BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.[1]
Pada zaman pertengahan, Islam di Barat dan Timur telah
mencapai puncaknya. Baik dalam pemerintahan maupun
ilmu pengetahuan. Tapi Islam di Barat (Spanyol) lebih menjadi perhatian dunia
ketika mampu mentranfer khazanah-khazanah Islam di Timur. Dan bahkan
mengembangkannya. Filsuf-filsuf yang karya-karya besarnya banyak dikaji dunia,
lahir di kota ini. Diantaranya, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd dan
masih banyak lagi yang lainnya.
Ibnu Thufail dikatakan orang berada di suatu tingkat yang
ajaib dalam ilmunya, yakni berada dalam tingkat mistik yang penuh kegembiraan.
Beberapa orang menganggapnya sebagai orang panteis orang yang menganggap tidak
ada beda lagi antara dirinya dengan Tuhan. Anggapan ini ternyata salah. Ia
sebenarnya hanya seperti juga Al Ghazali , merasa telah mencapai tingkat
ma’rifat yang tinggi seperti katanya: ”Fakana makana mimma lastu adkuruhu. Fadhonnu khoiran wala
tasal anil khobari.” (terjadilah sesuatu
yang tidak akan disebutkan akan tetapi sangkalah dia sebagai suatu kebaikan
juga, dan jangan tanya tentang beritanya)
Ibnu Thufail yang menjadi kajian dalam makalah ini, juga
mampu menyihir para cendekiawan dunia dengan karya monumentalnya, Hayy Ibnu
Yaqzhan. Salah satu karya yang tersisa dalam sejarah pemikirannya. Risalah atau
novel alegori yang bertajuk filosofis-mistis itu, menyita banyak perhatian.
Hayy ibnu Yaqzhan adalah refleksi dari pengalaman filosofis-mistis Ibnu
Thufail. Dimana karya itu tidak lepas dari penbacaan ulang atau pengaruh dari
pemikiran Ibnu Shina. Namun Ibnu Thufail di sini menghadirkan karya yang
berbeda.
Melalui kisah “Hayy ibnu Yaqzhan” ini, Ibnu Thufail menunjukkan
bahwa dalam mencapai kebenaran, media yang digunakan bukanlah tunggal, akan
tetapi banyak dan beragam. Dalam kisah itu, dia menampilkan sebuah novel
aligoris yang mengkisahkan seorang bayi yang tedampar di hutan dan di rawat
oleh seekor rusa sampai bayi itu dewasa. Tanpa latar belakang sosial budaya,
anak itu dapat tumbuh dewasa dengan intelegensi
yang tinggi dan mampu mencapai tingkat spiritualitas yang paling tinggi.
Sehingga ia mampu menyingkap rahasia dibalik dunia ini dan mencapai titik Musyahadah,
akhirnya dapat menemukan kebenaran sejati.
B.
Rumusan Masalah.
1.
Bagaimana
biografi Ibnu Thufail?
2.
Apa
saja karya ilmiah Ibnu Thufail?
3.
Bagaimana
pemikiran filsafat Ibnu Thufail?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ibnu Thufail.[2]
Nama
lengkap ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad
ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia dilahirkan di
Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M.
dalam bahasa latin ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.
Selain
terkenal sebagai filosof muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam
kisah-kisah ajaib dan penuh dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli
matematika dan kesusastraan. Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik
di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris
Gubernur di provinsi tersebut. Pada tahun 1154 M (549 H) Ibnu Thufail menjadi
sekretaris pribadi Gubernur Cueta (Arab: Sabtah) dan Tangier (Arab : Thanjah /
Latin : Tanger) Abu Yaqub Yusuf al-Mansur, Khalifah kedua dari Dinasti
Muwahhidun (558 H / 1163 M – 580 H / 1184 M) selanjutnya menjadi dokter
pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.
Pada
masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam
pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan
secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat.
Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan
membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran
kembali negeri Eropa”.
Kemudian
ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H
/ 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh
Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan
penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M)
di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam
upacara pemakamannya.
