PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Istilah Zakat Profesi belum dikenal di zaman Rosulullah SAW bahkan
hingga masa berikutnya selama ratusan tahun. Bahkan kitab-kitab Fiqih yang
menjadi rujukan umat ini pun tidak mencantumkan pembahasan bab zakat
profesi didalamnya.
Harus diingat bahwa meski di zaman Rosulullah SAW telah ada beragam
profesi, namun kondisinya berbeda dengan zaman sekarang dari segi penghasilan.
Dizaman itu penghasilan yang cukup besar dan dapat membuat seseorang menjadi
kaya berbeda dengan zaman sekarang. Diantaranya adalah berdagang, bertani, dan
berternak. Sebaliknya, di zaman sekarang ini berdagang tidak otomatis
membuat pelakunya menjadi kaya, sebagaimana juga bertani dan berternak. umumnya
petani dan peternak di negeri kita ini termasuk kelompok orang miskin yang
hidupnya masih kekurangan.
Dan sebaliknya, profesi-profesi tertentu yang dahulu sudah ada, tapi dari
sisi pendapatan saat itu tidaklah merupakan kerja yang mendatangkan materi
besar. Di zaman sekarang ini justru profesi-profesi inilah yang mendatangkan
sejumlah besar harta dalam waktu yang singkat. Seperti Dokter Spesialis, Arsitek,
Komputer Programer, Pengacara, dan sebagainya. Nilainya bisa ratusan kali
lipat dari petani dan peternak miskin di desa-desa. Dan anjuran orang kaya(yang
hidup serba kecukupan) untuk mengeluarkan sebagian hartanya kepada orang miskin
ada didalam Al-Qur’an dan Hadist, seperti dalam surat QS. Al-Baqarah : 267.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…” (QS Al Baqarah [2]:267)
b. Rumusan Masalah
·
Bagaimana pengertian zakat profesi
itu?
·
Siapa saja ulama yang mendukung
zakat profesi dan bagaimana pendapatnya?
·
Bagaimana ketentuan nishab zakat
profesi
c. Tujuan
·
Mengetahui apa pengertian dari
zakat profesi
·
Mengetahui pendapat para ulama
yang mendukung zakat profesi
·
Mengetahui ketentuan nishab zakat
profesi
BAB 1
PEMBAHASAN
A. Pengertian Zakat
1. Menurut Etimologi
Dari segi bahasa kata zakat mempunyai beberapa
arti, yaitu al-barakah, “keberkahan” al-namma “pertumbuhan dan
perkembangan” al-thoharoh, “kesucian”. Menurut pendapat Hasbuallah
Bakry, dalam bukunya yang berjudul Islam Indonesia, yang dimaksud Zakat menurut
bahasa dari kata zaka, tuzakki, tazkiyah, zakat yang mempunyai arti
membersihkan atau mensucikan yang bukan haknya.[1]
2. Menurut terminologi
Sedangkan kalau dilihat dari istilah
syari’at, Zakat adalah bagian wajib yang telah ditentukan baik waktunya
(nisab), dan memberikanya kepada orang yang berhak menerimanya.[2]
Dan dalam kitab fatul Qorib (terjemah) ada delapan golongan yang wajib menerima
zakat.
وتدفع الزكاةإليالأصناف الثمانيةالذين ذكرهم الله تعالي في كتابه
العزيزفي قوله تعالي :(أنما الصدقات للفقراء والمساكين والعاملين عليها والمؤلغة
قلوبهم وفي الرقاب والغرمين وفي سبيل الله وابن السبيل)
“Zakat harus
diberikankepada delapan golongan yang telah disebutkan oleh Allah
dalam firman-NYA: sesungguhnya zakat itu hanya diberikan kepada orang-orang
fakir, orang-orang miskin, para pekerja urusan zakat,(amil zakat), mu’allaf
(orang yang masuk islam), hamba sahaya yangsedang mnebus dirinya untuk jadi
orang merdeka, orang-orang yang punya hutang (karna kepentingan agama), orang
yang berperang untuk agamanya Allah (tanpa gaji dari pemerintah), dan musyafir
yang kehabisan bekal dalam perjalanannya.”[3]
B. Zakat Profesi atau Keahlian Jasa
Zakat profesi merupakan istilah yang muncul baru-baru ini,
Zakat perofesi menurut ulama salaf biasa disebut dengan”al-mal al-mustafad”
yang termasuk zakat profesi adalah profesi yang dihasilkan dari perofesi non
zakat yang dijalani, seperti gaji honorarium baik pegawai negeri ataupun
swasta, dokter, guru, konsultan dan yang lainnya, ataupun rejeki yang tidak
terduga seperti undian, ataupun hadiah(yang penting tidak mengandung unsur
judi).
