi`ah ), aliran Syi`ah Isma`iliyyah dan falsafah.[11]
            Setelah satu tahun berada di kota Baghdad, nama al – Ghazali menjadi terkenal sampai ke istana khalifah Abbasiyah. Khalifah Muqtadi bi Amrillah pada masa pemerintahannya begitu tertarik kepadanya, sehingga pada tahun 485 H, ia mengutus al – Ghazali untuk menemui permaisuri Raja Malik Syah dari bani Saljuk, yakni Terkanu Khatun, yang pada saat itu memegang kendali pemerintahan di belakang layar untuk mengadakan pertemuan tingkat tinggi.[12]
            Di Baghdad inilah, al- Ghazali menikmati pangkat, kehormatan, harta, dan kedudukan yang ia dambakan. Akan tetapi, kemuliaan dan kedudukan yang ia peroleh di Baghdad tidak berlangsung lama akibat adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan daulah bani Saljuk, diantaranya adalah :[13]
1.      Pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan al – Ghazali dengan permaisuri raja bani Saljuk, suaminya, Raja Malik Syah yang terkenal adil dan bijaksana meninggal dunia.
2.      Pada tahun yang sama ( 485 H/1092 M ), Perdana Menteri Nidham al – Muluk yang menjadi sahabat karib al – Ghazali mati dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran di daerah dekat Nahawand, Persi.
3.      Dua tahun kemudian, pada tahun 487 H / 1094 M, wafat pula khalifah Abbasiyah, Muqtadi bi Amrillah.
Ketiga orang tersebut di atas, bagi al – Ghazali, merupakan orang – orang yang selama ini dianggapnya banyak memberi peran kepada al –Ghazali, bahkan sampai menjadikannya sebagai ulama` yang terkenal.[14]
            Dalam hal itu, mengingat ketiga orang tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemerintahan bani Abbas yang pada saat itu dikendalikan oleh daulah bani Saljuk, meninggalnya ketiga orang tersebut sangat mengguncangkan kestabilan pemerintahan. Pemerintahan menjadi sangat lemah untuk menangani kemelut yang terjadi dimana-mana terutama dalam menghadapi teror aliran Bathiniyyah yang menjadi penggerak dalam pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri Nidham al –Muluk. Dalam suasana kritis itulah, penguasa tinggi Abbasiyah Khalifah Mustadhdhir Billah memintakepada al – Ghazali untuk terjundalam gelanggang politik dengan menggunakan penanya. Tapi, betapa pun kuatnya al – Ghazali mendesak khalifah Mustadhdhir supaya menggerakkan seluruh kekuatan negara untuk membasmi aksi – aksi teror itu, ia tetap terbentur oleh kelemahan pemerintah dimana – mana. Hingga akhirnya, al –Ghazali mulai merasakan bahwa aksi teror itu sudah ditujukan kepada dirinya karena karangannya yang menentang aliran Bathiniyyah itu.[15]
            Sejalan dengan situasi politik tersebut, pada tahun 488 H / 1095 M, al – Ghazali merasakan krisis rohani, yakni munculnya keraguan di dalam dirinya yang meliputi masalah akidah dan semua jenis ilmu pengetahuan, baik yang empiris maupun rasional. Krisis tersebut berlangsung tidak lebih dari dua bulan. Setelah itu, ia memperdalam studinya tentang sekte – sekte teologi, ilmu kalam, dan falsafah, serta menulis beberapa buku – buku dalam berbagai disiplin ilmu seperti falsafah, fiqh, dan lain – lain.[16]
Pergolakan dalam diri Imam al – Ghazali yang menyebabkan ketidak puasan batinnya membuat ia memutuskan untuk melepaskan jabatan dan pengaruhnya untuk meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina, dan kemudian ke Makkah untuk mencari kebenaran. Setelah memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 M, atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 H, dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.[17]
Karya – karya tulis yang ditinggalkan oleh Imam al – Ghazali menunjukkan keistimewaannya sebagai seorang pengarang yang produktif. Dalam seluruh masa hidupnya, baik sebagai penasihat kerajaan maupun sebagai guru besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis di Naisabur maupun setelah berada dalam keyakinan yang mantap, ia tetap aktif mengarang.[18]