Pemikiran-pemikiran
filsafat Ibnu Thufail dituangkan dalam risalah-risalah (surat-surat) yang
dikirimkan kepada muridnya (Ibnu Rusyd), sehingga dia tidak dikenal orang banyak. Namun karyanya yang
terpopuler dan dapat ditemukan sampai sekarang ialah risalah Hayy ibn Yaqzhan
(Si Hidup anak Si Sadar), yang judul lengkapnya Risalah Hayy ibn Yaqzhan fi
Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah. Yang ditulis pada abad ke 6 Hijriah (abad
ke-12 M).
B.
Karya-Karya Ibnu Thufail.[3]
Sejarah mencatat bahwa
Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd sering berbincang, berdebat dan saling evaluasi
seputar masalah-masalah kedokteran dan filsafat. Evaluasi dan perdebatan mereka yang khusus membicarakan
tentang kedokteran kemudian dicatat oleh Ibnu Tufail dalam karyanya “مراجعات ومباحث” (Muraja’at wa Mabahits;
Revisi-revisi dan pembahasan -red). Lalu catatan tulisan ini oleh Ibnu Rusyd
dimasukkan menjadi bagian dari salah satu karangannya: “الكليات” (al-Kulliyyat). Karya
kedokteran lain dari Ibnu Tufail yang masih bisa dinikmati adalah “الأرجوزة في الطب” (Arjuzah fi at-Thib)
sepanjang 7700 bait, sekarang masih tersimpan di perpustakaan Jami’
al-Qarawiyyin Fes – Maroko dalam bentuk manuskrip.
Selain mumpuni di bidang
kedokteran, Ibnu Tufail juga merupakan master bidang astronomi. Teori-teori
briliannya di bidang ilmu perbintangan secara ringkas dilukiskan oleh Lyon
Goteh seorang orientalis Perancis: “Walaupun tidak ditemukan tulisan-tulisan
Ibnu Tufail di bidang astronomi, namun kita tahu bahwa dia tidak setuju dengan teori sistem jagat raya yang diletakkan Batlimus, bahkan Ibnu
Tufail telah memiliki teori baru”. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Ibn Rusyd
bahwa Ibnu Tufail memiliki teori-teori sensasional sekitar sistem jagat raya dan dasar-dasar perputarannya.
Miquel Casiri ( 1112
H/1710 M -1205 H/1790 M ) menyebutkan dua karya yang masih ada ialah risalah Hayy Ibn Yaqzan dan Asrar Al hikmah Al Mashariqiyah, yang disebut
terakhir ini berbentuk naskah. Kata pengantar dari asrar menyebutkan bahwa
risalah itu hanya merupakan satu bagian dari risalah Hay Ibn Yaqzan, yang judul
lengkapnya ialah Risalah Hayy Ibn Yaqzan fi Asrar Al hikamat Al-mashariqiyah.
Beberapa karya Ibnu
Tufail yang terkenal adalah sebuah buku filsafat yang berjudul Hayy ibnu Yagzan
(“kehidupan anak kesadaran”) karya ini memang sama dengan buah karya Ibnu Sina yang diakunya sendiri
berisikan kebijaksanaan timur (Orental Wisdom). Kebijaksanaan timur pulalah
yang menjadi pokok pikiran Ibnu Tufail dalam buku ini. Seperti diakui Ibnu
Tufail, pokok pikiran ini bisa
diidentifikasi sebagai tasawwuf yang
kala itu ditolak oleh kebanyakan filosof muslim termasuk Ibnu Bajjah. Diskursus
rasional, menurut para filosof anti tasawuf bertolak belakang dengan pengalaman
mistis yang oleh para ahli diyakini bersifat ektra rasional dan tak terperikan.
C.
Pemikiran-Pemikiran Ibnu Thufail.