Zakat profesi ini masih menimbulkan perbedaan pendapat
dikalangan ulama namun banyak ulama kontemporer lebih memilih untuk mewajibkannya
zakat perofesi menganut madzhab Hanafiyah yang memberikan keluasaan dalam
kriteria harta yang wajib di zakati.
DanUmumnnya Ulama Hijaz seperti Syaikh Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin
Shalih Utsaimin, dan lainnya tidak menyetujui zakat profesi. Bahkan Syaikh
Dr. Wahbah Az-Zuhaily pun menolak keberadaanzakat profesi sebab zakat itu
tidak pernah dibahas oleh para ulama salaf sebelum ini. Umumnya Kitab Fiqih
Klasik memang tidak mencantumkan adanya zakat profesi.[4]
C.
Ulama yang
Mendukung Zakat profesi
a.
Dr. Yusuf Al-Qaradawi
Tidak bisa dipungkiri bahwa Dr. Yusuf Al-Qaradawi adalah salah satu
icon yang paling mempopulerkan zakat profesi. Beliau membahas masalah ini dalam
buku beliau Fiqh Zakat yang merupakan disertasi beliau di Universitas Al-Azhar,
dalam bab زكاة كسب العمل
و المـهن الحرة (zakat hasil pekerjaan dan profesi).Sesungguhnya beliau bukan
orang yang pertama kali membahas masalah ini. Jauh sebelumnya sudah ada
tokoh-tokoh ulama seperti Abdurrahman Hasan, Syeikh Muhammad Abu Zahrah, dan juga
ulama besar lainnya seperti Abdul Wahhab Khalaf.Namun karena kitab Fiqhuz-Zakah
itulah maka sosok Al-Qaradawi lebih dikenal sebagai rujukan utama dalam masalah
zakat profesi. Inti pemikiran beliau, bahwa penghasilan atau profesi wajib
dikeluarkan zakatnya pada saat diterima, jika sampai pada nishab setelah
dikurangi hutang. Dan zakat profesi bisa dikeluarkan harian, mingguan, atau
bulanan.[5]
b.
Dr. Abdul Wahhab Khalaf dan Syeikh Abu Zahrah
Dalam kitab Fiqhuzzakah, Al-Qaradawi tegas menyebutkan bahwa pendapatnya
yang mendukung zakat profesi bukan pendapat yang pertama. Sebelumnya sudah ada
tokoh ulama Mesir yang mendukung zakat profesi, yaitu Abdul Wahhab Khalaf dan
Abu Zahrah.[6]Abdul
Wahab adalah seorang ulama besar di Mesir (1888-1906), dikenal sebagai ahli
hadits, ahli ushul fiqih dan juga ahli fiqih. Salah satu karya utama beliau
adalah kitab Ushul Fiqih, Ahkam Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah, Al-Waqfu wa
Al-Mawarits, As-Siyasah Asy-Syar'iyah, dan juga dalam masalah tafsir, Nur min
Al-Islam. Tokoh ulama lain yang disebut oleh Al-Qaradawi adalah guru beliau
sendiri, yaitu Syeikh Muhammad Abu Zahrah (1898- 1974). Beliau adalah sosok
ulama yang terkenal dengan pemikirannya yang luas dan merdeka, serta banyak
melakukan perjalanan ke luar negeri melihat realitas kehidupan manusia.