B.     Pemikiran Filsafat Imam al – Ghazali
Sering orang memahami filsafat al – Ghazali dengan anggapan bahwa al – Ghazali  tabu dengan filsafat, bahkan menentang filsafat. Para ilmuwan bahkan juga berpendapat bahwa ia bukanlah seorang filosof  karena ia menentang dan memerangi filsafat serta membuangnya. Tudingan ini perlu dikaji secara mendetail apa yang sebenarnya yang dimaksud filsafat oleh al – Ghazali dan filsafat apa yang boleh dan yang tidak boleh. Kajian  ini perlu diungkap supaya mudah memetakan al – Ghazali sebagai filsuf, sufi dan juga fuqaha`.[19]
Tentangan pada filsafat  yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :
”...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya, mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi, mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...”[20]
Filsafat menurut al -  Ghazali  terbagi atas enam bagian, yaitu : ilmu pasti, ilmu logika, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu politik, dan ilmu akhlak. Di samping itu, pada dasarnya al – Ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat tersebut, kecuali filsafat ketuhanan, dimana para filsuf amat mengagungkan peranan akal yang mengalahkan agama dan syariat sebagaimana yang dijelaskan dalam kutipan di atas. [21]
Menurut al – Ghazali, secara teoretis, akal dan syara` tidak bertentangan secara hakiki, karena semuanya adalah cahaya petunjuk dari Allah SWT. Demikian juga ditinjau dari segi praktis, tidak ada hakikat agama yang bertentangan dengan hakikat ilmiah. Al – Ghazali melihat bahwa satu sama lainnya saling mendukung dan membenarkan.[22]
Menurut al – Ghazali, “ Akal bagaikan penglihatan sehat, sedangkan al – Qur`an bagaikan matahari yang menebarkan sinarnya. Satu sama lainnya saling membutuhkan, kecuali orang – orang bodoh, yakni orang yang mengabaikan akal dan mencukupkan diri dengan al – Qur`an. Mereka bagaikan orang yang melihat matahari dengan menutup kelopak mata. Tidak ada bedanya antara orang seperti ini dengan orang buta. Dengan demikian, menurut al – Ghazali, akal tidak mungkin menetapkan suatu kebenaran yang dinafikan syara` dan syara` tidak akan membawa suatu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal.[23]
Dari berbagai uraian tersebut, tampak bahwa ilmu logika ( akal ), menurut al – Ghazali, merupakan instrumen untuk memahami dalil –dalil syari`at. Akan tetapi, akal atau berfilsafat yang tahu akan batasnya dan tidak menghalangi dirinya untuk  mendapat nur yang lebih besar, yaitu nur wahyu ilahi. Dengan kata lain, akal atau berfilsafat membenarkan hukum secara pasti, atau paling tidak, berfilsafat adalah berfikir secara mendalam tentang sesuatu; mengetahui apa ( mahiyah ), bagaimana dan nilai – nilai dari sesuatu itu.[24]

C.     Teori Ilmu Pengetahuan dan Keimanan al – Ghazali
Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan bodoh dan tidak mengetahui arah hidup dalam prikehidupan. Sebagai seorang ilmuwan besar, Al-Ghazali berupaya membuat sebuah karya-karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang untuk selalu menggali ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Di dalam karyanya al-Ghazali yang berjudul Ihya` Ulum Ad Din yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini merupakan sebuah karya al - Ghazali yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama kalam sebagai bahan kajian untuk amalan-amalan baik manusia. Karena di dalam  buku  itu banyak menjelaskan tentang ilmu - ilmu keagamaan Islam, ke-Esaan Allah, dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan syariat.[25]
Pada karyanya yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqidz min Ad Dhalal al-Ghazali berpendapat bahwa :[26]
Ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni alam  lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf. Al-Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori Al Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran agama.”
Di lain karyanya yang berjudul The Juwels of the Qur’an (mutiara al-Qur’an) dan Mizan Al - Amal ( timbangan amal ), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi empat bagian :[27]
a)      Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.
b)      Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli).
c)      Pembagian atas ilmu-ilmu religius (syar’iyyah) dan intelektual (aqliyah).
d)     Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’in (wajib atas setiap individu) dan fardhu kifayah (wajib atas umat).
Di antara empat hal dari klasifikasi ilmu di atas yang telah diuraikannya, yang paling luas di bahas olehnya dalam melakukan pengajaran/diskusi adalah pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu intelektual dan religius. Namun menurutnya, yang jelas keempat sistem klasifikasi di atas sangat absah, dan mempunyai derajat yang sama.Kalau dilihat pemikiran dari al-Ghazali, maka akan terlihat pendapatnya yang banyak menentang aliran-aliran filsafat. Menurutnya banyak orang-orang yang menyimpang dari ajaran agama saat mempelajari filsafat, karena kebanyakan manusia di saat mempelajari filsafat tanpa sebuah pegangan yang kuat atau dasar yang kuat.[28]
Filsafat menurutnya lebih banyak mengedepankan akal daripada dalil untuk mencari sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, al-Ghazali banyak dikenal oleh para masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak melibatkan dirinya kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam.[29]