Setelah
mempelajari pemikiran para filosof Islam yang telah mendahuluinya -terutama
masalah makrifah, ternyata para filosof
Islam tidak terlepas dari kritikannya, baik itu terhadap Ibnu Bajjah,
Al-Farabi, Ibn Sina maupun Al-Ghazali. “...dia mengkritik Ibnu Bajjah sebagai
orang yang berpikiran singkat, tidak berpandangan jauh, membangun pikiran filsafatnya hanya atas
kaidah-kaidah akal dan logika, seraya meremehkan dasar pengalaman lain yang
bersifat kasyf ruhani. Juga dia mengkritik al-Farabi sebagai filosof yang
ragu-ragu, tidak memberi kepastian dalam masalah-masalah falsafi. Demikian pula
dia mengkritik Ibn Sina sebagai seorang yang menulis kitab as-Sifa’, dimana dia
mengatakan kitab itu ditulis berdasakan mazhab Aristoteles, sedangkan orang
yang membaca kitab itu tidak menemukan dalam kitab Aristoteles. Ibnu Thufail
mengkritiknya karena gaya bahsa Ibnu Sina sangat kabur dan mendalam sehingga
seringkali tidak dipahami maksudnya.
Adapun
Al-Ghazali dipandangnya sebagai orang yang banyak menulis untuk orang awam,
sehingga menggambarkan sikap munafik -muka dua- dan tidak konsisten. Dalam buku
Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengkafirkan para filosof Islam yang tidak
percaya akan dibangkaitkannya ruh dan jasad sekaligus pada hari akhirat. Namun
dalam kitab al-Mizan dan al-Munqis min al-Dhalal, Al-Ghazali membenarkan dan
menerima pendapat para filosof yang dikafirkannya itu. Dengan demikian,
seakan-akan Al-Ghazali mengkafirkan dirinya sendiri. Makanya Ibnu Thufail
dalam penyajian filsafatnya menggunakan model tersendiri yaitu yang termuat
dalam Hayy Yaqzham yang penuh tamsil dan kadang sulit untuk dipahami. Namun
untuk memahaminya bisa melihat kerangka dasarnya.
Dalam muqaddimahnya, Ibnu Thuafail menjelaskan
tujuan penulisan buku itu untuk menyaksikan kebenaran menurut cara yang
ditempuh para ahl Zauq dan musyahadah yang telah mencapai tingkat kewalian. Ini
tidak mungkin dijelaskan hakikatnya dengan kata-akata. Akan tetapi hanya bisa
dengan lambang. Makanya penyajian Hayy Ibn Yaqzham ditujukan agar orang mau
menuruti jalan itu.
Selain itu, para ahli
seperti Muhammad Ghalab mengatakan, ”tujuan risalah Hayy Ibn Yaqzham adalah
menunjukkan bahwa akal mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran yang
tidak bertentangan dengan agama”.
Sementara Harun Nasution
mengatakan, “… lewat kisah Hayy Ibn Yaqzhan ini dijelaskan keharmonisan antara akal dan wahyu. Akal dapat mengetahui
adanya Tuhan dan kewajiban berterima kasih kepada-Nya, tetapi tidak tahu cara
yang tepat untuk menyatakan terima kasih tersebut.”[4]
1.
Dunia.[5]
Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu
kekal, atau diciptakan oleh tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya?
Dalam filsafat Islam, Ibnu Thufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan
tepat. Tidak seperti pendahulunya, dia tidak menganut salah satu doktrin
saingannya, dan tidak berusaha mendamaikan mereka. Di lain pihak, dia mengecam
dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan
dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang mustahilnya
dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi seperti itu tidak
lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka dalam
hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum
kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Begitu
pula konsep Creatio Ex Nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama.
Sebagaimana Al-Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan
mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan
bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan
suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudan dunia di
kesampingkan lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta.
Kalau begitu mengapa sang pencipta menciptakan dunia saat itu bukan sebelumnya?
Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak,
sebab tiada sesuatupun sebelum dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-Nya.
Apakah hal itu mesti bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas
sifat-Nya? Tapi adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut? Karena
itu Ibnu Tufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun
penciptaan sementara dunia ini.