Tulisan beliau tidak kurang dari 30 judul buku, salah satunya yang
terbesar adalah Mukjizat al-Kubra al-Quran”. Buku ini merupakan mukadimah dalam
beliau mengarang tafsir al-Quran. Namun tafsir ini tidak sempat disempurnakan
kerana beliau meninggal dunia terlebih dahulu. Buku lainnya adalah Tarikh
Al-Madzahib Al-Islamiyah, Al-'Uqubah fi Al-Fiqh Al-Islami, Al-Jarimah fi
Al-Fiqh Al-Islami.
c.
Majelis ulama Indonesia (MUI)
MUI memandang bahwa setiap pendapatan wajib dikeluarkan zakatnya,
seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara
halal. Baik pendapatan itu bersifat rutin seperti pejabat negara, pegawai atau
karyawan, maupun tidak rutin seperti agamana naskah disertasi doktor yang
diajukannya. Guru Besar IPB dan Ketua
dokter, pengacara,konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang
diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. Bila syarat terpenuhi yaitu telah
mencapai nishab dalam satu haul , yakni senilai emas 85 gram, maka zakat wajib
dikeluarkan. Kadar zakat penghasilan menurut MUI adalah adalah 2,5%.[7]
d.
Majelis Tarjih Muhammadiyah
Musyawarah Nasional Tarjih XXV yang berlangsung pada tanggal 3 – 6
Rabiul Akhir 1421 H bertepatan dengan tanggal 5 – 8 Juli 2000 M bertempat di
Pondok Gede Jakarta Timur dan dihadiri oleh anggota Tarjih Pusat. Lembaga ini
pada intinya berpendapat bahwa Zakat Profesi hukumnya wajib. Sedangkan nisabnya
setara dengan 85 gram emas 24 karat. Ada pun kadarnya sebesar 2,5 %.[8]
e.
Dr. Didin Hafidhuddin
Di Indonesia, salah satu icon zakat profesi yang terkenal adalah
Dr. Didin Hafidhuddin, Umum BAZNAS ini mencoba mendefinisikan profesi ialah
setiap keahlian atau pekerjaan apapun yang halal, baik yang dilakukan sendiri
maupun yang terkait dengan pihak lain, seperti seorang pegawai atau karyawan.
Didin memberikan mekanisme pengambilan hukum zakat profesi dengan menggali pada
teks al-Quran, dan dengan menggunakan metode qiyas.[9]
f.
Qurais Shihab
Quraish Shihab juga termasuk yang menudukung wajibnya zakat
profesi. Hal itu bisa kita baca dari tulisannya antara lain : Menjawab
pertanyaan 100 tentang keIslaman yang patut anda ketahui.
D. Dalil Pendukung Zakat Profesi
a) Dalil pertama
Ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat
umum yang mewajibkan semua jenis harta untuk dikeluarkan zakatnya, seperti
dalam Q.S Al-Baqarah:267
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا
كَسَبْتُمْ وَمِمَّاأَخرَجنَا لَكٌم مَّنَ اٌلأَرضِ
“Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang telah kami keluarkan dari
bumi untuk kamu”[10]
Dalam ayat tersebut, Allah
menegaskan bahwa segala hasil usaha yang baik-baik wajib dikeluarkan
zakatnya. Dalam hal ini termasuk juga penghasilan (gaji) dari profesi sebagai
dokter, konsultan,seniman, akunting, notaries, dan sebagainya. Imam Ar-Razi
berpendapat bahwa apa yang dimaksud dengan “hasil usaha” tersebut meliputi
semua harta dalam konsep menyeluruh, yang dihasilkan oleh kegiatan atau
aktivitas manusia. Karena itu nash ini mencakup semua harta, baik yang terdapat
di zaman Rasulullah SAW, baik yang sudah diketahui secara langsung, maupun
yang dikiaskan kepadanya.
Muhammad bin Sirin dan Qathadaah
sebagaimana dikutip dalam Tafsier Al-Jaami’ Li Ahkaam Al-Qur’an
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata-kata “Amwaal” (harta) pada QS.