D.    Filsafat Jiwa dan Akhlak
    Manusia menurut al – Ghazali diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa, yang menjadi inti hakikat manusia adalah makhluk spiritual rabbani yang sangat halus ( Lathifah rabbaniyyah ). Istilah – istilah yang digunakan al – Ghazali untuk itu adalah qalb, ruh, nafs, dan `aql.[30]
Jiwa bagi al – Ghazali adalah suatu zat ( jauhar ) dan bukan suatu keadaan atau aksiden (`ardh ), sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa dan bukan sebalikna. Jiwa, berada di alam spiritual, sedangkan jasad di alam materi. Jiwa, bagi al – Ghazali, berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya illahiyah. Ia tak pre – eksisten, tidak berawal dengan waktu, seperti menurut Plato dan filsuf lainnya. Tiap jiwa pribadidiciptakan Allah di alam atas ( alam al – arwah ) pada saat benih manusia memasuki rahim, dan jiwa lalu dihubungkan dengan jasad. Setelah kematian, jasad musnah, tetapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut, kecuali kehilangan wadahnya.[31]
Bagi al – Ghazali, jiwa yang berasal dari Ilahi mempunyai potensi kodrat, yaitu kecenderungannya pada kebaikan dan keengganan pada kekejian. Pada waktu lahir, a merupakan zat yang bersih dan murni dengan esensi malaikat ( alam al – malakut ), sedangkan jasad berasal dari alam al – khalaq. Oleh karena itu, kecenderungan jiwa, pada kejahatan ( yang timbul setelah lahirnya nafsu ) bertentangan dengan tabiat aslinya. Oleh karena itu, jiwa rindu akan alam atas dan ingin mendampingi para malaikat, namun kerap diredam keinginan duniawi.[32]
Mengenai perihal kekekalan jiwa yang problematik itu, al – Ghazali menegaskan bahwa Tuhan sesungguhnya dapat menghancurkan jiwa, tetapi Dia tidak melakukannya. Disini, al – Ghazali berada di persimpangan pandangan sebagai mutakallimi (kemungkinan munculnya jiwa apabila dikehendaki Tuhan ), dan pandangan sebagai filsuf ( jiwa mempunyai sifat substansi kekal ). Dengan demikian, bantahan al – Ghazali terhadap filsuf dalam bukunya, tahafut al – falasifah, bukan ditekankan pada kekekalan jiwa; yang dibantahnya adalah dalil – dali rasional yang digunakan para filsuf untuk membuktikan kekekalan jiwa itu. Menurutnya,hanya jiwa syara` yang bisa menjelaskan persoalan al ma`ad  ( kehidupan di akhirat ).[33]
Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan  moral adalah setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bantuannya, jiwa bisa mendapatkan bekal. Jiwa merupakan  inti hakiki manusia dan jasad  hanyalah alat baginya untuk mencari bekal dan kesempurnaan; karena jasad sangat diperlukan oleh jiwa maka ia harus dirawat baik – baik.[34]     
Mengenai filsafat akhlak, al - Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam  kitab  Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat akhlak al -Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan  pokok dari akhlak al - Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “At - Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al - Basyariyah, atau Al - Ishaf Bi Shifat al - Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.[35]
Sesuai dengan prinsip Islam, al - Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam  materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.