2.
Metafisika (Tuhan).
Penciptaan dunia yang berlangsung
lambat laun itu mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab dunia tidak bisa
maujud dengan sendirinya. Juga sang pencipta bersifat
immaterial, sebab materi yang merupakan suatu kejadian dunia di ciptakan
oleh satu pencipta. Di pihak lain, anggapan bahwa Tuhan
bersifat material akan membaca suatu kemunduran yang tiada akhir yang adalah musykil. Oleh
karena itu dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena dia bersifat immaterial, maka kita tidak dapat
mengenalinya lewat indra kita ataupun lewat imajinasi, sebab imajinisasi hanya
menggambarkan hal-hal di tangkap oleh indra.
Kekekalan dunia berarti kekekalan
geraknya juga, dan gerak sebagaimana di katakan oleh aristoteles, membutuhkan
penggerak atau penyebab efesien dari gerak itu. Jika penyebab efesien ini berupa sebuah
benda, maka kekuatannya tentu terbatas dan karenanya tidak mampu menghasilkan
suatu pengaruh yang tak terbatas. Oleh sebab itu penyebab efesien dari
gerak kekal harus bersifat immaterial. Ia tidak boleh di hubungkan dengan
materi ataupun di pisahkan darinya, ada di dalam materi itu atau tanpa materi
itu, sebab penyatuan dan pemisahan, keterkandungan atau keterlepasan merupakan
tanda-tanda material, sedang penyebab efesien itu, sesungguhnya lepas dari itu
semua.[6]
Tuhan menurut Ibnu Thufail adalah pemberi wujud pada
semua makhluk. Untuk membuktikan adanya Tuhan Ibnu Thufail mengemukakan tiga
argumen, yaitu:[7]
a. Argumen Gerak (al-Harakat)
Gerak
alam ini menjadi bukti tentang adanya Allah, baik bagi orang yang meyakini alam
baharu (hadits), berarti alam ini sebelumnya tidak ada, kemudian ada. Oleh
karena itu berarti ada penciptanya. Pencipta inilah yang menggerakkan alam dari
tidak ada menjadi ada yang disebut dengan Allah. Tapi bagi orang yang meyakini
alam kadim, alam ini tidak didahului oleh tidak ada dan selalu ada, gerak alam
ini kadim, tidak berawal dan tidak berakhir, karena zaman tidak mendahuluinya
(tidak didahului oleh diam) adanya gerak ini menunjukkan secara pasti adanya
penggerak.
b. Argumen Materi (al-Madat)
Argumen
ini menurut Ibnu Thufail dapat membuktikan adanyaAllah, baik yang meyakini alam
qadim maupun hadisnya. Dalam hal ini Ibnu Thufail mengemukakan pokok pikirannya
yang terkait antara satu dengan yang lain, yaitu:
1) Segala yang ada ini
tersusun dari materi dan bentuk;
2) Setiap materi membutuhkan
bentuk;
3) Bentuk tidak mungkin
bereksistensi penggerak
4) Segala yang ada (maujud)
untuk bereksistensi membutuhkan pencipta.
Dengan
argumen di atas dapat dibuktikan adanya Allah sebagai pencipta alam ini, Ia
Maha Kuasa, bebas memilih serta tidak berawal dan tidak berakhir.
c. Argumen al-Gayyat dan
al-Mayyat.
Pada
argumen ini pernah dikemukakan oleh al-Kindi dan Ibnu Sina, bahwa segala yang
ada di alam ini mempunyi tujuan tertentu dan merupakan inayah dari Allah.
3. Jiwa.[8]
Menurut Ibnu
Thufail jiwa manusia adalah makhluk yang tertinggi martabatnya. Manusia terdiri
dari dua unsur, yaitu jasad dan ruh (al-Madad wa al-Ruh). Badan tersusun dari
unsur-unsur, sedangkan jiwa tdak tersusun. Jiwa bukan jisim dan juga bukan
sesuatu daya yang ada didalam jiwa. Setelah badan hancur (mengalami kematian)
jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama
dalam jasad akan hidup dan kekal.