Adz-Zaariyaat (51) : 19, adalah zakat yang diwajibkan, artinya semua harta yang
dimiliki dan semua penghasilan yang didapatkan, jika telah memenuhi persyaratan
kewajiban zakat, maka harus dikeluarkan zakatnya. (Tafsir Al-Jaami’ Li Ahkaam
Al-Qur’an Juz I : hal. 310-311).
b)
Dalil kedua
Berbagai pendapat para Ulama
terdahulu maupun sekarang, meskipun dengan menggunakan istilah yang berbeda.
Sebagian dengan menggunakan istilah yang bersifat umum yaitu “al-Amwaal”,
sementara sebagian lagi secara khusus memberikan istilah dengan istilah
“al-maal al-mustafad” seperti terdapat dalam fiqh zakat dan al-fiqh alislamy wa
Adillatuhu.
Sekelompok sahabat berpendapat
bahwa kewajiban zakat kekayaan tersebut langsung, tanpa menunggu batas waktu
setahun. Diantara mereka adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud,
Mu’awiyah, Shadiq, Baqir, Nashir, Daud, dan diriwayatkan juga Umar bin
Abdul Aziz, Hasan, Zuhri, serta Auza’i.[11]
Pendapat-pendapat dan
sanggahan-sanggahan terhadap pendapat-pendapat itu telah ditulis dalam
kitab-kitab, misalnya al-Muhalla oleh Ibnu Hazm, jilid 4 : 83 dan
seterusnya al-Mughni oleh Ibnu Qudamah jilid 2 : 6, Nail-Authar jilid 4 :
148, Rudz an-Nadzir jilid 2 : 41, dan Subul as-Salam jilid 2 : 129.
c)
Dalil ketiga
Dari sudut keadilan yang
merupakan cirri utama ajaran Islam penetapan kewajiban zakat pada setiap harta
yang dimiliki akan terasa sangat jelas, dibandingkan dengan hanya
menetapkan kewajiban zakat pada komoditi-komoditi tertentu saja yang
konvensional. Petani yang saat ini kondisinya secara umum kurang
beruntung, tetap harus berzakat, apabila hasil pertaniannya telah mencapai
nishab. Karena itu sangat adil pula, apabila zakat inipun bersifat wajib pada
penghasilan yang didapatkan para dokter, konsultan, seniman,
akunting, notaries, dan profesi lainnya.[12]
d)
Dalil keempat
Sejalan dengan perkembangan
kehidupan manusia, khususnya dalam bidang ekonomi, kegiatan penghasilan melalui
keahlian dan profesi ini akan semakin berkembang dari waktu ke waktu.
Bahkan akan menjadi kegiatan ekonomi yang utama, seperti terjadi di
Negara-negara industry sekarang ini. Penetapan kewajiban zakat ke
padanya, menunjukkan betapa
hukum Islam sangat aspiratif dan responsive terhadap perkembangan zaman.
Afif Abdul Fatah Thabari menyatakan bahwa aturan dalam Islam itu bukan
saja sekedar berdasarkan pada keadilan bagi seluruh umat manusia, akan tetapi
sejalan dengan kemaslahatan dan kebutuhan hidup manusia, sepanjang zaman dan
keadaan, walaupun zaman itu berbeda dan berkembang dari waktu ke waktu
(Ruuh al-Dien al-Islamy, hal. 300).[13]
E.
Nishab Zakat Profesi
Dalam sebuah buku karangannya KH. Ihya’ Ulumudin pengasuh pondok pesantren
Nurul Haromain, Pujon malang : yang berjudulRisalah Zakat dan Puasa, adalah
2,5% dari nisab satu haul.[14]
Seperti ini kalau di perhitungkan harta yang tersimpan atau nishab, maka
sudah dikenakan wajib zakat, dengan perhitungan :2,5% x total gaji satu tahun
(satu haul).