E.     Kontribusi Ilmiah dalam Ilmu Pengetahuan
Al – Ghazali adalah salah seorang ulama` dan pemikir dalam dunia islam yang sangat produktif dalam menulis. Dalam masa hidupnya, baik ketika menjadi pembesar negaradi Mu`askar maupun ketika sebagai profesor di Baghdad, baik sewaktu skeptis di Naisabur maupun setelah berada dalam perjalanannya mencari kebenaran dari apa yang dimilikinya, dan sampai akhir hayatnya, al – Ghazali terus berusaha menulis dan mengarang.[36]
Menurut catatan Sulaiman Dunya, karangan al – Ghazali mencapai 300 buah. Ia mulai mengarang pada usia 25 tahun. Waktu yang ia gunakan untuk mengarang terhitung selama 30 tahun. Dengan perhitungan ini, setiap tahun ia menghasilkan karya tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil, meliputi beberapa kajian ilmu pengetahuan, antara lain : filsafat dan ilmu kalam, fiqh – ushul fiqh, tafsir, tasawuf, dan akhlak.[37]
Dalam sumber lain dijelaskan bahwa jumlah kitab yang ditulisal – Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy, penelitian paling akhir tentang jumlah buku yang dikarang oleh al – Ghazali adalah yang dilaukan oleh Abdurrahman al – Badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalam satu buku yang berjudul Muallafat al – Ghazali. Dalam buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab – kitab yang ada hubungannya dengan karya Imam al – ghazali dalam tiga kelompok.[38]
Menurut Badawi, ia mengatakan bahwa jumlah  karangan al – Ghazali ada 47 buah. Nama – nama buku tersebut adalah :[39]
ü  Ihya` `ulum ad – Diin
ü  Tahafut al – Falasifah
ü  Al – Iqtishad al – I`tiqad
ü  Al – Munqidz min adh – Dhalal
ü  Faishal at – Tafriq Baina al – Islam wa al – Zindiqah
ü  Al – Mustadhhiry
ü  Hujjat al – Haq
ü  Mufahil al – Khilaf fi Ushul ad – Diin
ü  Kimiya as – Sa`adah
ü  Ad – Darar al – Fakhirah fi Kasyfi `Ulum al – Akhirah
ü  Al – Anis fi al – Wahdah
ü  Al – Qurbah ila Allah `Azza wa Jalla
ü  Akhlaq al – Abrar
ü  Bidayat al – Hidayah
ü  Al – Arba`in fi Ushul ad – Diin
ü  Adz – Dzari`ah ila Mahakim Asy – Syari`ah
ü  Al – Mabadi wa al – Ghayat
ü  Talbisu Iblis
ü  Al - `Amali
ü  Isbat an – Nadhar
ü  Al – Ma`akhidz
ü  Al – Qaul al – Jamil fi ar – Raddi `ala Man Ghayyara al – Injil
ü  Ar Risalah al – Qudsiyyah
ü  Jawahir al – Qur`an
ü  Mizan al - `Amal
ü  Al – Maqashid al – Asna fi Maani Asmaillah al – Husna
ü  Al – Qishash al – Mustaqim
ü  Al – Basith
ü  Al – Wasith
ü  Al – Wajiz
ü  Al – Khulashah al – Mukhtasharah
ü  Yaqut at– ta`wil fi Tafsir at – Tanzil
ü  Al – Mustasfa
ü  Al – Mankhul
ü  Al – Muntaha fi `Ilmi al – Jadal
ü  Mi`yar al - `Ilmi
ü  Al – Maqashid
ü  Al– Madnun bihi `ala Ghairi Ahlihi
ü  Misykat al Anwar
ü  Mahku an – Nadhar
ü  Asraru `Ilmi ad – Diin
ü  Minhaj al - `Abidiin
ü  Nashihat al – Muluk
ü  Syifa`u al - `Alil fi al – Qiyas wa at – Talil
ü  Iljam al – Awwam `an `ilmi al – Kalam
ü  Al – Intishar lima fi al – Ajnas min al – Asrar
ü  Al - `Ulum al – Laduniyyah
Karya – karya tersebut membuat al – Ghazali tidak mungkin diingkari sebagai seorang pemikir kelas jagad yang amat berpengaruh. Kalangan Islam pun banyak yang menilai bahwa dalam hal ajaran, ia adalah orang kedua yang paling berpengaruh setelah Rasulullah SAW. Mungkin pernyataan tersebut dinilai berlebihan, tetapi banyak unsur yang mendukung kebenaran penilaian tersebut. Uniknya lagi, pemikiran keagamaannya tidak hanya berpengaruh di kalangan Islam, tetapi juga di kalangan agama Yahudi dan Kristen.[40]