Menurut Ibnu
Thufail jiwa terdiri dari tiga tingkat, yakni dari yang rendah jiwa tumbuhan
dan jiwa hewan, kemudian tingkat jiwa yang martabatnya lebih tinggi keduanya, yaitu
jiwa manusia (al-Nafs al-Natiqat)
4. Kosmologi Cahaya.[9]
Ibnu Thufail menerima prinsip bahwa
dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu itu. Manivestasi kemajemukan,
kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya new platonik yang monoton, sebagai
tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari caHayya Tuhan. Proses itu
pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus caHayya matahari kepada
cermin. CaHayya matahari yang jatuh pada cermin yang dari sana menuju ke yang
lain dan seterusnya, menunjukkkan kemajemukan . semua itu merupakan pantulan
matahari dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan
pula suatu yang lain dari matahari dan cermin itu.
Kemajemukan caHayya yang dipantulkan
itu hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber caHayya itu, tapi
timbul lagi bila kita lihat dicermin, yang disitu caHayya tersebut dipantulkan.
Hal yang sama juga berlaku pada cahaya pertama serta
perwujudannya didalam kosmos.
5.
Epistimologi Pengetahuan.
Tahap pertama jiwa bukanlah suatu tabularasa atau
papan tulis kosong, imaji Tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi
untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih
tanpa prasangka keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial sebagai
kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik
kelahiran tiba-tiba Hayy di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai pengalaman,
inteleksi dan ekstasi memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan
dalam memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa.
Bukan hanya disiplin jiwa, tapi pendidikan indra dan akal yang diperlukan untuk
mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar, disatu
pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi, dipihak
lain membentuk esensi epistimologi Ibnu Thufail.
Setelah mendidik akal dan indra
serta memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu Thufail akhirnya berpaling
kepada disiplin jiwa yang membawa kepada ekstasi, sumber tertinggi pengetahuan.
Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau
induksi, tapi dapat dilihat secara langsung dan intiutif lewat caHayya yang ada
didalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat
mata atau didengar telinga atau dirasa hati orang manapun. Taraf
ekstasi tak terkatakan atau terlukiskan sebab lingkup kata-kata terbatas pada
apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi Tuhan yang merupakan caHayya
suci hanya bisa dilihat lewat caHayya didalam esensi itu sendiri yang masuk
dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal serta jiwa.
Karena itu pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri.esensi dan visinya
adalah sama.[10]
Dalam epistimologi,
Ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari panca indra. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan
indrawi, hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal dan
intuisi. Menurutnya ma’rifat dilakukan dengan dua cara, yaitu :[11]
1)
Pemikiran/renungan akal, seperti yang
dilakukan filusuf muslim;
2)
Kasyf ruhani (tasawwuf), seperti yang biasa
dilakukan oleh kaum sufi. Ma’rifat kasyf ruhani ini dapat diperoleh dengan
latihan-latihan ruhani dengan penuh
kesungguhan
6.
Etika/Akhlak.[12]
Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan
esensi non-bendawi, dan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan
Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek
sifatnya,Dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan
Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan
tubuhnya dan kebutuhan-kebutuhan pokok
serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu
mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan
pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup,
perenungan atas esensi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa
memiliki jiwa hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya
tentang Tuhan. Terakhir, dia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan
baik yang positif maupun yang negative, yaitu pengetahuan, kekuasaan,
kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan
kewajiban diri sendiri, demi yang lain-lainnya dan demi Tuhan, secara ringkas
merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir
adalah suatu akhir diri, dua yang
disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan rahmat Tuhan,
dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.
7.
Rekonsiliasi (Tawfiq) Fislafat dan
Agama.