Dan menurut Majlis Ulama Indonesia(MUI) mengatakan kalau orang wajib
membayar zakatnya. Bila syaratnya
terpenuhi yaitu telah mencapai nishab dalam satu haul , yakni senilai emas 85
gram, maka zakat wajib dikeluarkan. Kadar zakat penghasilan menurut MUI adalah
adalah 2,5%.[15]
BAB III
KESIMPULAN
Zakat adalah bagian wajib yang
telah ditentukan baik waktunya (nisab), dan memberikanya kepada orang yang
berhak menerimanya. Sedangkan untuk Zakat perofesi menurut ulama salaf biasa
disebut dengan”al-mal al-mustafad” yang termasuk zakat profesi adalah
profesi yang dihasilkan dari perofesi non zakat yang dijalani, seperti gaji
honorarium baik pegawai negeri ataupun swasta, dokter, guru, konsultan dan yang
lainnya, ataupun rejeki yang tidak terduga seperti undian, ataupun hadiah(yang
penting tidak mengandung unsur judi).
Dari uraian pendapat para ulama di
atas tidak bisa dipungkiri bahwa Dr.
Yusuf Al-Qaradawi adalah salah satu icon yang paling mempopulerkan zakat
profesi. Akan tetapi jauh sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh ulama seperti
Abdurrahman Hasan, Syeikh Muhammad Abu Zahrah, dan juga ulama besar lainnya
seperti Abdul Wahhab Khalaf. Namun karena kitab Fiqhuz-Zakah itulah maka sosok
Al-Qaradawi lebih dikenal sebagai rujukan utama dalam masalah zakat profesi.
Sedangkan di Indonesia sendiri Majelis ulama Indonesia (MUI) dan Majelis Tarjih
Muhammadiyah berpendapat bahwa Zakat Profesi hukumnya wajib.
Untuk nishab dalam mengeluarkan zakat profesidalam sebuah buku karangannya KH.
Ihya’ Ulumudin pengasuh pondok pesantren Nurul Haromain, Pujon malang : yang
berjudulRisalah Zakat dan Puasa, adalah 2,5% dari nisab satu haul. Hal
ini sesuai juga dengan pernyataan MUI,Kadar
zakat penghasilan menurut MUI adalah adalah 2,5%.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardawi,
Yusuf, Fiqh al-Zakah, Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 1999.
Mustaqim, Anwar, Pandangan Yusuf Qordowi tentang
Zakat Profesi, pdf.
Qardhawi, Yusuf, Zakat Profesi, pdf.
Sunarto, Ahmad, Fathul Qarib (terjemah),
Jakarta: Al-Hidayah, 1991.
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1434999850&=mengapa-para-ulama-masih-berbeda-pendapat-dalam-zakat-profesi.html
[1] Anwar Mustaqim, Pandangan Yusuf Qordowi tentang Zakat Profesi, pdf.
Hlm. 8
[2] Ibid, hlm. 10
[3]Achmad Sunarto, Fat-hul Qorib (terjemah), Surabaya:
Al-Hidayah,1991. Jilid 1. Hlm. 265-266
Dibaca selasa, 29 maret 2016 jam 20.45
[5]http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1434999850&=mengapa-para-ulama-masih-berbeda-pendapat-dalam-zakat-profesi.html
Dibaca minggu, 3 april 2016 jam 14.12
[6]Dr. Yusuf Qardhawi, Zakat Profesi, pdf. Hlm. 2-3
[7]http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1434999850&=mengapa-para-ulama-masih-berbeda-pendapat-dalam-zakat-profesi.html
Dibaca minggu, 3 april 2016 jam 14.12
[8]http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1434999850&=mengapa-para-ulama-masih-berbeda-pendapat-dalam-zakat-profesi.html
Dibaca minggu, 3 april 2016 jam 14.12
[9]Ibid.
[10]Anwar Mustaqim, Pandangan Yusuf Qordowi tentang Zakat Profesi, pdf.
Hlm. 12
[11]Anwar Mustaqim, Pandangan Yusuf Qordowi tentang Zakat Profesi, pdf.
Hlm. 4
Dibaca selasa, 29 maret 2016 jam 20.45
Dibaca selasa, 29 maret 2016 jam 20.45
[14]KH. Ihya’ Ulumudin, Risalah Zakat dan Puasa, Malang
[15]http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1434999850&=mengapa-para-ulama-masih-berbeda-pendapat-dalam-zakat-profesi.html
Dibaca minggu, 3 april 2016 jam 14.12
No comments:
Post a Comment