BAB III
KESIMPULAN

Imam  al -  Ghazali merupakan seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Ia  memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al – Ghazali. Ia dilahirkan di Thus, salah satu kota di Khurasan (Persia) pada pertengahan abad kelima hijriyah (450 H / 1058 M ). Ia adalah salah seorang pemikir besar Islam yang dianugerahi gelar hujjat al – Islam ( bukti kebenaran agama Islam ) dan zayn ad – diin ( perhiasan agama ).
Kebanyakan orang menilai Imam al – Ghazali tabu dengan filsafat dikarenakan adanya tentangannya terhadap argumen – argumen para filosof. Padahal, pada dasarnya al – Ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat, kecuali filsafat ketuhanan, dimana para filsuf amat mengagungkan peranan akal yang mengalahkan agama dan syariat. Menurut al – Ghazali, antara akal dan syari`at itu tidak dapat terpisahkan karena keduanya saling melengkapi.
Dalam teori pengetahuan, al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi empat bagian. Yang mana dari empat klasifikasi ilmu tersebut, yang paling luas di bahas olehnya dalam melakukan pengajaran/diskusi adalah pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu intelektual dan religius. Namun menurutnya, yang jelas keempat sistem klasifikasi ilmu tersebut sangat absah, dan mempunyai derajat yang sama.
Filsafat jiwa al – Ghazali menjelaskan bahwa manusia menurutnya diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa, yang menjadi inti hakikat manusia adalah makhluk spiritual rabbani yang sangat halus ( Lathifah rabbaniyyah ). Sedangkan mengenai filsafat akhlak, al - Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam  kitab  Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat akhlak al -Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan  pokok dari akhlak al - Ghazali yaitu agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Semasa hidupnya, Imam al – Ghazali sangat produktif dalam membuat karya. Karya – karya tersebut membuat al – Ghazali tidak mungkin diingkari sebagai seorang pemikir kelas jagad yang amat berpengaruh. Pemikiran keagamaannya tidak hanya berpengaruh di kalangan Islam, tetapi juga di kalangan agama Yahudi dan Kristen



[1] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu, hlm. 143
[2] Ibid, hlm. 144
[3] M.Sholihin ;Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, ( Bandung:CV.Pustaka Setia, 2008 ), cetakan kesatu, hlm.135 -136
[4] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu, hlm. 144 - 145
[5] Ibid, hlm. 145
[6] Ibid.
[7] M.Sholihin ;Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, ( Bandung:CV.Pustaka Setia, 2008 ), cetakan kesatu, hlm.136
[8] M.Sholihin ;Rosihon Anwar, Ibid., hlm. 136
[9] M.Sholihin ;Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, ( Bandung:CV.Pustaka Setia, 2008 ), cetakan kesatu, hlm. 136- 137
[10] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu, hlm. 146
[11] Ibid, hlm. 146
[12] Ibid, hlm. 146 - 147
[13] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu, hlm. 147
[14] Ibid, hlm. 147
[15] Ibid, hlm. 148
[16] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu, hlm. 148 - 149
[17] M.Sholihin ;Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, ( Bandung:CV.Pustaka Setia, 2008 ), cetakan kesatu, hlm. 137-138
[18] Ibid, M.Sholihin ;Rosihon Anwar, hlm. 138
[19] Ibid, Dedi Supriyadi, hlm. 154
[20] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu, hlm.155
[21] Ibid, hlm. 155 - 156
[22] Ibid, hlm.156
[23] Ibid, hlm.157
[24] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu, hlm.158
[27] Dedi Supriyadi, Ibid, hlm.175
[28] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu,Ibid, hlm.175
[30] Dedi Supriyadi, ibid, hlm. 174
[31] Ibid
[32] Ibid
[33] Ibid, hlm. 174 - 175
[34] Ibid, hlm.175
[36] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2009), cetakan kesatu, hlm. 151
[37] M.Sholihin ;Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, ( Bandung:CV.Pustaka Setia, 2008 ), cetakan kesatu, hlm.138
[38] Dedi Supriyadi, Ibid, hlm. 152
[39] Ibid, hlm. 152 - 154
[40] M.Sholihin ;Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, ( Bandung:CV.Pustaka Setia, 2008 ), cetakan kesatu, hlm. 139
DAFTAR PUSTAKA

Mahmud, Abdul Halim, Tasawuf  di Dunia Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung,-.
Solihin, M dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2008.
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat  Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2009.

No comments:

Post a Comment

RANGKUMAN MATERI TEKNIK PENULISAN KARYA ILMIAH LENGKAP

A.    Konsep Karya Ilmiah Karya ilmiah terbentuk dari kata “karya” dan “ilmiah”. Karya berarti kerja dan hasil kerja dan ilmiah berari ...