Melalui roman filsafat Hayy ibn Yaqhzan, Ibnu
Thufail menekankan bahwa antara agama dan filsafat tidak bertentang, dengan
kata lain, akal tidak bertentangan dengan wahyu, tetapi jugadapat diketahui
dengan akal. Dalam hal ini, Ibnu Thufail berusaha dengan penuh kesungguhan
untuk merekonsiliasikan antara filsafat dan agama. Hayy dalam roman
filsafatnya, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk esoteris, yang
membawa hakikat (kebenaran). Sementara salman, ia lambangkan sebagai wahyu
(agama) dalam bentuk eksoteris. Kebenaran yang dikehendaki agama, karena
sumbernya sama, yakni Allah SWT.[13]
BAB II
PENUTUP
Kesimpulan :
Dari uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Ibnu Thufail dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada,
Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan
sebutan Abubacer.
2. Karya Ibnu
Thufail yang terkenal adalah sebuah buku filsafat yang berjudul Hayy Ibnu
Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”).
3.
Ajaran Filsafat Ibnu Thufail
meliputi :
a.
Dunia
b.
Tuhan
c.
Jiwa
d.
Kosmologi cahaya
e.
Epistimologi pengetahuan
f.
Etika/akhlak
g.
Rekonsiliasi (Tawfiq) Filsafat dan Agama
DAFTAR PUSTAKA
Afrinaldi
Yunas Ibnu Thufail; Harmonisasi Wahyu
dan Akal melalui Roman Hayy Ibn Yaqzhan.htm. 07 Mei 2016. Pukul : 21.03
FILSAFAT
IBNU THUFAIL _ Bakti Raharjo.htm. 07 Mei 2016. Pukul 20 : 38
Filsafat
Islam Pokok Pemikiran Ibnu Thufail _
secerahpewarna.htm. 07 Mei 2016. Pukul : 20 :37
Filsafat-dunia-barat—islam-2-ibnu-thufail.pdf.
07 Mei 2016. Pukul : 20.57
Pemikiran
Filsuf Muslim Dunia Barat Islam ; Ibnu Thufail _ Jendela Hati.htm. 07 Mei 2016.
Pukul : 20.41
[1] Filsafat
Islam Pokok Pemikiran Ibnu Thufail _
secerahpewarna.htm. 07 Mei 2016. Pukul : 20 :37
[2] FILSAFAT
IBNU THUFAIL _ Bakti Raharjo.htm. 07 Mei 2016. Pukul 20 : 38
[3] Pemikiran
Filsuf Muslim Dunia Barat Islam ; Ibnu Thufail _ Jendela Hati.htm. 07 Mei 2016.
Pukul : 20.41
[4]
Filsafat-dunia-barat—islam-2-ibnu-thufail.pdf. 07 Mei 2016. Pukul : 20.57
[5] Pemikiran
Filsuf Muslim Dunia Barat Islam ; Ibnu Thufail _ Jendela Hati.htm. 07 Mei 2016.
Pukul : 20.41
[6] Filsafat
Islam Pokok Pemikiran Ibnu Thufail _
secerahpewarna.htm. 07 Mei 2016. Pukul : 20 :37
[7] Afrinaldi
Yunas Ibnu Thufail; Harmonisasi Wahyu
dan Akal melalui Roman Hayy Ibn Yaqzhan.htm. 07 Mei 2016. Pukul : 21.03
[8] Afrinaldi
Yunas Ibnu Thufail; Harmonisasi Wahyu
dan Akal melalui Roman Hayy Ibn Yaqzhan.htm. 07 Mei 2016. Pukul : 21.03
[9] Filsafat
Islam Pokok Pemikiran Ibnu Thufail _
secerahpewarna.htm. 07 Mei 2016. Pukul : 20 :37
[10] Filsafat
Islam Pokok Pemikiran Ibnu Thufail _
secerahpewarna.htm. 07 Mei 2016. Pukul : 20 :37
[11] Afrinaldi
Yunas Ibnu Thufail; Harmonisasi Wahyu
dan Akal melalui Roman Hayy Ibn Yaqzhan.htm. 07 Mei 2016. Pukul : 21.03
[12] Ibid
[13] Ibid
No comments:
Post a Comment